Kenalan
“Cincin siapa ini?” tanya seorang perempuan pada murid kesayangannya. Murid itu mendorong dirinya hingga menubruk seseorang.
“Maafkan aku,” pinta perempuan berambut ikal itu. Dirinya berbalik lalu melihat punggung pria bidang yang mengenakan jas.
“Tidak apa-apa!” sahut pria berparas tampan dengan kotak di tangannya. Ia memutar dan melirik perempuan dengan sebuah cincin.
“Maaf, itu cincinku,” pinta pria dengan lesung pipi itu sembari mengambil cincin dari tangan Senia.
“Oh ... oh ya,” sahut canggung dari perempuan itu, langsunglah dirinya menggenggam tangan muridnya.
“Kamu guru kan?” tanya pria itu dengan suara serak dan beratnya.
“Iya,” sahut Senia yang terhenti di tengah kursi-kursi restoran.
“Hm ....” henti pria yang sedang berdeham itu. Dikeluarkanlah sebuah kartu nama dari sakunya. “Namaku Gibran, ini tanda namaku!” sambung pria itu sembari berdeham kembali. Lalu memberikan kertas nama itu.
Perempuan dengan ikat rambut tinggi itu pun mengangguk dan sekali lagi melangkah akan meninggalkannya.
“Namamu?” tanya pria itu kembali. Menahan pundak perempuan itu dengan kedua tangannya.
“Senia,” sahut Senia sembari menggigit bibirnya.
Pria itu pun langsung terkekeh dengan kelingking dan jempolnya. Menempel di telinga seakan memberi isyarat pada Senia.
Mata Senia membeliak sambil dirinya menunduk dan bertanya, “Apa?”
“Telepon aku!” bisik pria dengan rambut lurus itu. Rambutnya menyentuh pipi Senia saat berbisik.
Kartu nama yang ada di tangan dibaca oleh Senia. Terbacalah nama pekerjaan dan alamat rumah yang ditinggali Gibran, seketika membelalakkan mata Senia.
“Ibu, aku ingin balon itu!” pinta murid Senia lalu menarik Senia ke tempat parkir.
Balon jingga pun dipilih sembari melihat sekeliling. Terlihatlah pria tadi sedang berganti jas di dekat mobil mewah berwarna putih.
Setelah Senia membelikan balon pada murid perempuannya, mereka pun melangkah mendekati bus biru di seberang mobil putih yang terparkir.
Melirik ke arah mobil itu, kembali Senia menundukkan kepalanya. Saat matanya bertemu dengan pemilik mobil itu, lara melanda benak Senia. Benaknya, pria di dalam restoran tadi adalah pria yang baik untuk dirinya. Namun, hanya melirik dirinya, pria itu enggan.
Senia pun melangkah masuk ke dalam bus setelah murid kesayangannya.
“Bu,” sapa pemuda berkacamata pada Senia.
“Terima kasih sudah menjaga Putri,” ucap pria itu lalu menarik murid kesayangannya.
“Sama-sama,” lirih Senia sambil melihat Putri yang menjauh darinya.
Senia pun duduk di dekat jendela, tepatnya di kursi tengah bersama guru wanita Guru itu tersenyum pada Senia, begitu sebaliknya.
Perjalanan panjang membuat guru-guru tertidur pulas, kecuali Senia yang sedang memperhatikan kartu nama Gibran sedari tadi.
Menggerakkan jari di sisi laminating, Senia pun mengeluari ponsel dari sakunya. Diketiklah nomor Gibran dengan pelan.
“Halo, dengan siapa?” Suara serak wanita terdengar lewat ponselnya.
“Ini saya ... guru di restoran,” sahut Senia sembari memainkan jemarinya dengan ragu.
“Ingin berbicara dengan siapa?” tanya wanita itu dari balik telepon.
“Pak ... Gibran,” bisik Senia pada ponselnya.
“Tunggu sebentar,” sahut wanita itu diikuti ketukan sepatu.
Perempuan berambut ikal yang juga memiliki gingsul itu, melirik seisi bus. Memastikan bahwa semuanya telah tertidur pulas.
“Halo,” sambung suara yang berbeda dari teleponnya.
“I—iya,” sahut Senia yang sedang menggigit jarinya.
Terkekehlah pria itu dari balik telepon diiringi dengan suara tingginya, “Kukira kamu akan menunggu waktu yang lama,”
“Maksudnya?” tanya perempuan yang masih menggigit jari dengan kalang kabut.
“Menunggu waktu yang lama untuk meneleponku ...” jelas pria itu mengulang kalimatnya. “Oh iya, besok datang ke restoran tadi ya,” pinta pria dari balik telepon itu dengan nada gembiranya.
“Perlu apa ya ...?” tanya kembali Senia dengan lamban.
“Urusan kerja ...,” sambung pria itu lalu dirinya kembali menyambung “Hm ... jangan bawa anak kesayanganmu ya.” Suara yang kini berat, tetapi tampak berbeda. Juga diiringi suara tinggi yang samar dari seorang perempuan.
“Oh ... baiklah,” sahut perempuan itu sambil menoleh ke teman duduknya.
Dimatikanlah ponselnya dengan segera setelah melihat teman duduknya yang terbangun.
“Pagi, Senia ... kamu bicara dengan siapa?” tanya guru senior sembari menguap di sampingnya.
“Dengan atasan, Bu,” sambung Senia seraya melepaskan gigitan jarinya, kemudian ia kembali menyambung, “Ini sudah siang, Bu”
“Oh, iya ibu lupa,” sahut perempuan berumur 30 tahun sembari melihat sekeliling di samping Senia.
Tibalah Busnya di sebuah motel kecil dengan tempat parkir yang luas. Senia keluar dari bus bersamaan dengan teman gurunya.
Mengambil koper dari bagasi, seseorang menepuk pundaknya.
“Kamu?” Suara pria terdengar dari balik badan Senia.
Senia yang membalik pun terkejut melihat seorang kakek tua asing baginya.
“Oh, oh maaf. Saya salah orang,” sambung Kakek itu lalu berbalik dengan tongkatnya.
Terlupa untuk menunduk, Senia hanya menatap kepergian sang kakek.
“Siapa itu?” tanya penasaran perempuan 30 tahun itu.
“Aku juga tidak tahu,” sahut Senia yang kembali melanjutkan aksinya mengeluarkan koper.
Murid kesayangan Senia, yaitu Putri menghampiri Senia bersama dengan ayahnya.
“Ibu,” panggil Putri yang langsung menyelipkan telunjuk di antara jemari Senia.
“He, he,” tawa canggung ayahnya yang berusia sekitar 20 tahun itu.
“Biasa anak kecil tidak mau lepas dengan ibunya,” sambung pria lainnya yang menuruni bus bersama dengan anak kecil laki-laki.
Kacamata pun dilepas oleh ayahnya Putri. Seraya mengelap kacamata di baju kaosnya, ia melirik Senia dengan samar-samar. Menunduklah dirinya setelah menggunakan kacamata itu kembali.
“Bu Senia, Ibu butuh bantuan untuk mengambil koper?” tanya pria yang baru saja keluar dari bus dengan anaknya.
Koper pun dikeluarkan oleh dirinya dari dalam bagasi, seketika membuat Senia menggeleng dan melambai.
“Tidak, tidak ... ini koper saya,” gumam Senia seraya memegangi koper yang berdiri di tanah.
Pria itu pun terkejut melihat koper Senia. Dimasukkanlah saja koper yang baru saja ia keluarkan.
Senia yang menarik koper pun berjalan bersama Putri yang juga menggenggam ayahnya di belakang.
Kembali lagi, pria yang bersama anak laki-laki itu muncul. Menarik koper Senia dari tangannya Senia.
Tangan Senia masih terikat erat dengan koper itu, begitu juga dengan tangan pria yang menarik-narik.
“Tidak usah, Pak,” ucap Senia sembari menunduk dan menarik-narik kopernya.
“Tidak, biar saya bantu,” jawab Pria tua, tetapi berwajah muda itu.
Siku-siku Senia pun menyenggol pria muda di belakangnya yang berumur 18 tahun di samping ayahnya Putri. Sehingga sebotol air yang diminum pemuda yang juga berkacamata itu pun tumpah hingga mengenai kemejanya.