Tenggang Waktu Berpikir

2135 Kata
Bukankah jika tak mengerti, akan lebih baik jika bertanya dan meminta penjelasan. Itulah yang saat ini tengah Abrisam lakukan. Ia meminta penjelasan yang sejelas-jelasnya dari ucapan mamanya barusan. Abrisam mengerutkan dahinya, “maksud Mama?” "Beby Myesha. Mama rasa, nggak masalah kalau dia yang pada akhirnya menjadi menantu Mama dan Papa. Lagipula, cuman dia 'kan yang bisa memahami Olla selama ini? Kasih sayang Beby kepada Olla juga sangat tulus. Tidak mungkin anak kecil akan sesayang itu padanya jika kasih sayang yang diberikannya selama ini palsu. Kamu tentu jauh lebih pandai perihal menyimpulkan ucapan Mama barusan. Kalian serumah. Kamu pun selalu bersama Beby dan Olla, meski tidak 24 jam penuh. Tetapi, kamu tentu jauh lebih mengerti segalanya dari pada Mama dan Papa." "...lagipula, mau sampai kapan kamu dan Beby tinggal serumah? Apa kata orang-orang sekitarmu ini nantinya? Yaa, meskipun tinggal di perumahan yang cukup elit. Tetapi tidak menutup kemungkinan akan adanya gosip yang beredar. Meskipun mereka semua juga sudah tahu bahwa Beby pengasuh Olla, tetapi tetap saja. Gosip selalu datang dari mulut sesiapa yang suka atau bahkan tidak suka dengan keluarga kecilmu. Hal itu bisa menjadi bumerang untuk kamu yang sudah sampai di titik kesuksesan ini. Benar begitu, Bri?" Abrisam mengangguk kali ini. Pria itu membenarkan ucapan mamanya di bagian akhir—tentang gosip. Memang, tidak bisa dipungkiri. Kehidupan, yaa..seperti ini. Kebaikan kita saja, masih kerap menjadi bahan gosip. Apalagi keburukan kita? "Kamu pikirkan baik-baik, Bri. Mama sudah bicara mengenai hal ini sebelumnya dengan Papamu. Mama dan Papa putuskan untuk memberi kamu waktu enam bulan." Enam bulan!? Abrisam tentu terkejut, "maksudnya apa, Ma!?" Ia sama sekali tidak mengerti tentang mengapa kedua orang tuanya sepakat memberinya waktu setengah tahun? Untuk apa? "Selama kurun waktu tersebut, kalau memang kamu tidak berniat menjadikan Beby sebagai istri kamu. Dengan terpaksa Mama dan Papa harus memisahkan Beby dengan Olla, dan juga kamu tentunya. Mama dan Papa sudah persiapkan rumah lain untuk dihuni Beby. Tenang, tidak berpisah sepenuhnya kok. Beby masih bisa mengasuh Olla. Tetapi, di rumahnya. Kamu yang akan kerepotan mengantar jemput." "Oh ya, Mama lupa. Kamu bisa menyewa supir," lanjut Nana yang sepertinya melupakan bahwa Abrisam terlampaui mampu menyediakan tujuh oranh supir sekalipun. Nana harap, tenggang waktu yang diberikannya ini benar-benar berpengaruh bagi Abrisam. Setidaknya, ini merupakan jalan terbaik yang telah dirinya dan sang suami putuskan. Selama ini, mereka sudah cukup mengamati bagaimana interaksi yang terjadi diantara Beby dan Olla. Sehingga keyakinan mereka mantap. Beby-lah yang terbaik untuk menjadi kandidat ibu sambung Olla. "Ma, kenapa harus seperti ini? Sebelum-sebelumnya, Mama dan Papa tidak keberatan sama sekali kalau kami tinggal serumah. Toh, tidak akan ada hal yang terjadi diantara kami berdua, jika itu yang kalian khawatirkan. Ada Olla juga diantara kami. Kami tahu betul batasannya, Ma." "Itu sebelum kami berpikir seribu kali, Bri. Kalau dipikir-pikir, nggak pantas kalian tinggal bersama. Meskipun Beby pengasuh Olla yang sudah Mama dan Papa anggap selayaknya anak sendiri, tapi tetap saja. Beby itu seorang gadis. Dan kamu, laki-laki normal yang sudah tak beristri. Kalian mengkhawatirkan." "Ma—" "Mulai cari supir, Bri. Biar nggak kerepotan buat antar-jemput Olla ke rumah Beby nantinya. Soalnya, rumah Beby yang sudah Mama dan Papa persiapkan, letaknya cukup jauh dari sini, dan jauh pula dari kampus Beby. Tapi kayaknya nggak masalah, Beby bisa Mama dan Papa berikan seorang supir pribadi. Beby 'kan sudah seperti putri di keluarga kita." "Kalau sudah seperti putri di keluarga kita, kenapa Mama dan Papa justru meminta dia menjadi pendamping Abrisam!? Konyol.." Abrisam tak habis pikir. Sampai dirinya geleng-geleng kepala sendiri. "Kamu yang konyol, Bri! Ikatan Beby yang sudah Mama dan Papa anggap seperti anak sendiri itu..sangat tipis. Bahkan sampai sekarang, Mama dan Papa masih belum menuliskan nama Beby di KK. Entahlah, hati Mama dan Papa belum yakin. Bukan karena meragukan Beby. Tapi karena kami pikir, ada opsi lain. Kenapa tidak dicoba saja?" "Opsi lain itu—dengan menjadikan Beby pendamping Abrisam? Iya?" "Tentu. Bukankah ikatannya akan lebih kuat, dan abadi?" "Astaga, Ma.. Abrisam sama sekali nggak bisa paham sama jalan pikiran Mama dan Papa." Nana bangkit dari duduknya, menyudahi obrolan pentingnya dengan Abrisam. Sepertinya jika diteruskan tidak akan menemui titik akhirnya. Yang jelas, diskusinya bersama sang suami telah tersampaikan pada putranya hari ini. Sebelum benar-benar meninggalkan kamar Abrisam. Nana sempat berhenti di depan pintu kamar sang putra. "Berpikirlah dengan hati, jangan hanya dengan pikiran. Karena pikiranmu sudah dipenuhi dengan berbagai macam pekerjaan yang sangat amat melelahkan dan menyita sebagian besar waktumu itu. Mama harap, keputusan yang akan kamu ambil nantinya merupakan keputusan terbijakmu, Abrisam." Saat Abrisam benar-benar sendiri di dalam kamarnya, ia lantas menghempaskan dirinya ke kasur. Menatap langit-langit kamarnya, dengan tangan mencengkeram rambutnya sendiri. Abrisam benar-benar stress. Tak tahu lagi apa keputusan terbijak menurut versinya. Dan, apakah keputusannya nanti tidak akan mengecewakan banyak pihak, atau justru sebaliknya. Entahlah, semua terasa memuakkan, dan berputar-putar di dalam kepala Abrisam ; seperti sedang berperang menjadi satu. "Arrrgghhh...siial!" Belum lagi, ingatan di kepalanya tentang Beby yang berpelukan dengan seorang pria di rumah makan tadi siang. Jika kalian ingin tahu, sebenarnya fakta itulah yang sangat memberatkan hati Abrisam untuk memutuskan. Jika saja ia tidak melihat kejadian tadi siang, sudah pasti dengan yakin Abrisam akan langsung menentukan pilihannya saat ini juga, di hadapan sang mama. Tentu pilihannya adalah Beby. Karena sejujurnya, hatinya turut senang dan menghangat saat kedua orang tuanya memberikan pilihan yang berkaitan dengan pendamping hidupnya dan Beby-lah orangnya. Hari ini sudah dinantinya sejak lama, walau sebelumnya hanya bisa ia bayangkan saja. Tanpa berani melangkahkan kaki untuk mewujudkannya. Akan tetapi, semua itu terpatahkan oleh mata kepalanya sendiri. Abrisam sudah terlanjur mengetahui hal lain tentang kehidupan Beby, yang selama ini tidak pernah ia sangka-sangka akan terjadi. Bukan tentang secepat ini, tetapi tentang Abrisam yang kalah cepat! Saat ini, semua menguap bersama dengan rasa kecewa dalam hatinya. *** Malam tiba dan masih membuat hati Beby nyeri karena sikap Abrisam padanya tadi sore. Kue bolu di hadapannya pun tak tersentuh. Padahal, kue bolu dengan toping keju kesukaannya sangat menggoda, dan pastinya membuat perutnya keroncongan. Tak apa, Beby tahan. Lagipula, ia masih harus menunggu Abrisam dan Olla menyantap makanan cepat saji yang dipesannya dengan uang Abrisam itu--sesuai dengan permintaan Abrisam. Beby hanya memesan untuk dua porsi, sesuai pula dengan perintah Abrisam saat marah tadi. Beby menyimpulkan, Abrisam memang hanya meminta Beby untuk memesan makanan cepat saji untuk Abrisam dan juga untuk Olla saja. Dirinya? Tidak penting. Untuk apa pula seorang pengasuh diikutsertakan.. Dalam diamnya, Beby berkecil hati. Tetapi tak apa. Memiliki tempat berteduh, pekerjaan yang halal, dan bisa mengenyam pendidikkan setinggi ini, Beby sudah merasa sangat bersyukur dan senang. Ia menepikan kesedihannya karena mendengar derap langkah kaki. "Mbak Beby.." "Olla!?" Beby menunjukkan kebahagiaannya untuk menyambut Olla yang sudah rapih mengenakan baju tidurnya. Gemas! Warna serba kuning melekat di kulit putih Olla, tampak cocok. Olla suka warna kuning. Katanya, seceria kartun kotak spons itu hloo.. Olla masih diam di tempatnya berdiri. Matanya seperti sedang mencari sesuatu di mata Beby. "Mbak Beby lagi sedih. Kenapa?" Benar bukan? Gadis itu, cocok sekali menjadi tim penyidik! "Kata siapa!? Mbak Beby nggak sedih sama sekali. Mbak Beby itu lagi nungguin Olla. Olla makan malam dulu, ya? Habis itu minum s**u, terus bobo deh!" Olla mengangguk. Ia tak mau memperpanjang percakapannya dengan Beby, karena ia dan hatinya sudah mantap menetapkan apa yang dilihat dan dirasanya. Tentang Beby yang sebenarnya tengah bersedih. Tetapi karena apa? Olla tak tahu. "Ayah kemana Mbak Beby?" Beby menjawab dengan apa yang ada di pikirannya, meskipun kebenarannya ia sendiri tidak tahu. "Hmm, masih ngerjain kerjaan mungkin. Olla makan dulu aja, ya? Kalau nunggu Ayah Olla, nanti Olla kemalaman. Mbak Beby buatkan susuu untuk Olla dulu, ya..." Beranjak dari dekat Olla, Beby langsung bergegas membuatkan susuu putih hangat yang selalu diminum Olla sebelum tidur. Tidak hanya karena alasan itu saja, Beby juga tak bisa berlama-lama di samping Olla. Mau bagaimana pun juga, Olla selalu saja akan memberondonginya dengan berbagai macam pertanyaan. Terutama pertanyaan tentang Abrisam yang belum terlihat di meja makan malam ini. Belum lagi, bagaimana jika Olla memintanya untuk memanggilkan Abrisam. Beby sendiri saja masih belum berani menemui Abrisam setelah kejadian tadi sore. Entahlah, nyalinya menciut seketika. Selesai membuatkan segelas susuu putih untuk Olla, Beby langsung menaruh gelas tersebut di samping Olla. Ia tidak bisa langsung beranjak sekarang ini, karena tatapan melas Olla dan juga karena Olla masih seorang diri di meja makan. Akhirnya, Beby menghela napas pasrahnya. Ia pun lantas mendudukkan dirinya di samping Olla. Tak lupa, sebelum itu Beby menaruh dua piring kue bolu yang sudah ia iris menjadi beberapa bagian, agar memudahkan orang yang hendak memakannya. Sepiring bolu keju, miliknya yang belum tersentuh. Dan satu lagi, sepiring bolu cokelat susuu milik Olla yang langsung disantap Olla setelah gadis cilik itu menghabiskan nasi dan ayam goreng kesukaannya dari restoran cepat saji. "Enak?" tanya Beby yang sebenarnya bermaksud memecah keheningan malam ini. Olla hanya mengangguk, dan mengangkat jempolnya. Tangan Beby terulur mengusap rambut kepala Olla, "makannya pelan-pelan. Nanti keselek, Olla.." "Mbak Beby enggak makan?" Deg! Lagi, Olla memberikan Beby sebuah pertanyaan yang sebenarnya ingin sekali Beby hindari. Akan tetapi tak bisa. Ia menjawabnya dengan gelengan kepala dan jawaban dengan suara yang sangat lembut, berharap Olla akan mengerti, "Mbak Beby udah kenyang." "Tapi kue bolu keju Mbak Beby belum berkurang satu potongan pun. Mbak Beby bohong sama Olla." Memang tak ada nada bicara naik yang selalu Olla tunjukkan saat dirinya kesal. Akan tetapi, nada biasa saja seperti sekarang ini, justru mengkhawatirkan bagi Beby. Gelagapan, Beby lantas mengambil satu potong kue bolu keju miliknya itu dan mulai menyantapnya. "Nih, Mbak Beby makan. Olla puas?" "Nah, gitu dong! Meskipun lagi sedih, tapi makan itu tetap harus. Biar nggak sakit. Kan Mbak Beby sendiri yang selalu bilang seperti itu pada Olla. Sekarang, giliran Olla!" Kedipan di sebelah mata Olla setidaknya berhasil mengobati rasa nyeri di hatinya. Ah, gadis cilik asuhnya ini selalu membawa kebahagiaan tersendiri di balik mendung tanpa hujannya. Sepertinya Olla tetap kukuh pada apa yang dilihat dan dirasanya. Walau memang benar adanya. Tetapi Beby juga tetap kukuh untuk tidak memperlihatkan kesedihannya pada Olla. "Mbak Beby, Olla udah selesai makannya!" kata Olla sembari mendorong sepiring kue bolu cokelat susuu yang masih sangat banyak itu. Beby paham, Olla sudah sangat kenyang karena tadi ia sudah menghabiskan nasi beserta ayam goreng. Sudah cukup, kue bolu ini hanya menjadi pencuci mulut. Kalau Beby memaksa Olla untuk menghabiskannya, bisa-bisa Olla muntah karena kekenyangan. Tanpa diberi titah oleh Beby, Olla langsung bergegas mencuci tangannya. Setelah bersih dan kering barulah ia berpamitan pada Beby, "Mbak Beby, Olla ke kamar dulu, ya? Nanti Mbak Beby nyusul 'kan? Soalnya Olla perlu tebak-tebakan Bahasa Inggris, nih! Besok ada ulangan harian Bahasa Inggris." "Oke, siap!! Nanti Mbak Beby nyusul, ya.." Hanya dibalas anggukan oleh Olla. Kemudian langkah kaki Olla menjauh dari Beby. Hingga tak terlihat oleh jangkauan mata Beby. Saat itu, barulah Beby bisa menghela napasnya. Lega. Namun, kelegaan Beby tidak bertahan lama. Karena saat ini, perutnya sangat lapar. Ia ingin makan, tetapi tak ada nasi. Kue bolu? Tidak mengenyangkan baginya. Eneg. Akhirnya, Beby putuskan untuk merapihkan meja makan sisa Olla tadi. Setelah bersih dan rapih, Beby menyajikan makanan dari restoran cepat saji yang tersisa satu porsi itu, untuk Abrisam tentunya. Tak tertinggal juga ada dua piring kue bolu yang sudah terpotong-potong dengan dua varian rasa yang berbeda--turut Beby sajikan. Siapa tahu, Abrisam mau memakannya juga. Daripada mubazir. Toh, Beby juga enggan memakannya setelah memakan satu potong kue bolu tadi. Jikalau pun Abrisam tak mau, Beby masih bisa memasukkannya di lemari freezer nantinya. Yang jelas sudah coba ia sajikan pada pria itu. "Aku makan apa, ya?" Beby tampak berpikir. Ia masih mempertahankan posisi berdirinya dan tengah mengusap-usap perutnya sendiri. Hingga sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. "Kenapa nggak kepikiran, sih? Kan ada mie instan." Beby membuka lemari-lemari kecil di dapurnya itu untuk menemukan bungkus mie instan. Ternyata masih tersisa dua bungkus. Syukurlah.. Dibalik itu semua, pikirannya kembali beradu, "tapi ini 'kan punya Pak Isam. Apa aku keluar aja buat cari makan?" "Ahh, enggak apa-apa. Makan mie instan aja! Udah malam, mau keluar pun juga nggak enak kalau nggak minta izin Pak Isam. Nanti beliau marah lagi, kena lagi. Serba salah.." ujar Beby seorang diri. Tengah menimang-nimang hingga ia memutuskan untuk memasak mie instan saja. Masa bodohh jika Abrisam akan mengomelinya karena Beby memasak dan memakan sebungkus mie dari lemari dapur ini. Sedangkan yang mengisi stok makanan di dapur adalah Abrisam. Yang jelas, itu semua bisa diatasi nanti. Kelaparan Beby dan rasa ngidamnya pada mie instan kuah itu harus ditangani terlebih dulu, karena sudah tidak bisa tertahankan lagi! Bergegas, Beby langsung memasaknya. Setelah matang, ia bermaksud untuk membawa semangkuk mie instan itu untuk memakannya di dalam kamar. Akan tetapi pergerakannya terhenti saat tatapan matanya beradu pandang dengan Abrisam. Beby yang sedang membawa semangkuk mie instan. Sedangkan Abrisam yang sudah berdiri di depan sana dengan tatapan datarnya. Eerrr, kata-kata apalagi yang malam ini akan membuat hati Beby perih? Dan, sejak kapan pria itu berdiri di sana? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN