Benar dugaan Beby, bahwa dirinya akan pulang telat dan mendapatkan serangkaian omelan dari Olla. Bibir anak kecil yang sedang mengerjakan PR menggambarnya itu tidak berhenti mengomelinya. Padahal pandangannya masih fokus pada buku gambar yang tengah menjadi pekerjaannya siang ini. Beby bergumam, “Tumben…” Tangannya lantas meletakkan kantung kresek putih berisikan sekotak nasi dengan lauk gurami asam manis—makanan kesukaan Olla.
“Tumben apa!?” tanya Olla dengan nada bicara yang tidak bisa santai. Ternyata, anak kecil itu mendengar gumaman Beby. Telinganya memang selalu berfungsi dengan baik, bahkan untuk menangkap suara sekecil itu.
Olla meletakkan pensil yang dipakainya untuk menggambar. Ia menoleh kepada Beby seraya menunjukkan mata bulatnya yang menyipit, seolah-olah tengah menyelidik, “Mbak Beby belum jawab lohh.. Kenapa pulang telat!?”
“Olla Sayang, Anak Manisnya Mbak Beby..Mbak Beby masih harus ambil motor di bengkel tadi. Kan tadi pagi Mbak Beby udah bilang ke Olla, kalau motor Mbak Beby bannya kempes.”
“Beneran?”
“I—iya..” jawab Beby sedikit gugup. Apakah baik membohongi Olla seperti ini? Tidak, sama sekali tidak!
Hati kecil Beby merasa bersalah, tetapi pikirannya memaksa Beby untuk tidak menceritakan apapun itu yang berhubungan dengan Irham, serta status barunya hari ini. Karena Beby merasa Olla tidak seharusnya tahu mengenai hal tersebut.
Menunjukkan senyum manisnya pada gadis kecil yang kembali melanjutkan aktivitas menggambarnya itu, Beby lantas mendekat pada Olla yang tengah duduk lesehan di lantai. Beby pun turut mendudukkan dirinya di samping Olla. Dengan lembut, tangan Beby mengusap rambut panjang, lurus, terawat milik Olla. “Tumben ngerjain PR menggambar siang-siang begini? Ada apa, nih?”
“Olla lagi kesal banget Mbak Beby!”
“Kesal kenapa? Cerita sama Mbak Beby..”
Bibir mungil itu pun mulai berceloteh. Mengisahkan kejadian tidak mengenakan yang dialaminya di sekolah tadi. Dimana salah seorang guru meminta Olla menggambar kembali, karena gambaran Olla dinilai tidak sesuai dengan tema yang diminta oleh sang guru. Alhasil, kemampuan hebatnya dalam menggambar, yang ia yakini dapat mengalahkan teman-teman sekelasnya, menguap begitu saja hanya karena gambarannya melenceng jauh dari tema. Tidak dapat dipungkiri, kali ini..kesalahan memang terletak pada Olla.
Dengan penuh kesabaran dan pengertian, Beby menasihati Olla. “..nggak apa-apa, Olla. Olla ‘kan masih diberi kesempatan kedua untuk mengulang—”
“Ya tapi tetap aja kesal, Mbak Beby!”
“Ya itulah resiko yang harus Olla tanggung. Kan memang Olla yang salah. Lain kali, kalau memang diminta untuk menggambar dengan menggunakan tema A, ya Olla harus gambar sesuai dengan tema yang diminta—tema A. Jangan sampai terulang kejadian seperti ini lagi. Diminta menggambar dengan tema A, gambaran Olla justru lebih banyak didominasi tema lain. Mbak Beby tau, Olla memang pandai menggambar, dan ide Olla bagus. Sangat bagus! Tetapi, coba dilihat kembali. Gambaran Olla memang lebih didominasi oleh tema lain. Maka tidak salah kalau Bu Guru minta Olla untuk menggambarnya ulang.”
“Olla yang salah, ya?”
“Iya, tapi masih bisa diperbaiki. Jangan sedih..”
Olla mengangguk, “oke deh, akan Olla perbaiki dengan sepenuh hati. Karena kalau Olla kesal, pasti nanti gambaran Olla jadi jelekk. Olla udah nggak kesal lagi. Makasih ya, Mbak Beby! Olla sayang Mbak Beby.” Kedua tangan mungil milik Olla lantas merengkuh Beby. Seketika itu juga, hati Beby ikut menghangat. Ia mengecupi puncak kepala Olla.
Akhirnya, satu masalah di siang-siang bolong ini berakhir. Olla bisa ditenangkannya. “Sekarang, nggambarnya berhenti dulu. Olla nggak lihat Mbak Beby bawa apa?”
“Bawa apa memangnya?”
“Tuh, ambil gih!”
Olla berdiri dari duduknya, kemudian mengambil kresek putih berisi kotak nasi yang Olla sendiri tidak tahu apakah isi di dalamnya nasi ataukah snack.
“Katanya, Mbak Beby pulang telat karena habis dari bengkel. Kok pulang bawa makanan?” Beby masih saja mendapatkan interogasi dari si kecil.
Tetapi tatkala tangan mungil Olla membuka kotak nasi itu, bibirnya langsung tersenyum lebar. Kedua bola matanya berbinar, seolah melupakan aktivitas sebelumnya—hendak menginterogasi Beby kembali. Ia perasaan bahagia yang membuncah kembali berucap, “Gurami asam manis! Makasih, Mbak Beby! Mbak Beby tahu aja, kalau Olla emang lagi laperrr banget..”
Beby turut bahagia saat Olla dengan antusiasnya menyingkirkan sejenak peralatan menggambarnya dan mengutamakan makan siang lezatnya kali ini.
“Ya sudah, Olla cuci tangan dulu gih! Mbak Beby juga mau ganti baju, terus nemenin Olla makan.”
“Oke, siap Mbak Beby!” Seketika itu juga Olla langsung ngacir ke belakang dan sudah pasti melakukan apa yang Beby perintahkan yakni, mencuci tangan sebelum menyantap makan siang lezatnya itu.
“Olla makin besar dan pintar. Tapi tetap nggemesin dan manis, pastinya dia juga akan makin mandiri,” lirih Beby yang entah mengapa merasa sedih karena mengetahui fakta bahwa Olla semakin bertumbuh besar. Sudah pasti kelak Olla akan semakin mandiri.
Dan, bagaimana nasib Beby?
“Kenapa kamu sedih, Beby? Bukannya bagus kalau Olla makin mandiri. Udah-udah..aku nggak boleh mikir macam-macam. Apapun itu, asal yang terbaik untuk Olla—akan selalu aku usahakan,” tekad Beby yang lantas turut bangkit dari duduknya. Gadis itu berjalan menuju kamarnya untuk bebersih sebentar dan mengganti pakaiannya. Ia sudah berjanji akan menemani Olla menyantap makan siangnya.
***
Sore harinya, saat Olla dan Beby tengah berkebun. Menilik tanaman bunga mereka yang tumbuh mekar dan sangat cantik menghiasi taman kecil di depan rumah itu, Bu Nana datang dengan supirnya. Kedatangan Bu Nana yang tanpa memberikan kabar pada Beby terlebih dahulu ini, sangat mengejutkan Beby. Pasalnya, tidak ada persiapan untuk menyambut kedatangan Bu Nana. Beby sangat sungkan karena belum ada masakan yang tersaji di meja makan, mengingat dirinya sudah memutuskan akan masak setelah berkebun dengan Olla sore ini.
Lagi pula di rumahnya jarang terjadi acara makan di sore hari, karena Abrisam pulang malam. Maka dari itu, lebih seringnya terjadi makan malam. Kadang jika Abrisam pulang larut malam, Beby akan meminta Olla makan terlebih dulu tanpa harus menunggu Abrisam. Itu sudah menjadi sebuah kebiasaan yang terjadi di dalam rumah Abrisam ini.
“Wajahmu nggak usah pucat begitu dong, Beb! Mama ke sini nggak mau minta makan kok..” ujar Nana yang sepertinya sudah bisa menebak jalan pikiran Beby saat keduanya kini sudah berada di dapur dan di sekitar meja makan yang masih dalam keadaan bersih itu.
Olla? Beby membiarkan Olla berkebun di depan seorang diri, karena Olla masih asyik melihat bunga-bunganya. Katanya, Olla akan memetik daun-daun kering yang ada di bunga-bunganya. Agar bunga-bunganya tumbuh dengan baik, sehat.
Kembali pada Beby dan Nana. Beby menatap Nana dengan tatapan tak enak hati, “n—nggak kok, Ma. Beby biasa saja.”
Mama. Panggilan yang memang Nana sendiri yang meminta Beby untuk memanggilnya seperti itu. Karena selama ini, Nana selalu memandang Abrisam, Abisatya, dan Beby dengan pandangan yang sama—intinya, Beby sudah seperti anaknya sendiri.
“Mama ke sini cuman mampir. Tadi Mama habis arisan sama teman-teman Mama di rumah makan dekat sini. Eh kebetulan juga lewat toko kue langganann kita. Mama sekalian deh bawain kue bolu kesukaan Olla sama kamu.”
Beby mengangguk-angguk mengerti dan berterima kasih pada Nana karena sudah repot-repot membelikan kue bolu untuknya juga.
“Kok varian kue bolunya cuman kesukaan Olla sama Beby, Ma? Varian kesukaan Abrisam nggak ada?”
“Nggak ada. Hari ini, khusus untuk kaum wanita saja. Lagipula, kamu juga kalau dibeliin jarang ngabisin, Bri..” sindir Nana langsung tepat sasaran. Nana pun mengulas senyum lebarnya, sebenarnya wanita itu hanya bermaksud bercanda saja. Namun candaannya justru sukses membungkam kekesalan Abrisam. Pasti putranya itu tengah menahan kekesalannya saat ini. Sudah kepala tiga, tapi masih saja kaku dan suka emosian. Salah siapa..
Semakin sore, semakin tegang. Begitulah yang saat ini tengah Beby rasakan.
Tadi kedatangan Nana secara tiba-tiba. Kini giliran putranya yang tumben sekali pulang sore. Ada apakah gerangan? Sudah lelah menjadi pria penggila kerja?
“P—pak Isam..sudah pulang? Tumben—"
“Saya pulang lebih awal, Beby. Tadi saya sudah kirim pesan singkat pada kamu. Memangnya tidak terbaca?”
Beby menggeleng dengan menunjukkan raut wajah bersalahnya. Bukan hanya perihal tidak tahu jika Abrisam mengirimkan pesan singkat padanya. Namun juga perihal dirinya yang belum memasak makanan sore ini. Astaga, bencana apalagi yang datang di Kota Jakarta ini selain banjir? Beby yang belum memasak satu pun makanan untuk menyambut kepulangan Abrisam yang sudah pasti sangat lelah dan lapar!
“Maaf, Pak..” Beby sudah menunduk, ia merasa sangat bersalah. Seharusnya saat berkebun bersama Olla tadi, Beby membawa serta ponselnya. Ia menyesal karena meninggalkan ponselnya di meja belajarnya.
Lain halnya dengan Beby yang tengah dilanda rasa bersalah itu, Abrisam justru dibuat semakin kesal oleh tingkah Beby. Tadi siang, Abrisam memergoki Beby tengah berpelukan dengan pria lain. Itu sudah berhasil membuatnya tak tenang bekerja, sehingga memutuskan untuk pulang lebih awal. Sampai di rumah pun, Abrisam mendapati Beby sudah tidak lagi memprioritaskan dirinya. Apalagi ini..
Haruskah Abrisam bersabar?
“Kamu memang sudah banyak berubah,” kata Abrisam dengan tatapan penuh kekecewaan.
“M—maaf, Pak. Tadi HP saya—”
Mata Abrisam justru sudah menyisir pemandangan di atas meja makan, “belum ada makanan yang tersaji?” potong Abrisam dengan memberikan pertanyaan sinisnya yang pastinya semakin menyudutkan Beby. Melimpahi Beby dengan rasa bersalah yang sudah menggunung itu.
Sebenarnya, hari ini hari bahagia Beby, atau justru hari petakanya?
Benar-benar, di luar ekspektasi Beby. Beby pikir, dengan status barunya yang menjalin hubungan dengan Irham itu, hari ini dianggap Beby sebagai hari terspesial, penuh kebahagiaan. Namun di sisi lain justru ia membuat kesalahan yang berhasil membuat Abrisam kecewa.
Dari mana Beby tahu jika Abrisam tengah kecewa padanya?
Dari suara pria itu. Beby jelas sangat mengenali setiap nada bicara Abrisam. Mulai dari nada bicara marah, kecewa hingga yang tidak bisa terbaca olehnya sama sekali—Beby mengenalinya. Dan hari ini, Abrisam kecewa padanya. Wajar. Karena Beby bersalah di sini.
Terdengar helaan napas kasar Abrisam, “ya sudah. Pesan makanan cepat saji untuk saya dan Olla!” perintahnya sebelum pada akhirnya beranjak.
“Baik, Pak Isam..”
Seiring suara langkah kaki Abrisam pergi, bersamaan dengan itu pula ada bagian dari hati Beby yang merasa sangat sakit. Entahlah, kekecewaan Abrisam padanya tentang hal sesepele ini, sedikit banyaknya justru berhasil memporak-porandakan kebahagiaan yang baru saja Beby rasakan di luar lingkup keluarga yang dimilikinya saat ini—Keluarga Pak Hanggoro.
Tapi tak apa, ia menahan air matanya agar tidak menetes. Ada Nana di sini. Tidak mungkin Beby menangis sesenggukan.
Sementara itu, Nana yang ada di antara keduanya merasa bingung menelaah situasi macam apa ini?
Padahal jika dipikir-pikir, ini adalah hal yang sederhana. Seharusnya tidak akan menciptakan masalah besar. Dan, Abrisam—putranya itu terlalu berlebihan. Nana pun mendekat pada Beby. Merangkul dari samping, dan mengusap lembut lengan Beby yang sudah seperti ia anggap anak gadisnya sendiri. “Nggak usah sedih, Beb. Jangan diambil hati, ya? Mungkin Pak Abrisam lagi capek. Makanya hal kecil, dibesar-besarin.”
Beby mengangguk, “tapi memang ini salah Beby, Ma. Beby pesankan makanan dulu ya untuk Pak Isam dan Olla.”
Setelah Nana mengangguk dan melepaskan Beby dari rangkulannya. Gadis itu langsung bergegas menuju kamarnya untuk melakukan perintah Abrisam—memesankan makanan cepat saji melalui ponsel.
Turut kesal dengan tingkah Abrisam, Nana lantas menyusul putranya yang sudah pasti masuk ke dalam kamarnya itu. Mengetuknya sebelum masuk, dan ketika Abrisam mempersilahkannya masuk, barulah wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamar Abrisam dengan kekesalan yang sudah memuncak pula.
“Bri, jangan keras-keras sama Beby. Mama nggak suka lihatnya.” Tanpa basa-basi dan sebagainya, Nana langsung saja to the point.
Abrisam yang masih kesal, dan juga merasa sangat gerah. Kemudian melonggarkan dasinya, melepas beberapa kancing atas kemejanya. Dengan santai Abrisam menjawab, “Dia salah, Ma. Dia nggak becus.”
“Abrisam! Kalau kamu capek, cukup sampai di kantor saja rasa capeknya. Jangan dibawa pulang ke rumah, apalagi dilampiasin ke Beby. Beby kesayangan Olla, Mama ingatin kalau kamu lupa. Jangan sampai Olla tahu, bisa ngambek dia sama kamu.”
Benar juga.
Abrisam baru terpikirkan perihal Olla. Beby memang merupakan kesayangan Olla. Bahkan jika ditanya, tentang dua pilihan antara dirinya atau Beby, Olla jelas menyebutkan nama Beby terlebih dulu, barulah menyebutkan namanya. “Maaf, Ma. Abrisam mau bebersih dulu, gerah.”
Hanya air dinginlah yang mampu membuat pikiran dan hati Abrisam yang tengah tidak karuan itu sedikit mereda, mungkin.
Tetapi rupanya Nana tidak melepaskan Abrisam begitu saja. Wanita paruh baya itu mendudukkan dirinya di kasur king size milik putranya, menyilangkan kedua kakinya, dan melipat kedua tangannya di depan dadaa. Tatapan matanya menerawang ke depan sana. Dimana foto pernikahan Abrisam dan almarhumah menantunya—Haura, masih menjadi penghias manis kamar yang hanya dihuni Abrisam ini.
“Mau sampai kapan hidupmu hanya tentang bekerja dan Olla, Abrisam?”
“Ma, please. Abrisam capek. Jangan bahas itu dulu, Ma.”
“Terus, mau dibahas kapan lagi, Bri? Mama dan Papa merasa sudah cukup menunggu kamu selama ini belajar menjalani hari-hari tanpa almarhumah istri kamu. Bukan berarti melupakan almarhumah Haura, Bri. Hanya saja, Mama dan Papa juga ingin kamu menikah lagi. Setidaknya, pikirkan Olla. Olla butuh kasih sayang seorang Ibu. Setiap Mama melihat Olla, Mama selalu teringat—anak kecil yang malang, tanpa belaian kasih sayang seorang ibu, ia tumbuh dengan hebat. Tentu tidak terlepas dari bantuan Beby selama ini.”
Abrisam berjalan mendekat pada Nana. Mamanya itu pasti sudah menitikkan air matanya saat ini. Sampai di hadapan Nana, Abrisam langsung menempatkan lututnya sebagai penyangga. Ia meraih tangan sang mama, dan menyatukannya di tengah. “Ma, jangan pikirkan Abrisam. Suatu saat, bila masanya tiba—Abrisam pasti akan menikah lagi. Untuk saat ini, jodohnya belum datang lagi, Ma.”
“Belum datang, atau kamu yang nggak mau nyari, Bri?”
Kalah telak. Abrisam hanya terdiam. Memang selama ini dirinya tidak pernah memberikan akses pada wanita manapun untuk masuk ke dalam hidupnya, selain Beby.
Senyum sinis Nana tercetak sempurna, “nggak bisa jawab ‘kan, kamu?”
“………”
“Setidaknya, kalau memang kamu nggak mau buat nyari. Coba kamu lihat di sekitarmu, Bri.”
Abrisam mengerutkan dahinya, “maksud Mama?”
***