Carlo diliputi rasa gelisah yang mengerikan. Dia tidak sanggup membayangkan orang asing meski tidak sepenuhnya asing kerena Ian adalah temannya, tapi tetap saja dia termasuk kategori orang asing--- hendak tidur bersama dengan istrinya. Ingat, istrinya. Seseorang yang masih terikat secara legal dalam segi apapun dengan dirinya. Membayangkan hal ini rasanya Carlo ingin mengamuk.
Kegelisahan Carlo semakin besar saat pintu gerbang ganda yang membatasi area kekuasaannya dengan kawasan umum terbuka. Sebentar lagi kawasan yang biasanya bergerak dalam kendalinya akan diagresi orang lain, tapi dia tidak bisa berbuat apapun. Bukan itu yang menjadi masalahnya, masalah terbesar adalah istrinya yang akan bersama pria lain. Dia tersiksa tetapi terlalu angkuh untuk mengatakannya. Terlalu merasa bersalah untuk mencegah istrinya berbuat kesalahan.
"Carl... kita sudah sampai. Sampai kapan kau akan berada di mobil?" Tanya Mega. Dia memanggil Carlo karena pria ini tidak bergeming dari mobil padahal mereka sudah lama sampai di sini.
"Hah!"
Carlo sedikit berjingkat saat Mega menepuk bahunya. Dia baru sadar jika terlalu tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Carlo akhirnya menghela nafas panjang untuk meredakan rasa tidak nyaman di hati. Mau tidak mau dirinya harus menghadapai ini.
Merasa malu karena ketahuan melamun, Carlo turun dari mobil. Dia hendak menarik Mega ke dalam sebelum terhenti karena mobil Rolls Royce berhenti di belakang mobil mereka.
"Aku hampir melupakan mereka..." desah Carlo.
Alis Mega terangkat karena tidak menyangka kata - kata itu terucap dari Carlo.
'Bukankah itu kata - kata yang diucapkan orang yang enggan menemui tamunya?' Batin Mega.
Mega merasa Carlo memang sedikit aneh sebab ia berpikir jika Carlo sangat senang akan kehadiran Monica yang menginap bersamanya. Selama beberapa tahun terakhir, inilah impian Carlo selama ini. Dia ingin Monica berada di rumahnya, menjadi nyonya Kusuma. Sekarang sudah waktunya memberikan posisi itu pada Monica, dan Mega sendiri bahkan sudah pasrah.
Carlo baru sadar jika sudah mengatakan hal bodoh. Tidak mengherankan jika Mega bingung dengan ucapannya. Dia segera meralat ucapannya sebelum Mega berpikir hal yang aneh.
"Oh, lupakan. Ku rasa kepalaku kacau karena minuman di pesta tadi," jelas Carlo.
"Ya, aku yakin itu sebabnya," ucap Mega. Dia enggan berpikir sesuatu yang kompleks saat akan memulai bersandiwara.
Seribu alasan boleh saja terlontar. Akan tetapi, Carlo tidak bisa melawan dan membohongi hatinya. Untuk pertama kali Carlo merasa kehadiran Monica sangat tidak ia inginkan. Bukannya Carlo tidak mencintai Monica tapi pria itu merasa ada hal lain yang lebih penting dari Monica. Sesuatu yang ia abaikan selama ini dan sadar betapa berharganya sesuatu yang ia abaikan setelah terancam menghilang.
"Carlo..." Monica menyerbu memeluk Carlo. Dia tidak menyangka jika cinta Carlo padanya begitu besar hingga melakukan hal bodoh. Meski kejam tapi Monica sangat bersyukur karena Carlo menikahi Mega hanya untuk tameng. Dia merasa terharu mendengar Carlo melakukan itu untuk menunggu dirinya siap menjadi nyonya Kusuma. Ya, Ian menceritakan apa yang sudah Carlo lakukan untuknya. Seorang pria berbuat sangat jahat untuknya, bukankah itu hal yang romantis...?
Secara reflek, Carlo balas memeluk Monica. Tubuhnya bersiap menerima perasaan hangat yang menyerbunya saat memeluk tubuh kekasihnya sekaligus mencoba mendapatkan kenyamanan yang ia harapkan. Secara mengejutkan Carlo tidak merasakan perasaan nyaman itu. Semua hampa.
Tidak ada perasaan hangat dan penuh ketika Monica memeluknya. Dia merasa jika dirinya adalah puzzle yang tidak mendapatkan sisi yang tepat untuk diisi saat memeluk Monica. Sangat berbeda dengan perasaan nyaman ketika memeluk Mega meski dalam kondisi berdansa.
'Apa yang terjadi padaku. Mengapa aku merasa kosong?' Batin Carlo.
Carlo mencoba menenggelamkan wajahnya pada ceruk Monica. Dia ingin menyesapi aroma bunga yang manis dari Monica. Sayangnya dia agak terganggu dengan aroma itu karena tidak sesuai dengan seleranya.
'Mengapa aku tidak merasakan aroma segar yang membuatku rileks?'
Kecewa dengan semua perasaan yang tidak ia dapatkan, Carlo pun menyerah dan melepaskan pelukannya. Diam- diam Carlo melirik pada Mega untuk mengetahui apa yang sedang istrinya lakukan.
Ruapnya Mega kini berada di pelukan Ian. Tangan kiri Ian melingkari pinggang Mega, sedangkan tangan kanannya mengambil sejumput surai hitam kemerahan Mega dan menyesapnya. Itu mengingatkan Carlo aroma segar Mega yang menemaninya sejak di mobil. Sangat segar dan menenangkan.
"Ayo, kita ke kamarku," undang Mega pada Ian. Mencoba menahan hatinya agar tetap kuat melihat Carlo dan memeluk Mega. Dia ingin menutupi kesedihannya sehingga tidak dilihat oleh Carlo dan Monica. Dia tidak ingin harga dirinya jatuh jika memperlihatkan kesedihan pada mereka.
Tanpa perlu meminta ijin dari Carlo, Mega menarik Ian ke kamarnya. Tidak akan ada yang keberatan karena ini sudah menjadi kesepakatan antara Carlo dan dirinya.
"Dengan senang hati."
Ajakan Mega menghancurkan hati Carlo. Ia merasa bodoh dengan semua yang sedang terjadi. Mengapa ia merasa cemburu dengan semua ini. Padahal dulu ia berusaha keras membuat Mega meniru Monica. Dia menyiksa Mega dan memaksanya memakai pakaian, parfum bahkan makanan kesukaan Monica.
Akan tetapi sekarang dia justru ingin menikmati aroma alami Mega. Dan marah atas tawaran Mega pada pria lain.
"Carlo, apa kita akan terus di sini?" Tanya Monica cemberut. Sedari tadi Monica tahu jika Carlo memperhatikan Mega dan Ian. Tidak hanya sekarang, Carlo melakukannya sejak tadi di pesta. Matanya tidak pernah lepas dari Mega, seolah- olah Carlo takut jika Mega menghilang. Monica merasa tidak bahagia dengan itu. Padahal Carlo sudah melakukan hal kejam pada gadis itu demi dirinya.
"Tentu tidak. Ayo kita masuk. "
Carlo menarik lembut lengan Monica, merasa konyol karena memikirkan hal yang aneh - aneh. Dia seharusnya tahu jika tidak boleh gundah.
'Kendalikan dirimu, Carlo. Apa yang kau pikirkan, saat ini Monica sedang bersamamu. Bukankah ini tujuanmu selama ini, "batin Carlo. Namun hati Carlo tidak setuju, saat ini dia bersikap baik bukan karena mendapatkan tujuannya tapi sedang menjalani hukumannya karena sudah kejam pada istrinya yang tak bersalah.
Saat memasuki rumah, Carlo sadar jika Mega dan Ian tidak berada di ruang tamu. Dia merasa panik karena takut mereka melakukan hubungan ranjang di kamarnya. Carlo memutuskan untuk mengecek keduanya.
"Monica, kau duduklah. Aku akan memanggil Mega. Kita bisa mengobrol bersama." Sungguh alasan yang tidak masuk akal.
Monica menolak ide Carlo. Monica yakin jika Ian dan Mega sedang berada di kamar dan sangat jelas terlihat jika Carlo sekarang sedang panik dan cemburu. Dia tidak ingin Carlo merusak hubungan Ian dan Mega, jika bisa Monica ingin terjadi sesuatu dengan mereka.
"Berhenti Carlo."
Monica melingkarkan tangannya pada leher Carlo. Itu membuat segala gerakan Carlo terhenti. Terutama dadanya sekarang sedang menyentuh benda bulat dan lembut milik Monica. Hasratnya yang selama ini ia tahan selama dua tahun mulai bereaksi. Tubuhnya tahu benar dan sangat hafal dengan apa yang ada pada Monica. Nafasnya pun memburu. Hasrat sudah menguasai dan membuatnya tak bisa berpikir jelas. Apalagi dari tadi pikirannya sangat tegang dan butuh pelampiasan.
"Monica ... "
"Apa kau tidak merindukanku, Carl," goda Monica. Dia mulai melakukan aksi yang dulu sangat disukai Carlo. Monica mengangkat tangannya dan menantang Carlo.
"Tentu saja aku merindukan mu." Carlo meraih wajah Monika.
'Benar inilah yang aku inginkan. Monica lah yang aku inginkan...' ucap Carlo pada dirinya sendiri.
"Bagus, karena aku juga sangat merindukan mu. " Tangan Mega mulai memainkan tuxedo Carlo. Dia perlahan mendekatkan dirinya pada bibir Carlo dan mulai mencicipinya. Lidahnya juga mnenerobos ke mulut Carlo, bermain di sana sampai pria itu kehilangan kewarasan seutuhnya.
Di kamar, Ian menutup pintu dan duduk di ranjang Mega. Suasana kamarnya hangat dan didominasi warna pastel dan beraroma segar. Ian merasa betah tinggal di sini.
"Kau lihat tadi, Carlo cemburu padaku..." ucap Ian.
Ian menyeringai senang. Rupanya mendekati Mega tidak lagi sulit seperti dahulu. Dia sekarang lebih terbuka dan penurut. Ian menebak jika hati Mega sedang kalut atas sikap mesra dua orang tadi. Ian tidak bisa membiarkan Mega tetap muram.
"Teruskan bertindak seperti ini. Aku yakin Carlo tersiksa setiap hari dan mencari alasan untuk berbicara denganmu. "
Mega melirik Ian, satu hal yang ia sadari yaitu Mega merasa tidak sendiri. Ada Ian di sisinya membuatnya menjadi lebih kuat dan tidak cengeng di saat seperti ini.
"Kau penasehat unggul Ian. Aku bersyukur kau ada di pihakku. "
Ian hanya tersenyum. "Aku haus, tolong suruh pelayan membawa minuman dingin ke sini. "
Mega berdiri dari tempat duduknya. Tidak mungkin ia menyuruh pelayan karena mereka sudah pulang.
"Aku akan membawakan untukmu. Para pelayan pulang ke rumahnya jika sore. Hanya ada kepala pelayan dan tempat tinggalnya terpisah dari rumah utama."
"Baiklah."
Mega pun keluar dari kamar dan hendak menuju dapur yang ada di lantai bawah. Tanpa dia sangka, Carlo dan Monica sedang b******u di sofa. Pakaian Monica bahkan sudah tidak berbentuk lagi karena diserang oleh Carlo yang mengganas. Pria itu sangat menikmati apa yang ia lakukan sampai tidak tahu jika Mega sedang lewat.
Beda halnya dengan Carlo, Monica tahu jika Mega sedang memperhatikan mereka berdua. Dia pun mulai mengeluarkan desahaan laknat yang menunjukkan kenikmatan tak terhingga. Ia ingin membuat Mega cemburu dan tidak berharap pada Carlo, dengan demikian Monica tidak lagi mencari pria sekaya Carlo.
Mega tersenyum kecut. Dia seharusnya sudah tahu jika mereka akan melakukan itu setelah berpisah sangat lama. Hal ini juga menyadarkan Mega jika tidak ada gunanya mencoba merebut perhatian Carlo.
'Sepertinya aku tidak ada harapan. '
Mega pun pergi meninggalkan kedua orang yang sudah tenggelam dalam gairah itu. Dia kembali ke kamar dengan hati yang hancur. Rasanya semua yang ia lakukan sia - sia belaka. Memang sudah waktunya mengakhiri dan melepaskan.
Tbc