4. Tuan Muda Kama 2

1158 Kata
Punggung lebar seorang pria bertubuh tinggi dan ramping itu menjadi pusat pemandangan diantara danau dan bukit-bukit yang ada disekitarnya. Tidak ada yang lebih menarik untuk dilihat dan diperhatikan selain dirinya. Kokoh dan indah. Tapi bukan itu alasan utama mereka tak henti memandangi Kama. Ada rasa iba. Ada banyak tanya. Ada keinginan untuk menolong tapi mereka tidak tahu, bagian mana dari hidup pria yang hampir memiliki segalanya itu yang perlu ditolong.   Dia memang membutuhkan pertolongan. Sebelum terlambat. Pikir pria yang berdiri satu langkah didepan pria yang lainnya. Sudah bertahun-tahun, belum ada solusi untuk menjawab perubahan adik bungsu yang dulu selalu ceria dan tersenyum lebar hingga mampu menjadi sumber kebahagiaan semua orang itu. Tidak ada yang mampu menolak pesona Kama, siapapun akan tertular kebahagiaan Kama setiap kali melihat senyumnya terkembang. Rasanya ia merindukan adik manja yang akan bersandar dipelukannya dan merengek dibelikan ini dan itu. Adik menyebalkan yang selalu memaksanya mengalah setiap main game. Adik yang akan memaksanya untuk mengucap “I love you” setiap kali mereka berpisah didepan pintu kamar masing-masing. Adik itu sudah lama menghilang. Entah kemana dan ia sangat rindu. Tapi apa daya. Tidak ada yang tahu penyebab perubahan itu, bahkan setelah ribuan hari berlalu. Kini setiap kali wajah adiknya muncul di infotaiment, kepergok jalan dengan artis ini dan itu, ia hanya bisa berpasrah. Setann macam apa yang telah merasuki adik polosnya itu sampai berubah menjadi womanizer begitu? Pipi Kama yang dulu chubby itu sudah menghilang, digantikan pipi tirus dan wajah lelah kurang istirahat. Adiknya yang dulu selalu sibuk berbahagia telah lenyap digantikan dengan pria merana. Kalau begini jadinya, ia bersumpah lebih memilih adik pengangguran yang biasa saja. Bukan businessman yang lupa bahagia. Bukan pria tampan yang tanpa cinta.  Bukan Kama yang terus berduka. Ia rindu melihat adiknya tertawa karena hal-hal kecil yang receh, ia ingin melihat adiknya yang hyperaktif itu kembali lagi. Dulu ia sering berfikir, apakah adiknya mencuri semua jatah semangat dan tenaga dari dalam dirinya yang selalu rajin berbaring untuk menghemat energi tubuh? Adiknya memiliki cadangan energy melimpah yang membuatnya menjadi super aktif dan tidak bisa diam, kecuali saat bermain game komputer. Apa yang membuat Kama berubah sebanyak ini? Tidak apa-apa kalau memang dia tidak ingin mewarisi bisnis papa, tidak apa-apa kalau dia hanya ingin menghabiskan waktu didalam kamar dengan semua kreatifitasnya, tidak apa-apa kalau Kama tidak memiliki ambisi lebih besar. Tidak apa-apa, asal dia bahagia. Kembalilah, Kama. “Berkas apa itu?” tanya Dhika pada Aris yang berdiri satu langkah dibelakangnya. “Dokumen pribadi Pak Bos, Sir” “Pasti tidak boleh saya buka, kan?” Ari mengangguk.   Dhika masih memandangi punggung adiknya. Punggung itu terlihat kesepian dan lelah. Langit yang mendung, Danau yang beriak kecil dan angin sejuk membuat suasana menjadi semakin muram dimata Dhika. “Apa kita perlu bantuan profesional? Apa Kama pernah mencobanya?” Ari terlihat ragu sebentar dan Dhika dengan cepat menangkap bahasa tubuh Ari itu. “Apa ada sesuatu yang tidak kamu laporkan pada kami?” Tangan kanan Kama itu gamang, ia bekerja dibawah Kama House of Creativity, bukan dibawah Atmajaya, jadi tidak seharusnya Ari melapor pada orang lain selain Kama. Tapi ini adalah Kakak Kama, jadi dia berhak tahu, kan? Setelah mengambil keputusan sulit, Ari melangkah mendekat dan berbisik, “Pak Bos sudah pernah menyewa jasa professional, Sir. Tapi bukan professional yang ada difikiran anda” Dhika terdiam. Berfikir sejenak. “So, he acknowledged his main problem?” simpul Dhika. Matanya berkilat-kilat penuh ketertarikan akan fakta tersebut.  (Jadi, dia mengetahui masalah utamanya?”) “Ya, Sir. Selama ini Pak Bos tahu” “No, he doesn’t (Dia tidak mengetahuinya). Dia seperti pejantan kucing yang tersesat dan kebingungan... Jadi, dia mengakuinya? Kepada siapa dia mendedikasikan kekacauannya?” Ari tercenung mendengar Dhika. “Jadi kamu tidak sepenuhnya tahu?” Ari mengangguk. “Bukankah sudah jelas, seseorang yang seumur hidupnya tidak pernah mengalami kekecewaan dan penolakan dari siapapun pasti akan terguncang saat merasakan itu. Tapi Kama sudah kelewatan. Sudah bertahun-tahun dan dia masih belum bisa mengatasi kekacauannya!” Ari menerima informasi itu dan mulai menyambung-nyambungkannya dengan berkas yang ada ditangannya. Kama si pendiam membuatnya banyak menerka, Ari tidak tahu asumsinya yang mana saja yang benar. “Tapi sepertinya lebih dari itu, Sir.” Dhika sama sekali tidak terkejut mendengar hal itu. Ia mengenal adiknya. Mengenal dengan sangat baik, Oleh karena itu ia tidak pernah memberi penghakiman atas segala citra buruk yang Kama ciptakan selama beberapa tahun terakhir ini. Dhika memilih untuk percaya bahwa Kama akan berhasil melalui semua ini dan kembali kepada keluarganya. Tapi sayangnya, beberapa bulan belakangan ini Dhika mulai meragukan keputusan yang telah ia buat. Kama semakin bersikap diluar karakternya dan melupakan siapa dirinya sebenarnya. “But, six freaking years are too long , Pak Ari. Waktu yang cukup lama untuk dihabiskan dalam kekacauan. He needs to stop”  (Tapi, waktu enam tahun terlalu lama, Dia perlu menghentikannya!) Ari menyutujuinya. “Satu minggu yang lalu, wanita itu muncul di club malam tempat Pak Bos menghabiskan waktunya. Tapi menghilang kembali. Pak Bos tidak bisa menelusuri jejaknya…” “KOK BISA?” Dhika merasa emosi mendengarnya. Sebuah kesempatan muncul dan Kama dengan ceroboh melewatkannya begitu saja! “Miss Devina…” “Jadi, berita skandal itu?” Dhika menoleh sepenuhnya pada Ari, wajahnya heran dan tak habis fikir. Sudah tak terhingga jumlah peringatan yang ia berikan pada Kama bahwa, segala sesuatu yang berhubungan dengan publik figur seperti Devina hanya akan memancing keributan media dan penggemar mereka. “Ya, Sir” Ari merinding saat tiba-tiba teringat dengan tugasnya untuk “membereskan” artikel hujatan dan kecaman pada Kama atas berita dan video cekcoknya dengan Miss Devina yang tersebar luas. Hubungan yang saling menguntungkan itu seharusnya berhenti baik-baik saat tidak ada lagi benefit yang didapat. Tapi pihak Devina tidak terima dan membuat kegaduhan didalam tempat yang sangat ramai kerumunan manusia. Akibatnya berita dan fitnah semakin ditebar dimana-mana. Ari merasakan kepalanya pening, terlalu banyak hal yang harus dia atasi seminggu belakangan. “Pencarian Pak Bos tertahan oleh kemarahan Miss Devina yang tidak terima saat Pak Bos memutuskan untuk menyelesaikan penjanjian mereka secara sepihak” Sambung Ari. “Ya, Ya, gue b**o. Bukannya fokus sama dia, gue malah milih menyelesaikan urusan gue sama Devina duluan. Gue terlalu semangat untuk mengakhiri kekonyolan hidup gue. Gue terlalu yakin inilah waktu yang tepat. t***l banget emang!” Potong Kama, membuat Ari dan Dhika terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Suara dan wajah pria itu dipenuhi emosi yang sarat dengan penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. “At least, you learned” Dhika menepuk pundak Kama, mengelusnya perlahan, menyalurkan kekuatan dan dukungan yang mampu meredam setidaknya sedikit kekalutan Kama. (Setidaknya kamu belajar) Otot-otot wajah Kama yang semula menegang, mulai mengendor dan mengangguk, “At least now I know she’s alive” (Setidaknya, sekarang aku tahu kalau dia masih hidup) Kama merebut tumpukan dokumen dari tangan Ari dan berbalik kembali ke tempat dia berdiri sebelumnya. Ari yang  menyusulnya dari belakang berhenti ketika Kama memberikan perintah, “Tunggu disini tiga puluh menit!” ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN