"Baru kali ini aku melihat ada karya surga dari mata seorang Hawa. Seperti tanda yang menuntun arah dan seperti rindu rerumputan pada embun pagi yang damai."
( Muhammad Zayyan Altair )
***
Suara gemerisik air di kamar mandi semakin membuat jantung gadis mungil berlesung pipit itu berdetak cepat. Antara senang dan malu bercampur padu dalam dirinya ketika mengingat kembali sosok yang sedang berada di dalam sana, saat ini telah menjadi suaminya.
Lelaki yang ia harapkan kedatangannya. Lelaki yang telah mencuri hatinya. Lelaki shalih yang menggetarkan jiwanya.
Bagaikan mimpi, ia menangkup wajah lalu mencubit pelan pipinya. "Aawww...!!!" Ia meringis pelan ketika merasakan sakit pada bekasan cubitannya sendiri. Ternyata ini bukanlah mimpi.
Jam menunjukkan pukul setengah tiga siang. Setelah menerima wejangan serta ucapan doa dari seluruh keluarga, Zayyan dan Ina kembali memasuki kamar guna untuk melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Dan kali pertama bagi Ina menjadi makmum untuk suaminya sebagai imam dalam shalat pertama yang akan mereka lakukan.
Setelah mengganti pakaian pengantin dengan gamis rumahan, Ina duduk menanti Zayyan. Ia terlihat anggun di atas kasur dengan mukena yang membaluti kepala hingga sampai ke mata kaki.
Suara gemerisik air tiba-tiba berhenti. Degup jantung Ina semakin berdebar kencang. Kedua tangan juga ikut bergetar. Resah dan gelisah kini menjadi satu, mengingat nanti bagaimana ia akan bertingkah laku di hadapan sang pengisi kalbu.
Ina menghirup dan mengembuskan napas berulang kali, mencoba menetralisirkan jantung yang berpacu. Namun, detakan itu semakin melaju dengan irama yang bertalu-talu.
"Klik!!!" Suara pintu dibuka.
Zayyan keluar dari kamar mandi. Ia terlihat semakin tampan dengan air bekasan wudhu yang menghiasi wajah putihnya. Senyum tipis terukir menawan di bibirnya. Hatinya pun tidak kalah jauh dengan Ina. Gugup.
"Dek Ina sudah berwudhu?" Zayyan melangkah mendekat.
"Sudah," jawab Ina singkat. Lalu ia beranjak dan menggelar sajadah untuk mereka shalat bersama.
***
"Bi ... Ummi nggak enak hati ini. Pikiran Ummi masih melekat ke anak kita itu, apa dia pendiem atau nggak, ya? Kok, Ummi jadi was-was gini, ya?"
"Kenapa Ummi yang merasa was-was, Mi?"
Celetukan ummi yang mengkhawatirkan anak bujangnya, menghadirkan tawa dan tanda tanya di kepala Rendy. Sedangkan abi hanya diam tak menanggapi. Abi tahu bagaimana sifat istrinya kalau menyangkut tentang Zayyan.
Abi tetap fokus menyetir. Reny yang tidak mengerti juga hanya diam saja mendengarkan.
Saat ini mereka sedang dalam perjalanan kembali pulang ke Bireuen. Kepulangan mereka yang begitu cepat, karena kondisi Reny masih dalam tahap pemulihan. Ummi tidak bisa mengabaikan begitu saja. Rasa sayangnya terhadap Reny dan Rendy sudah seperti rasa sayangnya terhadap Zayyan, anak kandungnya sendiri.
Di tambah lagi persiapan ngunduh mantu dua hari mendatang. Biasanya disebut dengan 'preh Dara Baro' bagi pihak linto, menyita waktu dan tenaga. Belum lagi pemasangan tenda dan pelaminan membutuhkan waktu yang lumayan lama.
"Iyalah...! Abang kamu itu, pemalunya masya Allah banget, Ummi terkadang greget sendiri melihatnya. Acara ini kalau bukan karena Abi, mungkin nggak akan berlangsung sampai kapanpun. Jangan harap dia yang pertama melangkah, nggak akan! Ummi yakin seratus persen." Ummi menggebu-gebu saat menceritakan bagaimana perangai anak kesayangannya itu.
Rendy senyam-senyum sendiri. Ia tidak percaya kalau abang yang baru ia kenal ternyata seperti itu. Bahkan saat pertama sekali ia bertemu Zayyan, ia malah melihat ketegasan, kewibawaan dan betapa berkharismanya sosok seorang Muhammad Zayyan Altair.
"Ummi kamu itu memang begitu, Rendy, jadi kamu tidak usah terlalu memikirkan Bang Zayyan. Abi percaya, Abang Zayyan pasti bisa mengatasi bagaimana cara menghadapi seorang wanita, apalagi wanita tersebut sudah menjadi istrinya yang sah."
Abi terkekeh. Rendy manggut-manggut. Sedangkan ummi mencebikkan bibir bawahnya. Kalau tidak ada Rendy dan Reny di mobil, sudah pasti abi langsung mencubit gemas istri cantik di sampingnya itu. Walaupun umur mereka sudah setengah abad lebih, namun keromantisan mereka tidaklah pudar sama sekali. Malah kini semakin bertambah.
***
"Terima kasih karena telah menerima pinangan Ummi dan Abi. Sungguh, saya tidak menduga bahwa calon istri yang Abi maksud adalah Dek Ina sendiri," ucap Zayyan.
Kini mereka duduk berdua di atas ambal di samping tempat tidur, setelah menunaikan shalat Dhuhur berjamaah. Awalnya mereka tampak malu-malu dan gugup, bahkan kecanggungan tercipta di antara mereka, itu terjadi karena mereka saling diam-diaman, akan tetapi mata saling lirik-lirikan.
Siapa yang melihat kecanggungan mereka pasti akan mesem-mesem sendiri. Sayang, abi dan ummi yang suka menggoda Zayyan tidak berada di sana, kalau tidak, habis sudah Zayyan dibully oleh Ummi Dini.
"Ina juga tidak menyangka, Bang," lirih Ina.
Hening.
Zayyan maupun Ina tidak tahu lagi apa yang harus mereka katakan. Mereka masih kikuk, belum terbiasa dengan kebersamaan ini.
Seketika kecanggungan merajai mereka berdua. Mereka sama-sama tidak terbiasa berduaan seperti ini. Sama-sama masih awam jika berhadapan dengan lawan jenis.
Sepintas kemudian, Ina mengingat kembali obrolannya terakhir kali dengan Zayyan sebelum ia kembali ke rumah. Lantas ia memberanikan diri untuk bertanya kembali. Ia harap, lelaki di sampingnya saat ini tidak melupakan itu.
"Abang...!" panggilnya dengan suara merdu lagi lembut.
Seketika Zayyan menoleh. Roman wajahnya tampak terkejut mendengar suara merdu dari mulut bidadari hati yang kini telah mengisi ruang hatinya secara halal. Zayyan berharap, sekarang Allah meridhai rasa hatinya. Kemarin ia khilaf karena telah mengisi nama Ina yang belum halal untuknya.
"Iya," sahutnya singkat. Matanya kini menatap dalam manik mata istrinya.
"Bolehkah Ina tahu apa yang hendak Abang katakan di pertemuan terakhir kita?" tanya Ina hati-hati.
Terdengar helaan napas sebelum Zayyan menjawab, "Sebenarnya saya ingin mengutarakan maksud hati yang selama ini saya pendam. Namun, saat Abi mengatakan bahwa beliau sudah melamar seorang wanita buat saya, dengan berat hati saya menerima dan membatalkan niat awal saya."
"Niat awal, Abang? Maksudnya?" Ina mengernyit bingung.
Zayyan mengangguk. "Iya, niat awal saya," ucapnya tak berniat melanjutkan.
Belum saatnya ia mengutarakan apa-apa yang selama ini ia pendam. Untuk saat ini, biarkan ia dan Allah saja yang tahu.
Biarkan cerita cinta mereka mengalir seperti air yang mengalir ke muara dengan sendirinya. Secara perlahan dan bertahap. Mengenal lebih dekat tanpa ada sekat.
Sementara itu di rumah Zayyan, Ummi Dini yang baru saja tiba langsung bergegas mengganti pakaian dengan daster rumahan biasa. Sanak saudara juga sudah pada ramai dengan kesibukannya masing-masing. Kesibukan untuk menanti kedatangan pihak 'Dara Baro' dua hari dari sekarang.
Sementara Ummi Dini sudah sibuk di dapur mengatur bahan-bahan masakan bersama ibu-ibu yang lain, abi menemui Pak Leman untuk membahas masalah daging lembu yang akan dimasak di hari H nanti.
Sedangkan Rendy membantu Mirza, Amar, dan yang lainnya mendirikan tenda. Tidak lupa juga Rendy menyuguhi mereka air minum. Sirup manis dingin beserta kue ringan sudah terhidang di atas meja panjang.
"Aku tidak percaya kalau Bang Zayyan sudah berubah status menjadi suami," celetuk Mirza sembari mengambil segelas air dan meminumnya. "Ternyata waktu berlalu begitu cepat."
"Namanya jodoh, siapa yang tahu, Za!" sahut Amar tidak kalah dari Mirza. "Bisa jadi jodoh kita juga sudah menanti di ujung sana, tapi kitanya yang belum merengkuh dalam ikatan. Terkadang aku berpikir, kira-kira siapa yang pertama datang dalam hidupku? Bidadari bermata bening atau Malaikat pencabut nyawa?" Sorot mata Amar menatap jauh ke depan.
Mirza memukul pundak Amar. "Istighfar, Mar, bagaimana bisa kamu bicara tentang pencabut nyawa di saat kita sedang bersuka cita atas penyempurnaan separuh agama Bang Zayyan!"
Rendy tersenyum memperhatikan dua laki-laki dewasa di depannya. Rendy yang masih remaja tanggung hanya diam mendengarkan tanpa ikut menimpali. Hanya doa yang ia panjatkan, semoga Zayyan berbahagia dengan Ina. Baik di dunia maupun akhirat.
Esoknya segala persiapan sudah dilakukan. Zayyan yang sudah kembali dari rumah Ina sebelum perhelatan digelar pun kini berdiri gagah dengan baju pengantin khas Aceh.
Penutup kepala yang disebut dengan Meukutop pun sudah menghiasi kepala Zayyan, begitu pula dengan rencong yang tersampir di pinggangnya. Sungguh terlihat gagah bagaikan raja. Senyum terukir tak lekang dari wajahnya.
Pun begitu dengan Ina sang Dara Baro, terlihat cantik paripurna dengan hijab yang sudah dihiasi dengan berbagai macam hiasan serta bunga cempaka putih sebagai tambahan di atasnya, semakin membuat Ina tampak bagaikan Ratu dengan bermahkotakan Patham Dhoe.
Acara tueng dara baro atau yang disebut ngunduh mantu berjalan dengan khidmat dan meriah. Setelah dipeusijuk dan berfoto bersama, Ina kembali dibawa pulang oleh keluarganya.
Jangan tanya kapan mereka akan bertemu kembali, karena setelah Zayyan membantu abi dan ummi menyelesaikan seluruh sisa-sisa acara, Zayyan segera kembali ke Lhokseumawe saat Magrib mulai menjelang.