15. Awal Hidup Baru

1719 Kata
Mobil yang dikendarai Zayyan melaju meninggalkan kediaman Ina. Zayyan dan Ina sama-sama membisu, diam tak bersuara. Zayyan fokus menatap ke depan. Sedangkan Ina masih mengatur ritme hatinya yang berdebar-debar. Kebersamaannya dengan Zayyan masih membuatnya kikuk, apalagi di dalam mobil hanya mereka berdua saja. Bahkan untuk menatap saja, Ina merasa malu. Dan sesekali ia mencuri pandang wajah Zayyan yang kini telah menjadi suaminya. Setelah sarapan tadi, Zayyan meminta izin kepada Hauzan untuk memboyong Ina ke Bireuen. "Ina telah menjadi istrimu, hakmu, dan kemanapun kau ingin membawanya, itu keputusanmu. Yang penting kau jaga dia baik-baik, bila dia melakukan kesalahan, tegur dia dengan lemah lembut. Aku sudah menyerahkannya kepadamu. Dan dia adalah amanah Allah yang dititipkan padamu. Ane percaya, apapun yang ente lakukan pasti berlandaskan sunnah Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam," ucap Hauzan tegas. Memang, Hauzan dan Zayyan selalu mengganti-gantikan sebutan atau panggilan sesama mereka. Terkadang "kau, aku" dan di lain waktu berubah menjadi "ane, ente" suka-suka mereka sajalah yang penting mereka bahagia. "Insya Allah, ane akan menjaganya," angguk Zayyan menerima apa yang diucapkan oleh abang iparnya itu. Ada rasa bahagia di hati Hauzan tatkala melihat sahabatnya yang akhirnya kini telah menjadi suami adik bungsunya. Hauzan tahu bahwa adiknya juga mencintai Zayyan. Pancaran sinar mata mereka memang tidak bisa berbohong. "Ehemmm..., Abang!" panggil Ina membuyarkan lamunan Zayyan. "A-ada apa?" Zayyan seakan lupa bahwa mereka masih dalam perjalanan. Dan saat ini mereka terjebak di lampu merah. "Abang melamun?" "Owh, ti-tidak, heheheh...!!!" kekehnya menutupi keterkejutannya. Hening. Mereka kembali diam. "Abang, kira-kira Ummi suka apa, ya?" Ina mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk sembari menatap Zayyan. Bibir bawahnya ia majukan sedikit. Zayyan menoleh sesaat, tapi dengan cepat ia memalingkan wajahnya kembali ke depan. Jantungnya berdegup kencang. Tak sengaja bibir ranum Ina menjadi titik fokus pandangannya tadi. Ia beristighfar di dalam hati. Kepalanya ia geleng-gelengkan seakan mengusir bayangan wajah Ina, dan yang menarik perhatiannya adalah bibir berwarna pink alami tanpa polesan lipstik itu sama sekali. "Abang kenapa? Kepala Abang, sakitkah?" cemas Ina. Ina mengangkat tangan kanannya hendak menyentuh pelipis Zayyan, reflek Zayyan menghindar. Begitu sadar, lantas Zayyan meminta maaf karena ia tidak sengaja dan belum terbiasa. Seakan keintiman mereka semalam tidak ada dalam ingatannya. Mengingat itu membuat pipi Ina merona malu. "Nggak apa-apa, Ina maklum, Abang," kata Ina malu seraya menarik kembali tangannya. Keduanya kembali diam. Dua menit kemudian Zayyan berdeham memecah keheningan. "Tadi Dek Ina tanya apa?" "Ummi sukanya apa?" "Kesukaan Ummi saja yang ditanya, nih?" Ina mengernyit tanda tak memahami maksud ucapan Zayyan. "Maksud Abang?" "Enggak ada maksud apa-apa!" Zayyan tersenyum simpul. Matanya tetap fokus menatap jalan raya. Meski penasaran, Ina tak lagi bertanya. Mobil yang dikendarai Zayyan kini sudah memasuki area Coet Gapu, kalau perjalanannya lancar, mungin tidak lama lagi mereka akan segera sampai. Ina memilin-milin ujung jilbabnya. Sejak tadi tak berhenti mengatur degup jantungnya yang berdetak cepat. Berbeda saat ia belum menjadi istri Zayyan. Kali ini jujur ia merasa deg-degan bertemu lagi dengan Ummi Dini dan Abi Ali, karena statusnya kini sebagai menantu mereka. *** "Ummi, Ummi...!!!" Reny berlari kecil memanggil Ummi Dini yang sedang berkutat dengan buah belimbing wuluh di belakang rumah. Buah belimbing wuluh banyak yang sudah berjatuhan, maka dari itu, Ummi Dini sibuk mengumpulkan buah tersebut untuk dijemur hingga kering. Katanya, asam sunti lagi mahal-mahalnya. Proses pembuatan asam sunti sendiri dilakukan dengan menjemur belimbing wuluh di bawah sinar matahari hingga layu. Setelah penjemuran pertama, belimbing ditaburi garam dan disimpan di tempat teduh. Kemudian dibiarkan hingga meresap. Keesokan harinya, dijemur kembali. Begitu berulang-ulang hingga belimbing wuluh berubah wujud. Asam sunti ini sering digunakan untuk membuat masakan seperti kuah asam pedas, ataupun sambal sebagai pengganti tomat. Ummi Dini menghentikan aktivitasnya. "Ada apa, Nak? Jangan lari-lari nanti jatuh!" Reny berhenti tepat di samping Ummi Dini. Rambutnya yang dikepang dua pun ikut berhenti mengikuti yang punya badan. "Abang Rendy nakal, dia nggak mau beliin Adek coklat," adunya dengan mata berkaca-kaca. "Abang Rendy bukannya nakal, tapi dia sayang sama Adek makanya nggak dibolehin sering-sering makan coklat. Emangnya Dek Reny udah sarapan?" Takut-takut Reny menggelengkan kepalanya pelan. "Tuh kan, udah jam segini belum sarapan. Kalau udah makan Ummi beli coklat banyak-banyak nanti. Sekarang makan dulu, ya? Bilangin Bang Rendy!" Ummi Dini kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Setelah mengumpulkan semua belimbing di dalam ember besar dan diisi dengan air, barulah Ummi Dini meninggalkan halaman belakang dan masuk ke dalam. Di meja makan terlihat Reny sedang asyik mengunyah nasi goreng buatan Ummi Dini. Seulas senyum terbit kala melihat anak yang baru berusia lima tahun itu melahap makanannya dengan wajah bahagia. "Enak nasinya, Sayang?" Ummi Dini mendekat seraya mengusap kepala Reny dengan sayang. Anak kecil itu menganggukkan kepalanya antusias. "Enak!" "Oh, ya, bentar lagi Bang Zayyan pulang. Reny bantuin Ummi masak mau nggak?" Ummi Dini mengambil sekantung kangkung yang sudah dipotong-potong dan juga tauge. Tidak lupa dua buah tempe dan tahu. Semua bahan ditaruh di atas meja. "Ummi mau masakin apa?" tanya Reny setelah menyelesaikan sarapannya. "Kita masak tumis tauge campur tahu tempe, Reny suka, nggak?" "Suka." Tidak lama kemudian mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Meskipun keberadaan Reny tidak banyak membantu karena ia masih sangat kecil, namun ajakan Ummi Dini tadi supaya Reny tidak mengingat minta dibelikan coklat. *** Setelah menempuh perjalanan selama satu jam lebih, akhirnya Zayyan dan Ina sampai di rumah. Dari Lhokseumawe ke Bireuen sebenarnya hanya memakan waktu kurang dari satu jam sesuai kecepatan. Namun yang membuat mereka telat adalah karena mereka singgah dulu di setiap toko untuk membeli beberapa oleh-oleh yang akan dibawa pulang. Ada beberapa jenis kue dan camilan yang diambil Ina. Pun beberapa pasang baju untuk Reny dan Rendy. Nyaris saja ia lupa keberadaan kedua anak itu. "Udah cukup ini semua?" tanya Zayyan melihat beberapa kantung di tangan istrinya. Ina mengangguk. Entah kenapa ia sangat antusias membeli itu semua. Dan itu tak luput dari penglihatan Zayyan. Menarik sudut bibir, Zayyan mengusap kepala Ina pelan. "Ada apa?" "Enggak! Sini biar saya bawa." Zayyan mengambil alih bawaan Ina. Setelah semuanya selesai, keduanya kembali melanjutkan perjalanan. "Assalamualaikum...." Zayyan mengucap salam dan masuk ke dalam diikuti Ina. "Waalaikumussalam...." Suara anak kecil membuat Ina tersenyum simpul. Reny berlari kecil menyambut Zayyan dan Ina. Kepangan rambutnya bergoyang-goyang mengikuti sang punya badan. Pun pipi tembemnya membuat Ina gemas dan memeluk anak kecil itu. "Ummi mana?" tanya Zayyan. "Lagi di dapur." Ada rasa takut saat si kecil itu menjawabnya. Ummi berjalan tergopoh-gopoh dari dapur. "Ya Allah, Ina, anak Ummi...." Ummi Dini memeluk erat Ina setelah sang menantu menyalaminya dengan takzim. "Ummi lupa sama Abang?" Melepaskan pelukannya dari Ina, Ummi menyambut uluran tangan anak bujangnya yang tak lagi bujang sembari tertawa kecil. "Kamu, mana mungkin Ummi lupa." Terkekeh kecil Zayyan juga ikut memeluk Ummi yang sangat ia sayangi. Setelah peluk-pelukan, mereka duduk di sofa. "Ummi, Ina minta maaf tak sempat membuat kue kesukaan Ummi." Ina menyerahkan kantong yang berisi kue dan camilan yang ia beli tadi dengan perasaan bersalah. "Masya Allah, nggak apa-apa Sayang, ini aja udah syukur alhamdulillah. Lagian kita bisa bikin kapan aja nanti, insya Allah." Ummi menerima dan juga menenangkan Ina sebelum beranjak ke dapur. Sementara Reny, ia masih berada di samping Ina. Tepatnya ia menyembunyikan dirinya dari Zayyan. "Reny kenapa?" tanya Ina saat menyadari tangannya digenggam erat. Reny menggeleng pelan. "Reny takut?" Kembali gadis kecil itu menggeleng. Pipi tembemnya merona. "Lalu?" "Reny malu." "Malu? Sama siapa?" Reny tidak menjawab, tetapi bola matanya menatap Zayyan yang sedang fokus melihat layar pipih di tangannya. Ina mengikuti arah tatapan Reny. Setelah menyadari maksud gadis kecil di sampingnya ini, Ina tersenyum geli. Ada-ada saja! "Reny malu sama Abang?" Ketahuan oleh Ina, dengan malu-malu Reny menyembunyikan wajahnya di lengan Ina. "Saya masuk dulu." Zayyan beranjak meninggalkan dua perempuan beda generasi tersebut dan masuk ke kamar. Ina tak lagi berkecil hati jika laki-laki yang kini telah menjadi suaminya itu terkadang meninggalkannya begitu saja seperti saat ini. Ia sudah memakluminya. Mungkin itu karakter dari pria tampan yang mencuri hatinya. "Bang Zayyan mana, Na?" Ummi Dini kembali dengan membawa senampan air dan beberapa piring kecil yang berisi kue serta gorengan. "Udah masuk, Mi." Ina ikut membantu Ummi Dini meletakkan dua cangkir teh di atas meja. "Reny, bawa nampan ini ke belakang, ya, Sayang," pinta Ummi Dini pada Reny. Mengambil nampan di tangan Ummi, Reny berlari kecil ke belakang. "Hati-hati, Nak! Jangan lari-lari nanti jatuh!" seru Ummi. Ina tersenyum melihat anak kecil yang menggemaskan itu. Kalau boleh, Ina ingin meminta Ummi Dini untuk menyerahkan Reny di bawah pengasuhannya. "Betah dia di sini, ya, Mi?" "Alhamdulillah, setelah sembuh dia ceria lagi. Tapi kadang-kadang Ummi perhatiin sorot matanya menyiratkan kesedihan. Entah apa yang dia pikirkan." Ummi Dini menghela napasnya pelan. "Tidak dipungkiri memang, anak-anak yang kehilangan orang tuanya pasti merasa sedih, apalagi Reny masih kecil begitu," lanjut Ummi Dini. Setelah berbincang-bincang sebentar, Ummi Dini kembali ke dapur melanjutkan masaknya yang tertunda. Sedangkan Ina menyusul sang suami ke kamar. Sejak tadi laki-laki itu tidak keluar lagi dari sana. Ina penasaran apa yang membuat Zayyan tidak muncul lagi duduk bersamanya di ruang tamu. Bahkan air minum yang disajikan oleh Ummi belum ia sentuh. Sebenarnya Ina belum berani untuk masuk ke kamar Zayyan, tetapi Ummi Dini yang menyuruhnya langsung masuk saja. Pantaskah ia masuk ke kamar suaminya tanpa seizinnya? Ah, entahlah! Ina hanya mencoba peruntungannya saja. Pelan ia membuka pintu. Melongok ke dalam terlebih dulu sebelum ia masuk. Mendapati suaminya sedang fokus di depan laptop dengan wajah serius, membuat Ina tersenyum kecil. Mengawali hidup baru bersama laki-laki yang ia kagumi, Ina berharap dirinya yang kini telah menjadi seorang istri mampu menjadi sosok pendamping buat suaminya baik suka maupun duka. Tentu saja wanita yang bernama Ghalin Zayyina ini mengharapkan rumah tangga yang bahagia. Pun sakinah, mawaddah, dan rahmah serta diridhai Allah dalam setiap langkah baktinya terhadap suaminya, Muhammad Zayyan Altair. "Abang...." Ina mendekat dan berdiri di samping Zayyan. Zayyan menoleh pada sumber suara yang mulai terekam di kepalanya. Ia menaikkan sebelah alisnya seakan bertanya ada apa pada Ina. "Abang sibuk?" tanya Ina hati-hati takut mengganggu suaminya yang mungkin saja tengah mengerjakan sesuatu. Menutup layar laptop, Zayyan berbalik menghadap Ina. "Cuma melihat desain yang dikirim teman. Saya tidak terlalu nyaman kalau melihat dari HP." Desain? Ina bertanya dalam hati. Tetapi raut wajah penasaran tak dapat disembunyikan. Namun Zayyan tidak berniat untuk menjelaskan. Belum saatnya ia tahu kalau suaminya ini sedang membangun usaha perhotelan di Kutaraja. Zayyan bangkit dari duduknya. Tangan kanannya menggenggam tangan kiri Ina. Tanpa berkata, Ina tahu bahwa suaminya ini membawanya kembali ke ruang tamu. Mereka menyesap teh yang disuguhi Ummi Dini dalam diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN