18. Ma'had Al-Mudi

2124 Kata
"Wah, kalian beli apa aja?" tanya Ummi Dini antusias saat menyambut kepulangan anak-anaknya dari Suzuyua. "Nggak banyak, Mi," jawab Ina. "Yang banyak cemilan Reny, Mi, untung dia nggak minta coklat," sahut Rendy yang diakhirinya berbisik di telingan Ummi Dini agar si kecil Reny tidak mendengarnya. Ummi Dini cekikikan mendengarnya. Tahu benar bagaimana Reny merengek-rengek meminta dibelikan coklat. Padahal ia tahu tidak bisa makan coklat. "Abang pasti capek, ya?" tanya Ina setelah meletakkan barang belanjaan di atas meja. Dan semua itu kini sudah beralih ke tangan Ummi Dini karena Rendy kata ada beberapa es krim di dalamnya. Supaya tidak mencair, maka Ummi Dini segera memindahkannya ke dalam freezer. "Sedikit!" Zayyan merebahkan punggungnya pada sandaran sofa. "Sini Ina pijit." Ina mengambil lengan Zayyan lalu memijitnya dengan pelan. "Alamat Abang bakalan cepat ngantuk ini kalau dipijit begini," kata Zayyan sembari terkekeh pelan. "Abang tidur aja!" "Tapi kita belum shalat Isya," imbuh Zayyan lagi. "Kalau gitu Ina beresin Reny dulu, ya, baru kita shalat berjamaah." Ina hendak berdiri, tapi dicegah oleh Ummi Dini yang baru datang lagi dari belakang. "Kalian bersih-bersih aja dulu, biar Reny Ummi yang urus!" Rendy yang sejak tadi sudah ke kamar, muncul dengan setelan baju kemeja dan kain sarung yang melilit pinggangnya. "Mau ke mana, Ren?" Ummi bertanya saat melihat Rendy siap-siap di depan pintu. "Mau ke Masjid, Mi, Abi masih di sana juga, kan?" "Masih! Ya udah, kamu hati-hati jalannya, ya!" pesan Ummi Dini. "Insya Allah, Mi!" Rendy berlalu setelah pamit pada Ummi yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya itu. "Ina masuk kamar dulu, Ummi," pamit Ina kemudian diikuti Zayyan. Ummi Dini kini terfokus pada Reny yang sejak tadi asyik menguap tanpa henti. "Udah ngantuk?" Mata Reny terlihat mengantuk, tetapi ia tidak mengakuinya. "Belum!" Ummi Dini hanya tersenyum, tidak lagi berkata-kata ia membawa anak kecil itu ke kamar untuk mengganti baju dan membersihkan diri sebelum beranjak tidur. Sementara Ummi Dini menyibukkan diri bersama Reny sebelum suaminya pulang, lain lagi dengan anak dan menantunya. Keduanya terdiam di dalam kamar tanpa berbuat apa-apa. Zayyan merebahkan diri di atas kasur, sedangkan Ina berdiri di dekat kulkas kecil karena tadi memasukkan beberapa makanan ringan untuknya dan Zayyan ke dalamnya. "Abang nggak jadi ke kamar mandinya?" Ina bersuara setelah beberapa menit dikuasai oleh keheningan. Mata yang sempat terpejam kini terbuka. Pemandangan pertama kali yang menyambutnya adalah plafon kamar berwarna putih. Lama ia merenung sebelum menjawab pertanyaan istrinya. "Besok haul Abon di Al-Mudi, maukah Dek Ina menemani saya silaturahmi ke sana?" Zayyan kini beringsut duduk menghadap Ina yang juga bergeser duduk di kursi meja rias. Sejenak Ina memperhatikan raut wajah Zayyan. Ada keraguan di sana. Melengkungkan senyum Ina pun berkata, "Ya, Ina pasti akan menemani Abang kemanapun Abang ajak, apalagi ke Ma'had silaturahmi ke gurunya Abang." Ada perasaa lega setelah tahu jawaban istrinya. Meskipun Ina telah menjadi istrinya, tetapi ia tetap meminta izin Ina jika ingin mengajaknya ikut serta. "Udah jam sembilan ini, jadi kita berjamaah bersama?" Ina mengingatkan lagi. Tersenyum simpul, Zayyan beranjak ke kamar mandi. Sementara Ina melepaskan jilbab yang masih membaluti kepalanya, dan juga mengganti gamis dengan daster seperti kebiasaannya jika sedang di rumah. Baju yang ia bawa masih di dalam tas, belum ia pindahkan ke dalam lemari. Padahal tadi siang Zayyan sudah menyuruhnya. Selagi menunggu Zayyan dari kamar mandi, ia membongkar isi tasnya untuk dimasukkan ke dalam lemari. Tidak banyak yang ia bawa, hanya beberapa pasang saja. "Susun aja di samping baju saya, maaf belum ganti lemari, jadinya ya begitu," ucap Zayyan tiba-tiba mengejutkan Ina yang sedang fokus menata baju-bajunya. "Lemari Abang besar, tapi udah kepenuhan aja, ya, isinya?" Ina tertawa kecil. Memang tadi Ina sempat bingung mau meletakkan di mana baju-bajunya, sementara tempat di dalam lemari penuh dengan barang-barang Zayyan. Zayyan ikut tersenyum tanpa merespon ucapan Ina. Senyum Zayyan membuat Ina seketika merasa canggung. Gegas ia menyelesaikan pekerjaannya lalu masuk ke kamar mandi untuk berwudhu. *** Seperti kata Zayyan semalam, hari ini pukul sembilan kurang lima belas menit, Ina sudah bersiap-siap dengan gamis hitam dan juga jilbab lebar dengan warna senada yang menjadi pilihannya. Sementara Zayyan memadukan baju kokonya dengan kain sarung yang juga berwarna gelap. Menyesuaikan warna dengan istrinya. Itu juga karena pilihan Ina. Katanya biar seragaman. Dan Zayyan mengiyakannya saja. Mereka berangkat tepat pukul 09:00 WIB setelah sebelumnya ada drama kecil antara Ina dan Reny. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Ina. Dari tingkah lakunya, sepertinya Reny menganggap Ina sebagai ibunya. Ummi Dini pun mengiyakan karena semalam beliau mengulik-ulik keseruan si kecil saat jalan-jalan bersama anak dan menantunya. Ketika Ummi bertanya mengapa bukan Ummi Dini saja yang dianggap ibu olehnya, anak itu malah menjawab, "Sebenarnya Eny mau manggil Mami untuk Ummi, tapi gak berani. Terus Kak Ina jadi mamanya Eny, Abi jadi abisyik, dan Bang Zayyan jadi abinya Eny, udah lengkap semua keluarga Eny!" Ummi Dini sampai terhenyak mendengar keinginan anak kecil itu. Sungguh malang nasibnya, seusia dini itu ia sudah merasa kehilangan kasih sayang orang tuanya. Bahkan saat ia mengatakan itu seakan-akan ia sedang bermain rumah-rumahan. "Kenapa begitu?" "Karena Eny mau punya keluarga lengkap kayak teman-teman Eny dulu," ungkapnya seraya memeluk Ummi Dini sambil tersenyum. Ummi Dini tak bisa berkata apa-apa. Lidahnya kelu dan tenggorokannya kaku. Ia balas pelukan anak malang itu dengan sayang. Setelah menyampaikan keinginan Reny pada suaminya dan disetujui olehnya, maka pagi harinya ia katakan semua pada Zayyan dan Ina. Pasangan pengantin baru itu saling pandang. Menyelami keinginan masing-masing. Namun pada akhirnya Zayyan tidak memberi jawaban. Katanya nanti setelah mereka kembali dari Al-Mudi baru mereka bicarakan lagi masalah ini. Di dalam perjalanan, Ina masih memikirkan tangisan Reny tadi. "Abang!" panggil Ina. "Hmm?" tanya Zayyan. Tangannya memutar setir memasuki jalan lintas Sumatra. Manik matanya tetap fokus memindai jalan raya yang penuh dengan kendaraan. "Ina kepikiran Reny," katanya pelan. "Nanti kita bahas itu. Sekarang kita fokus dulu ke acara haul Abon." Ina menoleh. Mengamati sang suami dengan seksama. Ina berpikir mungkin bukan waktu yang tepat baginya membahas masalah Reny yang dikatakan Ummi tadi. Menghela napas sepelan mungkin, Ina kembali melihat ke luar jendela. Satu jam perjalanan tak terasa mereka sudah tiba di Al-Mudi. Mobil mereka memasuki area Mudi yang sudah terlihat padat. Hati-hati ia memarkirkan mobilnya supaya tidak mengganggu aktivitas para santri. Tempat parkir pun sudah tampak penuh dengan kendaraan lainnya. Setiap tahunnya Al-Mudi membludak dengan hadirnya santri alumni dari berbagai macam daerah. Bahkan ada yang dari Malaysia. Pemandangan dan suasana Dayah yang ramai dan semarak, membuat Ina terpana, takjub dengan keberagaman. "Ramai juga yang datang, ya, Bang?" "Hmm... sini tangannya!" Zayyan menggenggam tangan kanan Ina. "Abang takut Ina kesasar, ya?" katanya dengan nada jail disertai tawa kecil. Sebenarnya ia malu karena Zayyan menggandengnya di khalayak ramai. Ya, walaupun tidak ada yang memerhatikannya, tetapi memang dasarnya ia pemalu. Zayyan tidak menanggapi gurauan istrinya. Ia hanya berusaha menjaga Ina agar tidak tersenggol dengan yang lainnya. Setelah 3 menit berdesakan di jalan akhirnya keduanya berhasil sampai ke gedung utama. Tenda-tenda berdiri kokoh. Ada beberapa meja prasmanan pada setiap tenda. Sekilas Ina mendengar bahwa ada puluhan ekor lembu dan belasan kambing yang disembelih pada haul kali ini. Banyak yang memberikan hewan secara cuma-cuma. Rata-rata dari para alumni yang memang sudah sepuh dan sudah mendirikan pesantren sendiri. "Dek Ina ke sana dan saya ke sini, nggak apa-apa, kan?" Zayyan menunjuk ke arah tenda perempuan. Laki-laki dan perempuan memang dipisahkan. Terpampang jelas petunjuk 'INOENG' dan 'AGAM' pada masing-masing tiang yang artinya keduanya dipisahkan. Belum sempat Ina menjawab, suara ponsel mengalihkan tumpuannya. "Dari Kak Zahra," katanya setelah melihat siapa yang menghubunginya. "Kami ada di perbatasan laki-laki dan perempuan!" Zayyan mengernyit. "Mereka sudah datang?" Ina mengangguk masih berbicara dengan kakak iparnya di seberang sana. "Iya, udah kelihatan dari sini!" lanjut Ina sambil mengangkat lengannya memberi kode agar terlihat oleh Zahra. Dari kejauhan pasangan baru itu melihat Hauzan dan Zahra yang menggendong Syameel mendekat. Anak berusia 1 tahun itu tampak pulas dalam gendongan ibunya. Tak terusik sama sekali dengan suara riuh yang memenuhi seantero Dayah Al-Mudi. "Kalian juga baru sampai?" Adalah suara Hauzan yang pertama kali menyapa ketika mereka sudah bersama. "Abi sama Ummi nggak ikut sekali?" lanjutnya lagi saat tidak melihat abi dan ummi. "Sudah kami wakilkan!" "Hahaha... wakilahnya pengantin baru, ya!" Hauzan menaikturunkan alisnya. Bermakna ia tengah menggoda Zayyan. Sudah lama juga ia tidak menggoda keduanya dengan godaan jailnya. Mumpung ada kesempatan Hauzan tidak menyia-nyiakannya. "Assalamu'alaikum!" Ucapan salam seseorang menghentikan tawa Hauzan. "Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh," jawab kedua pasangan itu. "Masya Allah... kita bertemu di sini! Apa kabar antum berdua?" "Alhamdulillah, khair! Saheb Yusuf bagaimana?" Zayyan menepuk pundak Yusuf. Setelah obrolannya dengan Yusuf kala itu, Zayyan tidak mendengar lagi kabar darinya. Apakah ia tahu kalau gadis incarannya sudah menjadi istrinya? Zayyan tidak tahu. Tapi melihat raut wajah pria itu yang terlihat biasa saja, Zayyan menyimpulkan kalau Yusuf belum tahu pernikahannya dengan Ina. Tidak ada yang menyadari gelagat Ina yang berusaha menghindar dari Yusuf karena merasa tak enak hati pernah menolaknya. "Alhamdulillah seperti yang antum lihat!" Suasana yang semakin bertambah ramai membuat pria-pria itu berpisah dengan istri-istrinya. Di atas meja tersedia beberapa macam kue, dan di sampingnya dua perempuan bercadar sedang mengisi air timun yang sudah diserut ke dalam gelas plastik. Keduanya asyik tertawa cekikikan sambil melirik ke arah santri laki-laki yang mengangkat termos nasi. Ina dan Zahra yang sudah mengambil tempat di pojokan setelah masing-masing mengambil beberapa kue pilihan, terus memperhatikan keduanya. Sehingga tidak menyadari seseorang mendekat dan duduk bersama mereka. "Ini Kak Ina, kan?" tebaknya. "Benar, dengan siapa, ya?" tanya Ina bingung. Alisnya bertaut memindai manik mata si penanya. "Saya Shafiya, yang kemarin ke rumah Ummi Dini bersama Abi dan Ummi saya." "Masya Allah ... maaf, Kak! Saya nggak mengenali Kak Fiya!" Ina meminta maaf merasa bersalah tidak mengenali wanita bercadar di depannya. "Nggak masalah, lagian kemarin kita cuma sebentar ketemunya." Di balik cadar ia tersenyum ramah. "Sama siapa ke sini?" Shafiya melirik Zahra. "Oh, iya, ini Kakak Ipar saya!" Ina mengenalkan keduanya. Ketiganya kemudian larut dalam obrolan. Sesekali tawa menghiasi obrolan mereka. Banyak pasang mata yang memerhati. Tapi sepertinya Shafiya tak peduli, sementara Ina sejak tadi merasa tak nyaman menjadi perhatian tamu undangan lainnya. Tak terasa siang kian menjelang. Shafiya dan Zahra sudah tak terlihat bersama Ina lagi. Dua menit kemudian Ina dijemput oleh seorang perempuan. Ia dibawa ke arah kawasan santri putri, lebih tepatnya di depan rumah Abu Hasan, pimpinan pesantren. Di sana sudah ada Zayyan dan Hauzan beserta Zahra duduk bersama seorang laki-laki dan perempuan yang juga memakai cadar. "Ini istri saya," ujar Zayyan seraya menyambut kedatangan sang istri. "Dek, ini Abi Akhyar, guru saya dan istrinya, Manda." "Masya Allah... ahlan wa sahlan!" Perempuan bercadar yang dipanggil Manda meraih Ina dan memeluknya hangat. "Waktu acara kemarin kami tidak bisa hadir karena ada pertemuan di Banda Aceh. Sekarang anggap aja sebagai pengganti kehadiran kami di sana!" ujar Manda kemudian mengajak mereka masuk ke dalam. "Kita merencanakan, tetapi Allah yang menentukan, bukankah begitu?" imbuh Akhyar sambil tertawa kecil. "Benar, benar, tidak ada yang menghalangi kalau bukan Allah yang halangi!" sahut Hauzan. Mereka tertawa bersama. Tawa mereka bukanlah tawa yang suaranya besar dan menggelegar, akan tetapi tawa kecil yang bahkan terkadang suaranya tak terdengar. Zayyan dan Hauzan termasuk salah satu murid yang dekat dengan Abu Hasan dan Akhyar. Akhyar bahkan satu tingkatan dengan mereka. Ina senang bisa mengenal Manda dan suaminya. Baru berjumpa, tetapi keakraban mereka langsung tercipta. Ina baru tahu bahwa Akhyar adalah anak tertua Abi Hasan. Dari Zahra pula ia mengetahui kalau Manda adalah salah satu murid adik abi mereka. Pantasan Manda sangat antusias menyambut kedatangannya. Setelah shalat Ashar barulah mereka berpamitan pulang. Semenjak tadi dua pasangan suami istri itu dilarang pulang dulu sebelum acara selesai. Tapi ketika menjelang Ashar, Syameel mulai rewel, sehingga membuat mereka undur diri lebih awal. "Terimakasih banyak Teungku Zayyan, udah bersedia hadir di acara ini, bersama istri pula!" Manda, istrinya Akhyar memeluk Ina sebelum pasangan baru itu masuk ke mobil. "Ina juga berterimakasih karena Manda sudah menyambut kami dengan tangan terbuka!" "Kamu bisa aja, besok-besok insya Allah kami undang khusus, spesial buat kalian!" Mereka pun tertawa bersama menanggapi ucapan Manda. Sementara di sisi lain, Hauzan dan Zahra juga bersiap-siap masuk ke mobil. "Begitu naik mobil rewelnya hilang, ya?" "Begitulah, Bi Yar, kalau dibawa ke mana-mana, ya di sini dia tenangnya, kalau lama-lama di luar, subhanallah banget rewelnya!" Akhyar tertawa kecil seraya menggeleng kepala mendengar kalam sohibnya. Di antara mereka bertiga, memang Hauzan yang ucapannya terkadang rada ngawur, alias ngasal kalau sedang lagi bercanda. Semenit kemudian suara tangis Syameel terdengar. Seakan tahu bahwa sang abi sedang mengatainya. "Tuh, baru aja dibilangin udah nangis lagi dia! Kalau gitu kami izin dulu, assalamualaikum!" Hauzan mulai menjalankan mobil setelah Akhyar menyahut salamnya. Diikuti mobil Zayyan di belakang. Akhyar dan Manda beranjak setelah dua mobil itu hilang dari pandangan. Ina bersyukur harinya bersama Zayyan sangat menyenangkan hatinya. Bertemu dan berkenalan dengan orang-orang shalih mengingatkannya kepada kedua orangtuanya. Hanya doa yang bisa ia panjatkan untuk keduanya bersama senja yang menjelang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN