Love Akasia: 4. Undangan Reuni

2288 Kata
Aluna berdiam diri di ruang tengah. Televisi yang menjadi tontonannya dengan Bunda sudah padam. Berganti layar hitam tanpa gambar. Tapi mampu menarik perhatian Aluna sepenuhnya. Ehm … sebenarnya bukan menarik perhatian, Aluna hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Masih memikirkan kejadian tadi, sebelum Ayah dan Arjuna pulang. Aluna memang tidak mengenal sosok perempuan berambut pirang panjang, dengan pahatan wajah yang cantik. Dari gayanya, Aluna sudah bisa menebak jika si perempuan berasal dari keluarga kaya. Perempuan itu datang membawa sebuah undangan reuni untuk Arjuna. Reuni SMP tiga angkatan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Menghela napas sekali lagi. Semakin Aluna memutar otak untuk memikirkan semuanya, kepalanya terasa semakin berat. Tapi dalam hati, Aluna penasaran dengan sosok perempuan itu. Bukan karena Aluna cemburu. Jelas sekali itu alasan yang tidak masuk akal. Aluna hanya merasa pernah melihat si perempuan. Tapi di mana ia melihatnya? Satu hal lain yang membuat Aluna semakin penasaran, perempuan tadi langsung beranjak dan pamit pulang setelah menelisik wajah Aluna lebih jauh. Mungkinkah keduanya saling mengenal? Tapi kenapa perempuan itu tidak menyapanya? Malah langsung pergi dengan raut kaget begitu menyadari sesuatu. Usapan di kening membuat Aluna sadar dari lamunannya. Menoleh kemudian menghela napas malas begitu tahu Arjuna yang baru saja mengusap keningnya. Gerakan refleks menepis tangan itu membuat Arjuna tertawa pelan, satu kebiasaan dari sosok Arjuna yang tidak pernah tertinggal. Aluna juga heran, bisa-bisanya si lelaki hanya tertawa pelan atau mengusap kepalanya lembut saat Aluna mulai menunjukkan raut tidak suka. Aluna sendiri juga tidak paham dengan dirinya yang selalu membenci Arjuna. Ehm, bukan membenci, itu terdengar sangat kasar. Aluna hanya merasa tidak menyukai sikap Arjuna yang selalu berlebihan. Lelaki itu terlampau posesif. Padahal keduanya tidak memiliki hubungan khusus seperti berpacaran atau bertunangan. Hanya hubungan kakak-adik tidak sedarah. Setidaknya itu ikatan yang dianggap Aluna selama ini. Aluna dan Arjuna tumbuh bersama, mendapatkan kasih sayang yang sama dari kedua orang tua Arjuna. Aluna sadar betul, ia bukanlah anak kandung Ayah dan Bunda Arkharega. Hanya sosok putri kecil yang tersesat dan ditemukan oleh sepasang suami istri yang baik hati. Sampai keduanya memilih merawat dan membesarkan Aluna. Sudah sekitar sepuluh tahun Aluna menjadi bagian dari keluarga Arkharega. Memiliki orang tua yang sangat menyayanginya. Tidak pernah membedakan kasih sayang itu dengan Arjuna. Ayah dan Bunda menganggap Arjuna dan Aluna adalah sepasang putra-putri yang harus sama-sama disayangi. Sedangkan untuk Arjuna, entahlah. Seharusnya Arjuna menganggap Aluna sebagai adik perempuannya. Sama seperti Aluna yang menganggap lelaki itu sebagai kakak laki-lakinya. Tapi nyatanya tidak demikian. Aluna tidak pernah mendapatkan kasih sayang selayaknya kakak laki-laki dari Arjuna. Arjuna juga selalu menolak Aluna yang menganggapnya kakak. Entah untuk alasan apa, Arjuna selalu bersikap berlebihan. Melarang Aluna dekat dengan laki-laki lain, walaupun itu hanya sekadar teman sekolah. Arjuna selalu membatasi Aluna, membuat si perempuan merasa terkekang dan enggan menuruti. Sayangnya, Arjuna yang menyebalkan memiliki sifat pemaksa akut dan tidak bisa ditentang. Sekalinya Arjuna melarang, Aluna harus menuruti. “Kenapa kerut-kerut kening begitu?” tanya si lelaki. Merendahkan badannya untuk berjongkok di hadapan Aluna. Meraih sepasang tangan Aluna dan menggenggamnya erat. Berhasil membuat si perempuan berdecih sebal. Aluna mengalihkan pandangan, enggan bertatapan dengan Arjuna. Senyuman lelaki itu masih terpantri di sana. Membuat getaran halus itu selalu muncul dalam diri Aluna. Arjuna tidak menyerah, masih tersenyum penuh kelembutan. Jujur, Arjuna begitu merindukan Aluna yang seperti ini. Bertingkah cuek, seolah tidak memedulikan apapun. Urusan pekerjaan selama tiga hari di luar kota, nyatanya membuat rasa rindu dalam dirinya semakin membuncah. Sekarang, saat si perempuan yang membuatnya hampir gila sudah berada di hadapannya, Arjuna tidak bisa melakukan hal lebih selain menggenggam sepasang tangan itu. Padahal Arjuna sudah mengharapkan pelukan hangat atau ciuman manis di sebelah pipi. Huh, sadarlah Arjuna! Jangan terlalu banyak berkhayal tentang sesuatu yang tidak mungkin. Aluna tidak akan pernah melakukan hal itu. Arjuna memberi ciuman lembut di punggung tangan saja sudah membuat sepasang mata cantik itu membola lebar. "Jun lepas!" ucap Aluna masih berusaha melepaskan genggaman tangan Arjuna. Arjuna menggeleng tegas. Kembali mencium punggung tangan Aluna, membuat semburat merah muncul di pipi Aluna. "Aku kangen, kamu nggak mau peluk tadi.” Laki-laki itu berujar cuek. Aluna terlihat gelisah. Mereka sedang berada di rumah keluarga. Khawatir jika Ayah dan Bunda tiba-tiba datang dan memergoki mereka yang sedang bermesraan. "Jun, nanti Ayah sama Bunda lihat." Aluna semakin gelisah, sesekali melirik ke lantai atas tempat di mana kamar Ayah dan Bunda berada. Arjuna menaikkan alisnya bingung. Bukankah kabar baik jika kedua orang tuanya mengetahui hubungan mereka yang semakin membaik? "Kenapa? Justru aku berharap mereka tahu." Aluna melotot dengan respon Arjuna yang terlampau santai. Tidak mau menanggapi lebih lanjut. Aluna lebih memilih mengambil undangan reuni yang ia letakkan di meja samping. Memberikannya pada Arjuna membuat laki-laki itu menaikkan kedua alisnya. "Undangan reuni SMP," ucap Aluna, menjawab pertanyaan tersirat dari Arjuna. Laki-laki itu beranjak, duduk di samping Aluna dan meraih undangannya, membacanya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Aluna yang sedang memperhatikannya dengan raut wajah polos. "Siapa yang antar ke sini?" "Namanya Yeri. Orangnya cantik, langsing, rambutnya pirang, terus pipinya tirus," jawab Aluna, mengingat wajah perempuan yang tadi datang ke rumah. Aluna mengakui jika perempuan itu cantik, tapi seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Aluna seperti mengenal perempuan itu tapi ia juga tidak yakin. "Yang tembem begini lebih cantik," ucap Arjuna, mengusap sebelah pipi Aluna. Membuat perempuan itu kembali menatapnya sebal. Gerakan refleks memukul bahu membuat laki-laki itu semakin tertawa gemas. "Kamu tahu Yeri?" tanya Aluna, menatap Arjuna dengan sorot penasaran. Arjuna sedikit tersentak, tapi sedetik kemudian langsung merubah mimik wajahnya, agar terlihat baik-baik saja. Arjuna berdehem sejenak, mengusap keningnya, gerakan yang selalu Arjuna lakukan saat laki-laki itu gugup. Aluna semakin dibuat penasaran dengan respon Arjuna yang terkesan mencurigakan. Ia hanya menanyakan siapa perempuan bernama Yeri, ‘kan? "Itu temen seangkatan kamu semasa SMP." Laki-laki itu menunjukkan senyumannya yang terkesan dipaksakan. "Aku nggak ingat." Aluna mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat memorinya saat SMP tapi Aluna tidak mengingat apapun. Hal itu membuat kepala Aluna kembali pening. "Nggak usah diingat-ingat itu nggak penting." Arjuna meraih kepala Aluna untuk menghadapnya. Mengusap kerutan di kening Aluna sampai kerutan itu menghilang. Arjuna terus mengusap kening Aluna supaya perempuan itu tidak lagi mengingat memori masa lampau. Karena Aluna akan terlihat menyedihkan jika mengingat itu. "Kamu datang ke reuni itu?" "Aku datang tapi kamu nggak." Arjuna berujar tegas membuat Aluna semakin tidak terima. "Kenapa aku nggak boleh ikut?" Sebenarnya Aluna juga tidak ingin ikut ke acara reuni itu, tapi dalam hatinya, Aluna menyimpan beragam pertanyaan. Apalagi mendapati respon Arjuna yang tegas melarangnya untuk ikut. Padahal biasanya, Arjuna selalu memaksanya untuk menemani ke pesta-pesta yang diadakan kolega bisnisnya. "Karena aku nggak izinin." Aluna berdecih sebal, mengalihkan pandangannya ke arah televisi di depan sana, mengabaikan Arjuna lagi. Membuat laki-laki itu menghela napas dan berpikir sejenak, untuk menyampaikan alasannya secara halus tanpa menyakiti si perempuan. "Aku punya alasan, tapi nggak bisa aku kasih tahu sekarang," ucap Arjuna lembut. Tangannya terulur, meraih kepala Aluna agar bersandar pada d**a bidangnya. Sudah paham betul kalau perempuan mungilnya dalam mode kesal. Mengusap-usap rambut panjang Aluna yang saat ini diikat kuda. Membuat si perempuan terlihat semakin cantik. Arjuna beberapa kali mencium puncak kepala Aluna, dengan usapan yang masih terus ia lakukan. "Janji nggak akan datang ke reuni itu," ucap Arjuna masih di posisi yang sama. Aluna mengangguk patuh dalam dekapannya. Membuat Arjuna tersenyum senang. Perempuan mungilnya sudah mulai menurutinya dan tidak banyak protes seperti biasanya. Pikirannya melayang, seiring dengan pergerakan tangannya di rambut halus Aluna. Memori masa lalu yang masih terekam jelas dalam ingatan terputar perlahan. Seperti sebuah kilasan film dokumentasi masa lampau. Arjuna masih mengingat jelas kapan semua itu bermula. Saat itu, Arjuna yang tanpa sengaja menabrak adik kelasnya, membuat tumpukan buku itu berserakan. Arjuna dengan sigap membantu Aluna kecil walaupun nampak tidak diterima dengan baik. Satu hal yang terasa berbeda dalam benak, ketika sepasang matanya tanpa sengaja menangkap binaran indah Aluna, Arjuna terpaku. Matanya menelisik lebih dalam, ingin menatap keseluruhan wajah cantik itu. Pahatannya indah, cantik bak boneka, pipi menggembung lucu, dan bibir mungilnya yang beberapa saat diperhatikan selalu mengerucut. Entah sejak kapan Arjuna mulai dengan aksinya. Selalu memperhatikan Aluna dari kejauhan, mengagumi begitu wajah cantik itu nampak tersenyum walaupun hanya sesekali terlihat. Sampai akhirnya, rasa kagumnya tidak lagi bisa dibendung. Arjuna berniat menyampaikan perasaannya pada Aluna kecil, perempuan pujaannya yang bahkan masih mengisi keseluruhan hatinya sampai detik ini. Sayangnya, pergerakannya harus terhenti lantaran satu fakta mengejutkan yang berhasil meruntuhkan kehidupan Arjuna. Sebuket akasia dan sekotak coklat yang sudah dipersiapkan seolah tidak lagi berguna, begitu tahu jika perempuan mungilnya sudah terlalu lama menderita. Arjuna memang tidak mengenal terlalu jauh akan sosok perempuan kecil bernama Aluna. Hanya sesekali berpapasan saat Aluna kesulitan membawa buku-buku paket sendirian ke perpustakaan. Atau saat Arjuna tidak sengaja menabrak Aluna yang membawa tumpukan buku tugas teman-temannya. Aluna selalu terlihat cantik dalam segala kondisi, bahkan saat sedang cemberut. Jujur saja, Arjuna sangat jarang melihat senyuman mengembang dari Aluna. Bibir mungil berwarna merah muda itu lebih sering mengerucut lucu. Padahal saat senyumannya mengembang, Aluna terlihat berkali-kali lipat lebih cantik. Aluna juga jarang terlihat berkumpul bersama teman-temannya. Lebih sering sendirian atau sesekali ditemani seorang perempuan berambut pirang. Arjuna menebak jika perempuan pirang itu adalah sahabat baik Aluna. "Jun lo yakin mau nembak cewek itu sekarang?" Pertanyaan Arkan kala itu, yang mampu membuat langkah lebar Arjuna terhenti. Heran, tentu saja. Menelisik Arkan yang terlihat tidak tenang. Tidak mungkin Arkan menyukai perempuan yang sama, ‘kan, sampai repot-repot menghentikannya begini? "Iyalah kenapa emang? Lo nggak liat gue udah sesiap ini." Arjuna menunjukkan sekotak coklat dan sebuket akasia yang sudah ia siapkan sebelumnya. Arkan, menghela napas sejenak, kemudian mengisyaratkan Arjuna agar menoleh ke arah depan. Di mana perempuan impian Arjuna sedang berjalan ke arah ruang guru dengan tumpukan buku. Aluna terlihat kesulitan, apalagi tubuhnya yang mungil membuat gerakannya tidak leluasa. "Lo tahu alasan kenapa dia selalu bawa setumpuk buku sendirian?" Arkan melirik Arjuna yang menjatuhkan pandangannya ke arah Aluna. Mengikuti setiap gerakannya, yang lagi-lagi menampilkan wajah cemberut lucu. "Dia nggak punya temen di kelasnya, Jun," lanjut Arkan. Arjuna melotot tajam, mengalihkan pandangannya ke arah Arkan, meminta penjelasan lebih lanjut yang spesifik. "Dia jadi bahan bullyan temen-temennya karena dianggap operasi plastik. Ayahnya cuma karyawan biasa, dan satu-satunya keluarga yang dia punya cuma ayahnya itu." "Maksud lo apa?" "Lo bisa lihat ‘kan, cewek pujaan lo itu secantik apa," ujar Arkan, menghela napas sejenak, setelahnya kembali melanjutkan kalimatnya. "Kalau lo nembak dia sekarang gue nggak yakin dia bakalan aman gitu aja." Arjuna kembali mengalihkan pandangannya ke arah depan. Aluna sudah menunduk dengan buku-buku yang berserakan. Ada seorang guru yang terlihat sedang memarahinya. Arjuna mengepalkan tangannya kuat. Mengetahui satu fakta mengejutkan yang tentunya sangat mengganggu pikirannya. Tidak terima, jelas! Ditambah pemandangan di depan sana yang membuat salah satu sudut hatinya merasa sakit. Arjuna baru saja akan melangkahkan kakinya menyusul Aluna. Setidaknya membantu Aluna membereskan buku-bukunya, tapi Arkan langsung menahan pundaknya. "Kalau lo ke sana keadaan bakalan makin rumit." Kalimat Arkan membuat Arjuna diam. Hanya mampu memperhatikan perempuan mungil itu dari kejauhan. Bagaimana wajah cantiknya menunduk dan guru di depannya yang semakin marah-marah. Arjuna menahan amarahnya kuat-kuat. Ia bisa saja berlari pada Aluna, menolongnya dan memarahi guru yang seenak jidat marah-marah seperti itu. Sangat manusiawi ‘kan tidak sengaja menjatuhkan tumpukan buku? Dunia memang tidak adil. Arjuna yang memang terlahir dari keluarga berada bisa dengan mudahnya melakukan kesalahan tanpa sanksi sosial. Tapi Aluna, yang katanya hanya berasal dari keluarga biasa, ayahnya hanya seorang karyawan biasa bisa dibully habis-habisan karena kesalahan kecil. Perempuan mungilnya yang memiliki wajah nyaris sempurna, bahkan bisa di biarkan sedemikian rupa hanya karena ia anak dari karyawan biasa. Bukankah fisik manusia adalah ciptaan Tuhan? Bagaimana bisa orang-orang menilai wajah cantik itu karena hasil operasi plastik? Arjuna mengerti sekarang, mengapa perempuan kecil itu selalu sendirian, tidak pernah sekalipun terlihat berjalan bersama teman-temannya. Selalu kewalahan dengan tumpukan buku, tanpa ada satu pun orang yang mau membantunya. Itu semua membuat hati Arjuna teriris. Arjuna berjanji akan mengeluarkan perempuan kecil itu dari kondisi tidak mengenakkan ini. *** Aluna merasakan sesuatu yang basah jatuh di keningnya. Mata bulat yang tadinya memandang kosong ke depan beralih menatap Arjuna yang masih mendekapnya. Aluna masih bersandar nyaman di d**a bidang Arjuna. Merasakan detak jantung itu menggedor hebat. Aluna kaget, melihat Arjuna menangis. Perempuan ini juga bingung kenapa laki-laki yang dikenalnya sangat konyol bisa tiba-tiba menangis dalam diam. Aluna mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Arjuna yang sudah basah karena air mata. Mengusap pipi itu lembut, membuat Arjuna tersentak. Menatap Aluna yang sedang menatapnya dengan tatapan polos. Bayangan masa lalu Aluna semakin membuat Arjuna teriris. Air matanya menetes semakin deras membuat Aluna semakin bingung. Arjuna menatap keseluruhan fitur wajah Aluna yang tidak pernah berubah sejak dulu, tetap cantik bahkan semakin cantik. Pipi berisinya yang sampai saat ini masih sering menggembung lucu, mata bulatnya yang berbinar cantik, hidung kecil yang mancung, dan bibir mungilnya. Semua masih sama. Hanya beberapa bagian yang bertambah besar, tapi masih dengan ukuran yang pas. Arjuna yang sejak saat itu selalu mengagumi kecantikan Aluna. Ia yang sangat memuja ciptaan Tuhan di hadapannya. Aluna yang polos, yang sudah menderita selama itu. Arjuna merasa bersyukur dengan kondisi ingatan Aluna yang lemah. Karena Aluna tidak perlu berusaha melupakan kenangan buruk di masa lalu. Tuhan sudah terlalu baik menjadikan Aluna lupa dengan kenangan itu. Arjuna meraih Aluna ke dekapannya. Memeluk Aluna lembut dan sesekali mencium keningnya penuh kasih sayang. Menyalurkan rasa sayangnya melalui pelukan hangatnya. Memberikan sinyal pada Aluna bahwa di semua kondisi, Arjuna akan selalu bersama Aluna. Menemani Aluna, menjadi tempat Aluna berkeluh kesah, menjadikan perempuan itu menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berpura-pura bahagia, saat hatinya teriris sakit. Aluna kembali menatap Arjuna, siap menanyakan hal yang membuat Arjuna menangis. Tapi Arjuna langsung menutup mulut Aluna dengan tangannya. Kembali mendekap perempuan itu erat. "Jangan tanya apa-apa, aku cuma mau peluk kamu lebih lama," bisiknya. Aluna mengangguk, tangannya terulur, mengusap pundak Arjuna lembut. Pertama kalinya Aluna membalas pelukan Arjuna. Membuat laki-laki itu semakin memendam wajah Aluna ke d**a bidangnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN