3. Tiga

1469 Kata
Yoon Rahee merasa aneh dengan dirinya, selepas sarapan ia langsung pergi mandi. Katanya, tubuhnya bereaksi panas tak beralasan ketika melihat suami sendiri yang hanya mengenenakan kaos putih ketat yang melekat pas di tubuh kekarnya. Oh, Ya Tuhan. Dadanya bidang sekali! begitulah pemikiran primitifnya. Rahee membenahkan diri dengan make up natural dan pakaian formal seperti biasa saat hendak berangkat kerja. Ia tak bisa berlama-lama untuk cuti. "Sudah rapi?" Terkesan menyindir dari nada suaranya. Rahee menoleh dan mendapati Sean berdiri di belakangnya. "Oh, iya. Sean aku—" "Keringkan rambutku!" perintahnya tak bernada sambil melemparkan handuk kecil yang ia bawa. Rupanya Sean pun baru angkat kaki dari kamar mandi, rambutnya basah dan menumpahkan tetesan air hingga menuruni lehernya. Disuguhkan pemandangan hot dady seperti ini dari suaminya, Rahee menelan samar gumpalan saliva. Sean mendudukkan diri di atas ranjang, menunggu Rahee untuk ikut duduk di dekatnya. "Keringkan rambutku, Rahee! Jangan diam saja," perintahnya dua kali. Oke. Rahee yang bodoh karena terlalu lama menikmati. Secepat kilat ia memosisikan diri di depan suaminya. Sean menggeram. "Kau mempertontonkan dadamu tepat di depan mataku, Sayang. Jika ingin selamat, tolong ganti posisi." Sangat lancar dan benar sekali pelafalannya, Rahee sampai merona malu karena hal itu. Kemudian ia menuruti apa yang Sean katakan. Saat ini Rahee menempatkan diri di belakang Sean dengan lutut yang bertumpu pada kasur busa dan tangannya mengusap lembut rambut legam pria itu. "Sean, boleh aku bertanya?" "Katakan." Sungguh hemat bicara, pikir Rahee. "Aku akan lanjut dengan pekerjaanku di rumah sakit. Apa boleh?" tanyanya hati-hati. Sean diam sebentar tampak sedang menimang keputusannya. "Aku masih ingin bekerja, Sean," lanjutnya kemudian. "Kau mengira aku tak mampu untuk menghidupi rumah tanggaku? Atau berpikir aku terlalu miskin hingga berniat mempertahankan pekerjaanmu?" desisnya tak suka. Rahee menunduk, bukan itu yang ia maksud. Tapi kenapa Sean malah berpikir demikian? Pergerakkan tangannya terhenti di kala sebuah lengan mencengkeram punggung tangannya. Kemudian, ia tertarik ke depan sehingga kepalanya tepat bersampingan dengan Sean. Pria itu pelakunya. Sean menoleh, jaraknya hanya bersisa 3 senti. "Dengar, Rahee. Mulai saat ini kau berhenti bekerja. Aku akan membicarakannya dengan Kei." Begitu katanya. Rahee ingin menoleh, tapi ia tak sampai hati untuk membiarkan jarak mereka semakin terkikis. Itu bahaya bagi kesehatan jantungnya. "Tidak, Sean. Aku tetap akan bekerja." Keras kepala. Sean berdecak jengkel, kenapa wanita sangat sulit untuk diatur? Akibatnya, Sean menarik tengkuk Rahee dan melahap bibirnya dengan buas. Ia tak acuh dengan keterkejutan dari istrinya. Siapa suruh membantahnya? Hingga beberapa detik berlalu dan Sean melepaskannya. Ia mendorong cepat Tubuh Rahee hingga terlentang tepat di bawah tubuhnya. Kemudian Sean berkata, "Pada dasarnya seorang istri hanya ditugaskan untuk menuruti, mematuhi, dan melayani suaminya." Terkesan rendah namun penuh perintah, Rahee berkedip dengan napasnya yang ia tahan. Rahee tak fokus, wajah Sean sangat dekat dengannya. "Turuti aku atau kau bersedia untuk terdampar di ranjang rawat saat ini juga?" Oh, ini bahaya! Rahee mengangguk ragu, ia masih belum siap menghadapi Sean yang seperti kemarin saat akan menyerangnya. Sungguh, selain tubuh dan hatinya, perasaannya pun turut merasakan sakitnya. "Bagus, sekarang ganti bajumu!" *** "Kau terlihat kesal?" Itu Loey yang bertanya. "Rajungan sinting, dia memintaku untuk memecat istrinya," jelas ini Kim Kei dengan nada kesalnya yang sangat kentara. Loey memanggut-manggut paham, saat ini mereka sedang berada di kantin rumah sakit. Loey kebetulan hadir di sana melihat Kei yang sedang berjalan cepat ia hentikan dan mengajaknya untuk singgah di sini sekadar untuk minum kopi bersama. "Lakukan saja, Kei. Jangan buat masalah dengannya." Saran tak bermutu, Kei berdecak sebal. "Aku tak tahu bagaimana ceritanya aku mau berteman dengan manusia macam itu. Sikapnya sangat langka dan hanya ada satu di dunia, Oh Sean memang benar-benar sialan." Lagi-lagi Loey mengangguk setuju. "Dia seperti adikku yang tidak tahu diri. Sudah disayang malah bertingkah menyebalkan, tapi mau bagaimana lagi? Sean sangat berjasa bagi perusahaanku." "Ngomong-ngomong, kau tau? Kemarin dia meminta untuk bertempur dengan jalang lagi," kata Kei sambil sesekali menyeruput kopi susunya. Dia tidak suka kopi murni tanpa s**u, katanya: aku sudah hitam jadi tidak perlu meminum minuman yang nyaris serupa dengan kulitku. Aku merasa terhina jika sudah begitu. Memang, terkadang orang bersikap konyol macam Kei. "Serius? Lalu bagaimana, apa pasienmu bertambah hari ini?" Kei mendengkus sebelum menjawab, "Aku mencegahnya. Dia berbahaya, jalangku bisa tewas di tempat jika kubiarkan." Loey mendesah lega. "Sebenarnya bukan itu yang kukhawatirkan." Kalimatnya sengaja dijeda beberapa detik. "Yoon Rahee ... semoga saja dia sanggup dengan hal gila yang suaminya miliki," sambungnya kemudian. Kei menghempaskan pelan punggung lebarnya pada sandaran kursi, ia merasa prihatin dengan itu. Loey benar. Yang jadi kekhawatiran utama adalah Rahee, wanita itu harus memiliki mental dan sistem imun yang tebal untuk menghadapi Sean. "Sayang sekali, bayi kita menjadi buas seperti itu." Loey mendelik. "Jangan konyol, Kei, aku tak pernah merasa melahirkan Sean." "Ya, ya, ya ... terserahlah." Kedua sejoli yang anehnya selalu akur dalam situasi apa pun. Pernah sekali, dulu Kei memacari kekasih Loey, dan si Jangkung itu bukannya marah atau kecewa, yang ada dia malah berkata: Sesama sahabat, kita harus saling berbagi. Seperti itu. Tolong jangan diikuti, hal gila mereka tak patut untuk menjadi panutan. *** "Kita mau ke mana, Sean?" tanya Rahee. Pasalnya sejak tadi ia melangkah tanpa tahu arah tujuan dan Sean hanya bungkam sambil menuntunnya berjalan kaki keluar dari lingkungan rumah. "Sean, katakanlah sesuatu!" Rahee jengah karena rasa penasaran yang berlebih. Sekilas, Sean melirik Rahee dari ekor matanya. Kemudian ia bergumam, "Berkencan." Sangat rendah sekali nada suaranya, nyaris terbawa angin lalu. Tapi beruntung, karena Rahee masih bisa mendengarnya dengan baik. Rona kemerahan menjalari bagian sisi wajahnya, Rahee menunduk menyembunyikan senyumannya. Sungguh misteri untuknya, mengapa bisa terbawa perasaan semudah ini dengan Sean? Padahal sebelumnya kan ia disakiti. "Kau suka ice cream?" "Huh?" Rahee mendongak. "Aku suka ice cream." Gadis Yoon itu mendadak bodoh sekarang, ia mengeryit tidak paham sama sekali dengan penuturan suaminya. Namun, ia tetap menjawab seadanya. "Aku juga suka, rasa vanilla. Atau banana. Apa kau berniat untuk membelikanku?" Sean tersenyum dalam hatinya, raut wajahnya masih datar tidak berubah, ia sangat handal menyembunyikan senyumannya. "Tidak. Hanya bertanya." Seketika Rahee kesal dengan Sean. Biasanya para lelaki yang bertanya seperti itu, pasti setelah tahu jawabannya mereka akan dengan senang hati membelikan kesukaan wanitanya. Sedangkan Sean? Oke. Jangan terlalu banyak berharap. "Duduklah dulu. Kakimu perlu di selonjorkan," katanya. Entah sejak kapan kini mereka tepat berada di bawah pohon rindang taman kota. Sean membawa istrinya kemari, berjalan kaki, bergandengan tangan, berkata menyebalkan, tapi terkesan manisnya. Rahee merasa istimewa dengan perhatian sekecil ini. "Terima kasih." Sean berdecak, "Kaku sekali. Tapi, anytime for you, Bebe," ucapannya sangat manis membuat Rahee bersemu. Namun, senyuman pengiringnya terasa kontras dengan kalimat itu. Sean memamerkan smirk terkutuknya. Dan sialnya, Rahee malah terpesona. "Kau haus?" tanya Sean yang dibalas dengan anggukkan kepala istrinya. "Tunggu sebentar," katanya lagi memberi isyarat bahwa Sean akan kembali dan membawakannya minuman. Rahee tersenyum mengiyakan. Beberapa waktu berlalu, Sean tiba dengan menyodorkan sebotol air yang dia bawa. Rahee mengeryit. "Tidak ada rasa? Kenapa hanya air bening?" protesnya tapi tetap bergerak menerima. Sean mendudukkan diri di samping Rahee dan menyandar pada pohon besar itu. "Minumlah dan jangan banyak bertanya," ucapnya seraya menenggak habis air dalam botol. Well, sangat tidak romantis! Kencan macam apa ini? Pada akhirnya Rahee menurut juga meski dalam hati dia merutuki suaminya. "Jangan tidur di sini, Sean," kata Rahee saat ia melihat kedua kelopak mata Sean terkatup sempurna dan suara embusan napasnya pun sangat teratur. "Aku hanya terpejam." Oke, terserahlah. Rahee dongkol sedongkol-dongkolnya pada pria Oh itu. Membosankan, menjengkelkan, tapi tetap saja mampu membuat hatinya bergetar tak menentu. Sungguh, sialan! "Rahee." Sean memanggil tanpa membuka matanya. Wanita itu menoleh dan berdeham sebagai respons. "Aku mencintaimu." "Aku tahu." Keduanya terdiam sejenak. Degupan jantung Rahee sampai terdengar di telinganya sendiri. Sedangkan Sean lebih terlihat santai. Lalu, Sean membuka kelopaknya. Ia menatap lekat manik indah milik istrinya membuat Rahee salah tingkah dan bergerak gelisah. "Kau istriku, Rahee." Vokal rendahnya terasa menguliti Rahee. "A-aku juga tahu itu." Ia menunduk bersembunyi dari tatapan elang milik Sean. Hingga dirasa telapak tangan besar Sean menyentuh garis rahangnya. Rahee mendongak, Sean menuntunnya untuk bertatapan lebih lama. "Apa kau mencintaiku?" Rahee hanya diam. Dia tak tahu harus menjawab apa. Padahal hatinya berteriak: Ya, aku mencintaimu. "Menyayangiku?" Masih sama, Rahee tetap bungkam. Sean mendesah kecewa, ia melepaskan sentuhan tangannya. Menatap lurus ke depan dengan d**a yang bergemuruh kencang. "Kau bahkan belum mengenalku," katanya berdesis menahan emosi. "Maaf." Hanya itu yang bisa Rahee sampaikan. Ia menunduk lagi. Tak suka dengan satu kalimat sialan itu, Sean mendelik menampar wajah Rahee dengan tatapan tajamnya. Kau tidak salah sama sekali. Tapi, kenapa kau malah berkata seperti itu? Bahkan aku yang sudah membuatmu hilang ingatan saja, sampai saat ini aku masih menyimpan kata maafku dengan baik. —Oh Sean. Lalu Sean berkata, "Aku akan membuatmu untuk mengenaliku lagi, Rahee. Setelah itu, kau bisa menyayangiku." Tanpa aba-aba, tidak ada persiapan atau apa pun sebagai awalan, Rahee merasa bibirnya penuh dan terbungkam sempurna oleh ulah Sean. Pria itu menciumnya dengan sangat rakus, tak membiarkan ia menghirup oksigen barang sedikit pun di sela ciumannya, bahkan kini ia merasakan perih di sudut bibirnya. Rahee ingin terlepas, atau membiarkan seluruh bibirnya akan berdarah-darah. Lagi-lagi, di tempat umum Sean berlaku tak peduli dan merasa jika dunia hanya miliknya. Ini sakit. Tidak bisakah Sean berlaku lembut padaku di saat dia menyentuhku? Dan bodohnya, sebagian kecil dari tubuhku menginginkan dia. Sekarang, aku merasa menjadi gila sungguhan. —Yoon Rahee. *** NOTE: Intinya manis, pahit di gabung dulu. Atau amis, asin. Apalah itu, Sean menikmati rasanya. Wkwkwk Kalo masih ada kesalahan nama or typo, mohon maaf. Nanti revisi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN