Bab 3 | Qobiltu Nikahaha

1965 Kata
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhitu bihi, wallahu waliyu taufiq.” Saat ijab qabul itu selesai diucapkan, begitu banyak hati dan lisan yang mendoakan keberkahan pernikahan itu. Pun dengan Hasna, sang mempelai wanita yang meneteskan air matanya, kini dia telah resmi menjadi istri dari seorang Fayez Haidar Haseeb. Seseorang yang menyempurnakan separuh agamanya, seseorang yang kepadanya dia akan berbakti untuk meraih surga. Seseorang yang akan menjadi partnernya di dunia dan berharap sampai akhirat. Sedangkan di antara kursi tamu undangan, ada seorang wanita yang bercucuran air matanya mendengar ijab kabul itu, tangis tanpa suara yang sakitnya begitu perih dan hanya dia yang bisa merasakannya. Tangannya mengepal kuat dengan jantungnya yang terasa semakin diremas-remas. Seharusnya ijab kabul itu menjadi miliknya, seharusnya hari ini menjadi hari bahagianya, seharusnya dia yang mengenakan gaun pengantin itu dan bukan duduk di kursi tamu undangan. “Tenangkan dirimu, Ra.” Seseorang di sebelahnya menggenggam tangan wanita itu lalu membawa wanita itu ke dalam pelukannya. “Sakit sekali, Mba … Padahal …. padahal tinggal menghitung hari Gus Fayez akan silaturahmi ke rumah dan mengkhitbahku, kami sudah taaruf dan merasa sangat cocok satu sama lain, dia juga yang selama ini ada dalam doaku, aku mencintainya sejak dulu, Mba. Mengaguminya dalam diam dan terus berdoa kepada Allah agar dia menjadi jodohku kelak, kupikir semua akan seindah bayanganku saat dia mengatakan melaluimu ingin bertaaruf denganku, semuanya berjalan lancar, hingga perjodohan itu merusak segalanya. Kenapa, Mba? Kenapa harus seperti ini? Sakit sekali, Mba. Tidak ada pria yang pernah kucinta selain dirinya, aku menjaga diriku dan hanya melangitkan doaku agar bersamanya, tapi kenapa Allah merenggut semua harapanku, Mba? Aku hanya ingin Gus Fayez, rasanya menjadi istri keduanya pun aku ikhlas. Bukankah dia tidak mencintai wanita itu karena mereka dijodohkan?” Zahra mengoceh panjang lebar mengungkapkan luka hatinya. “Astaghfirullah, Zahra. Istighfar, sadar apa yang kamu ucapkan? Kamu sedang mempertanyakan takdir Allah, ini ujianmu karena mungkin tanpa sadar kamu terlalu mencintai Fayez, sehingga Allah cemburu. Ingatlah, Allah menguji tiap-tiap kita dengan sesuatu yang paling kita cintai.” Wanita itu mengingatkan namun Zahra tidak menanggapinya, tangannya mengepal kuat di dadanya dan memukulnya pelan, sungguh, ini adalah patah hati terbesar dalam hidupnya. Dia sangat mencintai Fayez dan selalu melangitkan doa untuk pria itu. Hasna diantar ke depan oleh sahabat sekaligus adik sepupunya -Mahira- untuk duduk di samping Fayez dan menandatangani buku nikah. Dia menatap Ayahnya yang sudah meneteskan air mata, dia telah berada di samping Fayez meraih tangan pria itu dengan takzim lalu mengecupnya, pun dengan Fayez yang langsung berdoa dengan menyentuh kepala Hasna. Mereka melanjutkan resepsi yang tentu saja Hasna sudah memprediksi jika tamu undangan dari pihak Fayez sangat banyak mengingat ayah mertuanya itu termasuk ulama yang dihormati dan berpengaruh di masyarakat. Zahra telah berusaha kuat untuk meredakan tangis dan mengontrol emosinya, dia beranjak dari duduknya dan menuju ke pelaminan untuk mengucapkan selamat kepada Fayez dan istrinya, walau hatinya tercabik-cabik, dia harus mengucapkan salam dan doa untuk pria itu. Seorang wanita dengan wajah yang meneduhkan dan tatapan yang sendu dan sedih datang untuk memberikan ucapan selamat kepadanya dan Fayez, suaranya begitu lirih dan mengandung kepedihan, Hasna termasuk orang yang cukup peka dengan keadaan dan dia tau wanita ini berbeda, termasuk dari bagaimana Fayez menanggapinya. “Barakallahu lakuma wa baraka a'laik, Gus. Semoga selalu dilimpahi keberkahan, memang benar ya, jodoh adalah misteri.” Ucap wanita itu dengan kepala yang menunduk, dan lebih membuat Hasna sedikit terkejut adalah wanita di belakangnya yang menatapnya dengan sinis secara terang-terangan. “Jazakillah, Zahra. Semoga kamu segera dipertemukan dengan jodoh yang terbaik menurut Allah.” Ucap Fayez lagi, tidak ada senyuman di wajah pria itu seperti yang dilakukan Fayez sebelumnya pada tamu-tamunya yang lain, suaranya juga berubah sarat kesedihan. Hal itu seolah menampar Hasna pada satu kenyataan yang dia lupakan, dia tidak menanyakan pada Fayez apakah ada wanita yang dicintai pria itu dan membuatnya harus merelakan cintanya karena perjodohan ini? Kini berbagai prasangka menghiasi kepala dan hati Hasna. Lalu tidak lama seorang pria datang bersama wanita, Hasna bisa yakin jika mereka adalah suami istri melihat wanita di sampingnya sedang hamil. “Sob, nikah juga lu akhirnya. One quotes for you, ini dari Imam Al Ghazali -Apa yang ditakdirkan untukmu pasti akan sampai kepadamu meski di bawah dua gunung, dan apa yang tidak ditakdirkan untukmu tidak akan sampai kepadamu meskipun itu di antara kedua bibirmu.-” Ucap pria itu seraya memeluk Fayez dengan sukacita. Mendengar ucapan pria itu membuat bibir Hasna menyungging senyum tipis penuh dengan prasangka. Nyatanya, dia masih belum tahu apapun tentang pria yang kini telah sah menjadi suaminya itu. “Barakallahu lakuma wa baraka a'laik ya Hasna atas pernikahannya, semoga selalu dalam limpahan kasih sayang Allah dan dipenuhi dengan keberkahan dalam rumah tangga kalian.” Wanita dengan khimar merah muda itu mendekat dan memeluk Hasna. “Terima kasih, Mba.” Balas Hasna, karena memang kebanyakan tamu yang datang adalah teman-teman Fayez, beberapa temannya datang namun tidak sebanyak Fayez. “Oh Perkenalkan, aku Jihan dan itu suamiku Oktavian, mereka teman dekat.” Wanita yang baru dia ketahui bernama Jihan itu memperkenalkan diri, membuat Hasna tersenyum lembut dan mengangguk. “Salam kenal, Mba.” “Teman-temanmu banyak ya, Gus.” Ucap Hasna sesaat mereka duduk setelah tidak ada tamu undangan yang datang. Fayez menoleh dan tersenyum, Hasna terlihat sangat cantik hari ini, kecantikan yang meneduhkan dengan tatapan matanya yang menenangkan, wanita itu kini telah sah menjadi istrinya, wanita yang belum dia kenal lebih baik. “Iya, alhamdulillah, teman kerja, teman kuliah dan teman saat di pesantren, aku belum melihat teman-temanmu datang…” Nada suara Fayez terdengar seperti bertanya, Hasna hanya tersenyum dan menggeleng. “Iya, aku tidak memiliki banyak teman, jadi wajar saja.” Jawab Hasna ringan, kini Fayez menyadari jika wanita itu selalu mengembangkan senyumnya saat berbicara dengan seseorang. “Oh … begitu?” Fayez sedikit tidak percaya, dia hanya mengenal Hasna saat di pondok dulu, itu pun tidak benar-benar kenal, tahunya karena mendengar bagaimana Hasna yang selalu menjadi trending topic karena ada saja pelanggarannya, dan wanita itu dulu dikenal mudah bergaul, bahkan dengan santri laki-laki, yang membuatnya harus mendapat poin pelanggaran lagi. “Ada beberapa, namun mungkin mereka sibuk, jadi aku juga tidak banyak berharap.” Ucap Hasna lagi, kini nada suaranya benar-benar lembut dan tenang, padahal dulu Fayez pernah mendengar bagaimana wanita itu berteriak-teriak seolah mengomando teman-temannya untuk melakukan ini dan itu di dalam kelas, Fayez pernah memergokinya saat berjalan melewati kelasnya. “Mba Hasna …” Tiba-tiba sebuah suara yang diikuti suara riuh yang lain membuat obrolan Hasna dan Fayez terjeda. Sekitar tujuh orang itu langsung mendekat pada Hasna dan berbondong-bondong memeluknya. “Mbaa … Bârakallâhu laka wa jama'a bainakumâ fî khairin. Kami bahagia sekali kamu akhirnya menjalani ibadah yang menyempurnakan separuh agamamu.” Yang mengatakan itu menatap Hasna dengan penuh sayang dan air mata yang menetes. “Sofi ….” Hasna ikut meneteskan air matanya. “Mbaa … semoga selalu dilingkupi oleh kebahagiaan yaaa seperti Mba yang selalu berusaha menyenangkan kami dan orang-orang di sekitarmu.” Ucap salah satu yang lain dari mereka. “Aamiin…” “Semoga Gus Fayez adalah jodoh terbaik di sisi Allah dan bisa membersamai Mba dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.” “Aamiin…” Berbagai doa dipanjatkan oleh tiap-tiap dari mereka dengan penuh suka cita, sedangkan Fayez bertanya-tanya dalam kebingungannya? Mereka terlihat begitu akrab namun bukan seperti sahabat. “Gus Fayez, tolong jaga kaka kami ya. Dia sangat baik dan lembut hatinya, jangan menyakitinya.” Kini salah satu dari mereka menatap pada Fayez yang diikuti yang lain. “Kamu beruntung memilikinya, maka jangan pernah sia-siakan Mba Hasna.” Ucap salah seorang dari mereka lagi, mereka tetap tersenyum pada Fayez. “Nikmatilah hidangan yang ada. Banyak yang mengantri di belakang.” Ucap Hasna mengingatkan, membuat mereka semua kompak menoleh dan tersenyum dengan raut bersalah, lalu segera turun agar yang lain bisa memberikan doa juga ucapan bahagia kepada mempelai. “Teman-teman kamu?” Tanya Fayez membuat Hasna mengangguk. “Tapi lebih terlihat mereka menganggapmu kakak, ya?” Fayez masih penasaran, karena hubungannya dengan teman-temannya bahkan sahabat karibnya tidak seperti itu. “Karena aku yang paling tua di antara mereka.” Ucap Hasna menatap Fayez namun tetap fokus menyalami tamu undangan dan memberikan senyum terbaiknya. “Kak Hasna …” Lagi, teriakan itu lebih riuh dari sebelumnya, ternyata ada sekitar lima belasan anak-anak yang datang dan langsung menyambut Hasna dengan penuh suka cita. “Nduk, semoga rumah tanggamu sakinah, mawaddah warahmah ya, Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahunan lalu memeluk Hasna dengan penuh cinta, membuat Hasna menangis haru, dia sudah menganggap wanita itu seperti Ibunya sendiri. “Nak Fayez, ya? Ibu titip Hasna ya, jangan sakiti hatinya, Insya Allah dia akan menjadi istri yang salihah dan berbakti kepadamu. Dia sudah seperti anak saya sendiri. Oh iya, maaf saya lupa memperkenalkan diri, saya Fatma, pengurus Pantia Asuhan Kasih Bunda.” “Insya Allah, Ibu.” Fayez mengangguk dengan senyumnya. “Kamu akrab sekali dengan anak-anak panti itu, memang sering ke sana ya?” Tanya Fayez penasaran, sudah sejauh mana wanita yang dulu terlihat tidak menggunakan norma dan kesopanan kini menjadi lemah lembut dan terlihat dicintai oleh orang-orang yang mengenalnya? “Alhamdulillah, hanya beberapa kali aku ke sana, Gus. Hanya saja anak-anak memang mudah akrab.” “Ooh … begitu?” Fayez menanggapinya dengan ucapan dan nada suara yang sama seperti sebelumnya, membuat Hasna sedikit terkekeh. “Kenapa tertawa?” Tanya Fayez bingung menaikkan kedua alisnya. “Tidak, sepertinya agenda setelah ini kita harus lebih saling mengenal ya, Gus?” Ucap Hasna masih dengan senyum lebarnya, yang menambah keindahan rupanya, mendengar itu membuat Fayez ikut tersenyum dan mengangguk. “Memang, kamu … sepertinya banyak berubah ya?” “Maksudnya?” “Bukan lagi Hasna sang biang onar, mungkin?” Fayez mengernyitkan keningnya, namun hal itu membuat Hasna terkekeh lagi. “Aku tidak sebaik yang kamu pikirkan, tapi aku juga tidak seburuk yang kamu bayangkan, Gus.” Di salah satu stand makanan itu, seorang wanita dengan hijab hijau sagenya menatap sang mempelai pria dengan tatapan yang begitu terluka, dia menggigit bibirnya untuk menahan perih hatinya, rasanya baru kemarin pria itu mengutarakan niatnya untuk datang ke rumah dengan niat baik, namun hari ini dia justru melihat pria itu bersanding dengan wanita yang lain. Mereka saling melempar senyum dan seolah pernikahan itu membuat mereka mudah akrab walau baru saling mengenal. “Ya Allah, kenapa Engkau memberikanku cobaan yang aku begitu sulit untuk memikulnya, dia adalah seseorang yang selalu aku langitkan namanya kepada-Mu di sepertiga malamku dengan-Mu. Dia yang aku harapkan menjadi pasanganku hingga ke surga-Mu, namun kenapa Engkau menakdirkannya dengan wanita lain? Betapa teririsnya hati ini, Ya Allah.” Bisikan hatinya meronta meneriakkan cintanya yang kandas di depan mata. Zahra Alaniah memilih keluar dari gedung pernikahan itu saat hatinya semakin teriris sembilu menyaksikan pria yang dia cintai dengan penuh pengharapan kepada Allah tidak mungkin menjadi miliknya. Dia telah mencintai Fayez dalam diam sejak masuk ke Darul Ilmi, lalu tahun ini Allah seakan menjawab semua doa-doanya saat Fayez memintanya melalui kakaknya untuk melakukan taaruf yang dilanjut dengan rencana khitbah, namun nyatanya semua itu kini hanya menjadi debu yang menghujani hatinya yang telah teriris-iris. Pria itu tidak akan menjadi suaminya, namun dia masih belum bisa ikhlas dan merelakannya. Kenapa? Kenapa Fayez harus menikahi wanita itu di saat pria itu memiliki perasaan padanya dan yakin akan perasaannya untuk menuju pernikahan bersamanya? Zahra mendengar rumor itu, jika Fayez dijodohkan, namun kenapa pria itu tidak memiliki kuasa untuk menolak perjodohan itu? Zahra juga mendengar jika wanita itu hanyalah mantan santriwati yang drop out di tahun kedua di Darul Ilmi, bukankah dirinya lebih baik dalam hal agama dari wanita itu? Lalu kenapa orang tua pria itu tetap menjodohkan Fayez dengan wanita yang dulu terkenal urakan itu? Zahra tidak akan rela jika pria soleh dan berhati baik seperti Fayez harus memiliki istri yang tidak setara dengan pria itu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN