Bab 5 | Tentang Perasaannya

1474 Kata
“Nak Fayez …” Panggilan itu membuat Fayez menghentikan langkahnya, dia melihat ayah mertuanya yang juga sama-sama baru keluar dari masjid. “Abi, apakah semalam tidur Abi nyenyak? Maaf ya jika tidak kerasan.” Ucap Fayez dengan senyum lebarnya. Hamzah tersenyum dan menggeleng. “Sangat nyaman, terima kasih ya sudah menjamu Abi dengan begitu baik. Boleh kita mengobrol sebentar?” Tanya Hamzah dengan nada yang serius namun wajahnya tetap menyungging senyum yang tenang. “Boleh, Abi. Kita bisa ke atas, ada ruangan yang bisa digunakan di sana.” Ucap Fayez menunjukkan jalannya pada Hamzah. “Abi bahagia dan tenang telah melepaskan putri Abi kepadamu, Fayez.” Bisik Hamzah begitu mereka duduk, tatapan pria paruh baya itu berkaca-kaca. “Dia putri kecil Abi yang cantik dan salihah. Permata hati Abi, Abi titipkan dia kepadamu, Abi mohon sekali jangan membuatnya menangis dan menyakitinya, ya, Nak. Hatinya begitu lembut, jika dia melakukan kesalahan tolong gunakan kata-kata yang lembut untuk menasihatinya, ya.” Lanjut Hamzah yang sudah meneteskan air matanya. “Insya Allah, Abi. Fayez akan mengusahakan yang terbaik untuk putri, Abi.” Ucap Fayez yang juga ikut terharu, mencoba memahami perasaan seorang Ayah yang melepaskan putrinya pada orang yang masih asing dan tidak ada jaminan apapun jika pria asing yang telah menjadi suaminya itu tidak akan menyakiti putrinya. “Mungkin dulu kamu mengenal Hasna sebagai pribadi yang nakal dan sering membuat kekacauan hingga dia dikeluarkan dari pondok ini, namun Fayez juga tahu kan, manusia pasti berubah, dan Abi yang menjaminnya, jika Hasna telah berubah menjadi versi terbaik dirinya sebagai putri yang berbakti dan perempuan yang salihah. Hanya Abi yang dia miliki, Fayez. Kami hanya hidup berdua sejak uminya meninggal dunia delapan tahun yang lalu, tidak lama setelah dia dikeluarkan dari pondok ini. Sejak itu banyak yang berubah dari dirinya, bukan lagi perempuan yang mudah bergaul, pelan-pelan dia menyibukkan dirinya dengan menuntut ilmu, menuju kepada jalan yang dicintai Allah. Dia pernah mengatakan kepada Abi, jika cita-citanya ingin menjadi perempuan yang dicintai Allah. Insya Allah, Nak Fayez beruntung memiliki Hasna sebagai istri.” “Fayez mengerti, Abi. Fayez juga tidak memiliki prasangka buruk tentang perangai Hasna, karena yang dulu hanyalah masa lalu, dan melihatnya saja Fayez sudah bisa menilai jika Hasna telah banyak berubah menjadi lebih baik.” Ucap Fayez, walau sungguh dia tau dirinya telah mengatakan dusta, karena nyatanya, semalam saja begitu mudah dirinya menilai buruk Hasna dengan ponselnya. “Terima kasih, ya, Fayez. Insya Allah, Abi akan pulang pagi ini juga ke Malang.” “Kenapa buru-buru sekali, Abi? Hasna pasti sedih.” “Tidak buru-buru, memang sudah seharusnya, jika semakin lama di sini Abi hanya akan merepotkanmu dan keluarga, lagi pula Abi sedang menyibukkan diri dengan ikut komunitas memanah dan berkuda.” Ucap Hamzah membuat Fayez mengangguk mengerti. *** Hasna keluar setelah menyelesaikan solat subuh dan dzikirannya, ada rasa kikuk dan canggung untuk keluar dari kamar Fayez, dia tidak mudah akrab dengan orang, lebih tepatnya dia menjadi pribadi yang lebih tertutup sejak keluar dari Darul Ilmi. Menghadapi Umi Fayez, yang kini juga menjadi Ibu Mertuanya, yang dulu juga mengajarnya saat di pondok dan kerap memberinya hukuman atas kenakalan-kenakalannya membuat Hasna semakin menciut. Apalagi mengingat sejak Fayez dan keluarga datang ke rumah untuk melamar, Umi Ainun tidak banyak berucap dan tidak ramah juga, mereka belum terlibat obrolan apapun. “Assalamualaikum, Umi.” Sapa Hasna lembut saat ke dapur dan mendapati Ainun tengah sibuk memasak untuk menu sarapan. “Walaikumsalam.” Jawab Ainun singkat. “Sudah bangun, toh? Kirain harus disiram air dulu buat bangun kaya kebiasaanmu dulu pas jadi santri.” Ucapan menohok Ainun selanjutnya hanya bisa membuat Hasna tersenyum kikuk. “Alhamdulillah Hasna sudah tidak perlu dibangunkan dengan air, Umi.” Jawab Hasna dengan nada yang lembut, bagaimana pun juga, kini Umi Fayez juga akan menjadi Uminya, dia akan menghormati dan menyayanginya sebagaimana dia menyayangi mendiang uminya. “Bagus kalau begitu! Rugi sekali jika Fayez memiliki istri yang tidak bisa mengurus dirinya!” Ainun masih melanjutkan. “Insya Allah Hasna bisa mengurus diri Hasna dan mengurus suami dengan baik, Umi. Hasna akan usahakan menjadi istri yang berbakti. Biar Hasna bantu menyiapkan sarapan ya, Umi?” Tawar Hasna membuat Ainun langsung menghela napasnya kasar. “Tidak usah! Saya tidak bisa konsentrasi jika seseorang mengganggu di dapur. Lagi pula saya masih belum sanggup melihatmu menjadi menantu, di saat saya telah mengharapkan wanita yang dicintai Fayez yang menjadi menantu saya!” Ucapan Ainun selanjutnya membuat langkah Hasna terhenti, seolah ada yang meremas hatinya. Wanita yang dicintai Fayez? “Maksud, Umi?” Tanya Hasna dengan suara tercekat. “Assalamualaikum …” Suara itu menghentikan obrolan Hasna dan Umi Fayez. *** Hasna tidak menyangka jika rumah milik Fayez ternyata masih berada di lingkungan pondok, dia kira pria itu memiliki rumah yang sedikit jauh dari pondok. Ternyata hanya beberapa ratus meter jaraknya dengan rumah utama orang tua Fayez. “Hasna …” Panggil Fayez untuk pertama kalinya, biasanya pria itu hanya menggunakan kata ganti kamu ketimbang memanggil namanya. “Iya, Gus.” Jawab Hasna tersenyum kiku. “Ada yang ingin kamu katakan? Sepertinya kamu terkejut jika rumahku ternyata begitu dekat dan masih di dalam kawasan pondok.” Fayez cukup peka untuk memahami keadaan. Hasna tersenyum dan menangkup pipinya. “Terlihat jelas, ya, Gus? Iya, aku terkejut, tidak menyangka jika rumah yang Gus maksud begitu dekat.” “Kamu sedikit mudah terbaca. Jika kamu merasa tidak nyaman, nanti kita bisa pindah dan mengontrak rumah dulu.” “Apa? Tidak … tidak, Gus. Justru bagus, aku dengar Umi dan Abi sering mengundang ustad atau ustadzah lain untuk mengisi kajian rutin dua mingguan di pesantren. Banyak kegiatan di pesantren yang bernilai baik, kenapa aku harus tidak nyaman?” Ucap Hasna tersenyum, membuat Fayez ikut tersenyum. “Alhamdulillah jika begitu. Kamu mau istirahat?” “Tidak, aku sudah banyak tidur semalam.” “Baiklah, jika begitu bisa kita mengobrol, banyak yang ingin aku katakan, pun dengan dirimu, kan?” Ucap Fayez dan Hasna mengangguk. “Pertama, jangan memanggilku, Gus. Kamu bukan muridku dan aku bukan gurumu. Bisa panggil dengan panggilan lain? Nama saja juga tidak apa-apa.” “Apa, tidak mungkin hanya nama saja. Bagaimana jika … Mas?” “Itu terdengar lebih baik.” “Mas Fayez?” “Iya.” Mendengarnya membuat Hasna tersenyum kecil, seperti ada kupu-kupu yang menggelitik perutnya. “Karena sekarang kamu adalah istriku, maka kamu adalah tanggung jawabku, semua yang menjadi kebutuhanmu adalah kewajibanku untuk memenuhinya.” Ucap Fayez lagi, pria itu terlihat begitu tenang, sesekali menyungging senyum yang tipis sekali, namun mampu membuat Hasna terpesona lagi dan lagi. “Ini ATM untuk kebutuhan rumah tangga kita dan ini ATM untuk kebutuhanmu pribadi. Aku akan mengisinya setiap bulan, Insya Allah tidak akan pernah aku membiarkanmu kekurangan.” Ucap Fayez sembari menyerahkan dua kartu ATM itu kepada Hasna. “Pinnya masih 123456, nanti kamu bisa menggantinya sendiri ya saat ke ATM.” Fayez melanjutkan, membuat Hasna mengangguk. “Terima kasih, Mas.” “Aku saat ini bekerja untuk diriku sendiri, aku dan beberapa temanku membuat dan mengelola aplikasi NgajiBareng, di mana tujuan kami memudahkan orang-orang yang masih kesulitan dalam belajar untuk membaca Alquran kita fasilitasi untuk mendapatkan guru yang bisa dipertanggung jawabkan keilmuannya, selain itu aku juga memiliki bisnis sajadah dengan temanku yang mukimin di Madinah. Insya Allah pekerjaan itu akan cukup untuk menghidupi kita.” “Masya Allah, itu pekerjaan yang baik, Mas.” Ucap Hasna, mendengar Hasna memanggilnya seperti itu entah mengapa ada perasaan senang di hati Fayez. Namun tiba-tiba dia langsung teringat Zahra. “Biasanya, aku akan ke kantor jam delapan pagi, masih di Surabaya juga kok, mungkin sekitar dua puluh menit dengan motor, lalu aku pulang sore hari, sekitar jam lima, biasanya aku akan bersiap, mandi dan mempersiapkan diri untuk solat berjamaah di masjid hingga Isya, setelah Isya aku membantu para santri untuk setor hapalannya dan biasanya pulang jam sembilan, baru setelah itu aku makan malam dan tidur.” Fayez menjelaskan kegiatannya yang terlihat sudah menjadi rutinitasnya dengan santai, Hasna menyimak dan mengingatnya. “Lalu bagaimana denganmu, Na? Sebelum menikah denganku apa kesibukanmu?” Tanya Fayez membuat Hasna tersenyum. “Biasanya sehari-hari aku akan ke ruko, Mas. Aku memiliki bisnis kecil, abaya muslim. Biasanya aku akan berangkat jam sembilan dan pulang jam tiga sore. Apakah Mas Fayez masih mengijinkanku untuk menjalankan bisnisku?” Tanya Hasna dengan was-was, dia mencintai apa yang dikerjakannya. “Tentu, kamu masih bisa melakukannya, aku tidak akan mengekangmu.” Jawab Fayez dengan ringan. pria itu lalu menatap ke sekeliling, kini tatapannya terlihat gugup dan terbukti pria itu menarik napasnya dalam. “Na, ada hal serius yang ingin aku katakan padamu.” “Apa itu, Mas?” “Kamu tau kan bagaimana pernikahan kita terjadi? Aku tidak bisa … belum mencintaimu.” Ucap Fayez membuat Hasna menggigit bibirnya diam-diam, kenapa terasa menyesakkan. Ternyata apa yang dikatakan Umi Ainun tadi pagi bukanlah sekedar omong kosong, namun sebuah kebenaran, jika ada wanita yang Fayez cintai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN