Bab 1 | Sebuah Wasiat Pernikahan

1536 Kata
“Nduk … Ada yang mau Abi bicarakan.” Suara berat dari seorang Ayah kepada putrinya saat makan malam itu membuat perempuan dengan wajah yang cantik dan senyum menenangkan mendongak. “Ada apa, Abi?” “Hasna masih ingat pondok pesantren Darul Ilmi? Tempat Hasna mondok dulu…” Wanita yang dipanggil Hasna itu tidak memerlukan waktu untuk mengingatnya, tentu saja dia sangat mengingatnya. Pondok yang menjadi saksi kenakalannya di usia remaja, tidak seperti para santri lain yang taat, lemah lembut dan giat menuntut ilmu, dia justru melakukan banyak pelanggaran hingga puncaknya dikeluarkan di tahun kedua. “Tentu saja Hasna ingat, Abi. Ada apa?” “Kamu masih ingat juga dengan Fayez? Putra dari Kyai Zubair, pemilik pondok pesantren itu.” Tentu saja Hasna mengingatnya, bahkan nama lengkapnya. Laki-laki yang membuatnya mengerti tentang sebuah rasa ketertarikan antara pria dan wanita. Hasna telah jatuh cinta secara diam-diam pada pria itu, namun satu kali pun Hasna tidak pernah mampu mengutarakannya. Dia hanya mampu mengagumi dan menyukai dalam diam seorang Qori dan hafiz itu. Fayez Haidar Haseeb. “Iya, Hasna ingat Abi.” “Dalam waktu dekat, Fayez akan datang bersama keluarganya untuk mengkhitbahmu.” Ucapan Abinya selanjutnya membuat Hasna terkejut bukan main. Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? “Apa? Bagaimana bisa, Abi? Kenapa seperti tiba-tiba begini?” Tanya Hasna terlihat panik. Abinya langsung menggenggam tangan Hasna meminta Hasna untuk tenang. “Sebenarnya Eyangmu dan Eyang Fayez telah menjodohkan kalian, namun karena mereka telah meninggal dan tidak ada satu pun dari mereka yang meninggalkan wasiat untuk meneruskan perjodohan itu, kami tidak pernah lagi membahasnya, hanya saja, Kyai Zubair kemarin menelpon Abi dan menceritakan jika dia bermimpi bertemu dengan Eyang dan meminta perjodohan itu dilanjutkan, bukan hanya sekali, namun mimpinya sampai empat kali, sudah sejak satu bulan yang lalu. Hingga akhirnya Kyai Zubair tidak bisa mengabaikan mimpi itu lagi.” Penjelasan dari Abinya membuat Hasna membatu dengan jantung yang bertalu-talu, telapak tangannya terasa dingin dan berkeringat. Sejak dia keluar dari pondok pesantren Darul Ilmi artinya sudah delapan tahun berlalu. “Apakah Abi yakin dengan perjodohan ini?” Tanya Hasna dengan pandangan yang bingung, sekali lagi pria paruh baya itu tersenyum menenangkan. “Insya Allah Abi yakin, kamu sudah pantas berumah tangga, dan ada pria yang baik agama dan akhlaknya yang bisa membimbingmu menuju Allah, kenapa Abi harus tidak yakin?” “Tapi Abi … Bagaimana jika Hasna tidak layak untuknya, dia seseorang yang berilmu, sedangkan Hasna …” “Sstt …. Kamu juga berilmu sayang, kamu menjaga dirimu, kamu perempuan salihah… Insya Allah. Abi tidak akan memaksa Hasna untuk menerimanya, tanyakanlah pada Allah dalam istikharahmu, Abi akan ikut apapun jawaban Hasna.” “Baiklah, Abi.” Hasna tersenyum tipis lalu mereka menyudahi makan malam itu. Ini solat istikharah yang Hasna lakukan kembali setelah beberapa waktu tidak dia lakukan. Di atas sajadahnya, dia menengadahkan tangannya, memulai doa dan curahan hatinya kepada Rabb-Nya. “Ya Allah … Apakah ini jawaban atas doa di malam-malam aku bermunajat kepadamu? Sungguh indah rencanamu Ya Rabb …” Bisik Hasna penuh khusyuk. Dia teringat atas semua doa-doanya di setiap malam-malamnya selama beberapa waktu ini, doanya tentang jodoh yang bisa membawa kebahagiaan dunia dan akhirat, yang bisa membawanya menuju ridho Allah. Fayez Haidar Haseeb. Nama itu masih ada di hatinya sekali pun bertahun-tahun telah berlalu, tidak pernah ada laki-laki lain yang mampu menembus hatinya, hanya nama itu yang tersimpan rapi bertahun-tahun di dalam hatinya, lalu kini Allah menghadirkan dia sebagai seseorang yang kelak akan menjadi suaminya jika Allah berkehendak. Tapi sungguh, Hasna tidak pernah menyebutkan namanya sekali pun dalam doa-doanya. Dia memasrahkan jodohnya kepada Allah. Tapi masih banyak keraguan dalam diri Hasna, dia ingin meminta petunjuk kepada Allah, apakah Fayez memang jodoh yang sebenar-benarnya yang telah Allah tetapkan, apakah dia layak untuk Fayez yang rasanya dia tidak setara dengan pria itu dalam segi ilmu maupun agama, dan yang lebih penting … Apakah pria itu memang dengan sukarela melakukannya atau terpaksa karena sebuah amanah? *** “Abi … Bagaimana bisa? Abi tau kan aku berencana untuk mengkhitbah Zahra? Jika aku membatalkannya maka aku akan menyakitinya dan keluarganya, Kakanya yang menjadi perantara kami selama ini untuk bertaaruf, aku mencintainya dan ingin menjadikannya istriku hingga ke surga, Abi.” Seorang pria terlihat frustasi dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Ayahnya. “Fayez, berpikirlah positif, mungkin saja ini jawaban dari istikharahmu, jika Zahra memang bukan jodohmu, kamu yang mengenal Eyangmu, dia orang yang mulia, Insya Allah. Apa yang dia amanahkan padamu untuk menikahi putri dari Hamzah adalah kebaikan, Insya Allah. Abi tau Zahra wanita yang baik agamanya, salihah, menjaga dirinya dan seorang hafizah, namun mungkin kalian memang tidak berjodoh. Tolong pertimbangkan ini dengan baik. Bukankah kamu tau, jika seseorang yang sudah meninggal datang ke dalam mimpi maka itu bukan bunga tidur atau bisikan setan semata, itu adalah amanah. Eyangmu yang meninggal saat melaksanakan ibadah umroh dan dikuburkan di Mekkah adalah orang mulia yang Insya Allah diterima oleh Allah di sisi-Nya. Beliau datang ke mimpi Abi sebanyak empat kali tentulah dengan maksud agar kita melaksanakan apa yang diamanatkan olehnya.” Pria berusia lima puluh tahunan itu terlihat menatap putranya penuh harap. “Tapi Abi, dibanding Hasna tentu Zahra lebih baik, Hasna … perempuan itu bukankah Abi tau jika Umi sendiri yang mengeluarkannya dari pondok di tahun kedua karena begitu nakalnya dan dulu Abi sepakat dengan keputusan itu, apa jadinya perempuan itu sekarang? Dan kenapa Fayez harus menikahinya di saat dia memiliki Zahra sebagai pilihannya. Bukankah Abi tau sabda Rasulullah, wanita dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Hendaklah engkau memilih wanita yang baik agamanya niscaya engkau akan selamat (H.R Bukhari & Muslim). Sudah baramg tentu Zahra lebih baik agamanya, Abi.” “Astaghfirullah, Umi. Istighfar, bagaimana lisan Umi begitu mudah menilai seseorang yang Umi tidak tau bagaimana keadaan dia sekarang. Mungkin dulu saat remaja memang Hasna masih belum baik, namun siapa yang tau jika dia lebih baik dan dicintai Allah dari pada Umi.” Teguran dari Zubair membuat Ainun berdiam namun masih dengan wajah yang tidak setuju. “Baiklah, Abi … Aku akan memikirkannya dan memberikan jawaban kepada Abi secepatnya. Assalamualaikum.” Ucap Fayez yang beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruangan itu dengan hati yang campur aduk. Harapan dan rencananya yang ingin mengkhitbah lalu menikahi Zahra, perempuan yang membuatnya mengenal rasa cinta yang merupakan fitrah setiap manusia, yang membuatnya diam-diam selalu mendoakan wanita itu dan melangitkan doa dengan menyebut namanya dalam doanya dengan harapan bisa berjodoh dengannya, rasanya pelan-pelan pupus dengan pembicaraan empat mata antara Abi dan Uminya tadi. Zahra, sosok wanita salihah yang menjadi santriwati teladan di Darul Ilmi, wanita yang gemar menuntut ilmu, seorang hafizah yang kini juga menjadi guru atau ustadzah yang mengajar di Darul Ilmi. Bagaimana mungkin langkahnya yang tinggal sedikit lagi untuk menjadikan Zahra istrinya harus pupus di tengah jalan? Wanita itu parasnya begitu ayu nan teduh, senyumnya menenangkan, tutur katanya sopan dan halus, mampu mengontrol amarahnya dan selalu menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan, itulah yang membuat Fayez jatuh cinta kepada sosok Zahra Alaniah. Pria itu akhirnya bangkit untuk mengambil wudhu dan menuju masjid saat adzan telah terdengar, berharap dengan menghadap Rabb-Nya dengan solat dan dilanjutkan dengan melantunkan kalam-kalamnya, bisa menenangkan hatinya yang carut marut saat ini. Namun, Fayez lupa, jika Allah lah perencana takdir terbaik untuk setiap hambanya. *** Dalam malam yang sunyi itu, Hasna kembali menengadahkan tangannya bermunajat kepada Allah, dia ingat beberapa bulan terakhir dia berdoa meminta jodoh. Selama hidupnya dia tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun, namun dia percaya akan kekuatan doa, dia terus berusaha untuk memperbaiki diri dan memiliki hati yang selamat dan baik. Semakin dia belajar, dia semakin memahami tujuan dari sebuah pernikahan, dia ingin menjalani ibadah terpanjang yang memiliki banyak kemudahan dalam mendapatkan pahala bagi seorang istri karena Allah begitu memuliakan wanita. Sehingga dia mantap ingin menikah setelah memahami tujuan dari pernikahan itu sendiri. Namun, dia tidak menyangka Allah menjawab doanya dengan begitu indah, pun dia masih memiliki kebimbangan di hatinya. Apakah Fayez Haidar itu adalah jodoh yang sebenar-benarnya ditakdirkan oleh Allah, apakah dia pantas menjadi istri dari pria soleh yang tentu lebih banyak ilmunya dan agamanya jauh di atasnya? Tapi, Ayahnya telah menjodohkannya dengan seseorang yang baik agamanya, yang Insya Allah juga baik akhlaknya, lantas alasan apalagi yang bisa dia gunakan untuk menolak niat baik itu? Tangis Hasna kembali pecah tanpa suara, namun bibirnya merekah dengan sebuah senyuman di sepertiga malam yang sunyi itu, hanya ada dia dan Allah di mana dia mengutarakan semua rasa yang ada di hatinya. Mimpi ke tiga yang ia dapati malam ini, mimpi dirinya bersama dengan Fayez di depan Ka’bah saling menggenggam dan tersenyum menatap kiblat yang selama ini menjadi arah umat muslim menyembah dan beribadah kepada Allah. Dia melihat Fayez dalam wajah pria itu yang ia lihat terakhir kali, artinya saat delapan tahun yang lalu, saat dia meninggalkan Darul Ilmi dengan tidak terhormat, itu terakhir kali dia melihat pria itu yang menatapnya dengan emosi yang tidak bisa diartikan. Namun tadi malam, dia melihat wajah pria itu tersenyum kepadanya dan menggenggam tangannya untuk mendekat dan semakin dekat ke arah Ka’bah. “Ya Allah, kudapatkan kemantapan hati melalui petunjuk-petunjukmu tentang dia yang akan menjadi jodohku. Semoga memang ini yang terbaik, kupasrahkan kembali semuanya kepadamu.” Bisik Hasna di atas sajadahnya, bertepatan dengan itu adzan subuh telah berkumandang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN