Bab 14 | Di Balik Alasan

1564 Kata
“Gus, Fayez.” Panggilan itu menghentikan langkah Fayez yang baru keluar dari ruangan Abinya. Tadi, Abinya menelponnya sekitar jam sebelas, memintanya untuk datang karena ingin mendiskusikan tentang program beasiswa full kuliah S1 di Mesir, pondok Darul Ilmi telah bekerja sama dengan salah satu kampus di Mesir dan programnya direncanakan tahun ini berjalan. “Iya, Mbok Minah. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Fayez dengan sopan, Mbok Minah terlihat menautkan kedua tangannya dan wajahnya terlihat gugup, membuat Fayez menunggu apa yang ingin dikatakan oleh Mbok Minah yang telah bekerja kepada keluarganya sejak dia masih kecil. “Sebelumnya Mbok minta maaf dulu, Gus. Tapi Demi Allah, Mbok tidak berniat membuat hubungan Gus Fayez dengan Umi rusak atau buruk. Tapi, rasanya Mbok perlu menyampaikan ini.” “Insya Allah apa yang disampaikan oleh Mbok Minah tentang Umi tidak akan mengubah sedikit pun rasa cinta saya pada Umi, Mbok boleh mengatakannya dengan tenang.” Ucap Fayez terlihat tenang, lalu mempersilahkan Mbok Minah untuk duduk di kursi. “Jadi gini, Gus. Tadi istri Gus Fayez datang mengantarkan makanan, namun Umi Ainun menolaknya dan mengatakan kata-kata yang tidak mengenakkan hati untuk Mba Hasna, Mbok yang mendengarnya pun sedih, lalu tidak lama setelah Mba Hasna pamit, Umi meminta Mbok memberikan makanan yang dibawa Mba Hasna untuk Pak Aziz, dan Mba Hasna melihatnya. Mbok merasa bersalah sekali, Gus. Namun, Mbok merasa tersanjung dengan jawabannya saat Mba Hasna mengetahui Mbok membawa makanannya untuk Pak Aziz. Dia bilang … Dia tidak sakit hati sama sekali dengan itu, dia bilang itu artinya memang makanan itu adalah rejeki dari Allah untuk Pak Aziz. Masya Allah, Gus, menangis saya, betapa legowonya istri Gus Fayez, setelah ditolak dan mendapat kata-kata tidak pantas, lalu hatinya masih selapang itu. Saya hanya ingin menyampaikannya pada Gus Fayez, semoga Gus Fayez bisa menghibur Mba Hasna.” Ucap Mbok Minah yang sudah kembali bercucuran air mata, mendengar itu membuat hati Fayez mencelos, rasanya baru semalam dia melihat Hasna menangis karena kata-kata menyakitkan yang diucapkan oleh orang awam, dan pagi ini dia mendapati hal yang sama yang dilakukan oleh Uminya. “Umi mengatakan apa, Mbok?” Tanya Fayez ingin memastikan sejauh apa Uminya menyakiti hati istrinya itu. “Ah, jangan Gus Fayez, saya mengatakan ini murni karena ingin Gus Fayez bisa menghibur Mba Hasna, bukan mengatakan hal yang buruk.” Ucap Mbok Minah enggan. “Saya ingin menghibur istri saya, namun saya harus tau sebanyak apa saya harus menghiburnya, salah satunya dengan mengetahui ucapan seperti apa yang membuatnya terluka.” Ucap Fayez dengan alasannya, dia berharap Mbok Minah mau mengatakannya, walaupun tanpa mengatakannya, Fayez sudah bisa menebaknya. “Begitu ya, Gus?” “Iya, Mbok…” “Kurang lebih, Umi mengatakan andai saja Gus Fayez tidak menikah dengan Mba Hasna, pastilah sekarang yang menjadi menantunya adalah Ustadzah Zahra, wanita salihah yang baik akhlaknya dan mampu menjaga dirinya dan melakukan pekerjaan yang mulia yang memberikan pahala untuknya, pekerjaan yang membawa kebaikan untuknya di dunia dan akhirat, karena dia mengajarkan ilmu. Wanita yang diidam-idamkan menjadi menantunya. Selain itu, tadi saya juga melihat tidak lama setelah Mba Hasna keluar dari rumah, ada Ustadzah Zahra yang juga membawakan makanan yang sama persis dengan yang Mba Hasna bawa, mungkin Mba Hasna juga bertemu dengan Ustadzah Zahra, saya sedih sekali, Gus.” Fayez memejamkan matanya mendengar itu, Ya Allah, hatinya saja merasa sesak mendengarkan secara tidak langsung, bagaimana dengan Hasna? Kenapa hati wanita itu begitu lapang? Lalu kenapa Uminya bisa sejauh itu? Apakah kebencian dan kedengkian membuat manusia bisa menjadi sejauh ini? “Ya sudah, terima kasih sudah mengatakannya ya Mbok. Apa yang Mbok katakan tidak mengurangi sedikit pun sayang saya pada Umi, dan saya juga tidak akan mengatakan ini pada siapa pun.” “Terima kasih ya, Gus. Insya Allah Gus Fayez beruntung menikahi Mba Hasna, Allah telah memilihkan jodoh terbaik untuk Gus Fayez, Mbok yakin itu.” Ucap Mbok Minah lagi membuat Fayez tersenyum lalu pamit. Begitu keluar dari rumahnya, dia menelpon mertuanya, Abinya Hasna, kini tujuannya adalah menjemput Hasna, namun dia tidak tau harus melakukan apa, karena dia baru menyadari dia tidak tau apa-apa tentang wanita itu. Lalu terpikirkan menanyakan makanan kesukaan Hasna pada Abi Hamzah, bukankah itu cara paling sederhana namun mampu membawa kebahagiaan bagi sebagian perempuan, dan Fayez yakin Hasna juga senang dengan itu. Dia lalu menelpon mertuanya dengan hati yang senang dengan alasan ingin membuat istrinya senang, sesederhana itu ternyata hal yang menyenangkan hatinya. “Assalamualaikum, Abi … Ini Fayez.” “Iya, Nak, ada apa? Apa kalian baik-baik saja? Apa Hasna menyusahkanmu, Nak?” Itu suara mertuanya yang terdengar halus dibarengi nada kekhawatiran. “Alhamdulillah kami baik-baik saja, Abi. Hanya saja Fayez ingin menanyakan sesuatu tentang Hasna, mungkin terdengar konyol dan seharusnya Fayez tanyakan sendiri kepada Hasna, namun Fayez ingin memberinya hadiah kecil, Abi.” “Tidak apa-apa, Nak, tanyakan saja apapun tentang Hasna, Abi dengan senang hati memberitahukan kepadamu.” “Makanan favorit Hasna apa ya, Abi?” Tanya Fayez meringis malu, rasanya cringe menanyakan itu, namun suara Abi Hamzah yang lembut dan antusias membuat Fayez merasa lebih baik. “Oh, Hasna paling suka makan gurami bakar, biasanya jika dia sedang sedih Abi mengajaknya makan gurami bakar di saung sunda tidak jauh dari butiknya, namanya Saung Sunda Mang Eep.” “Abi, terima kasih ya, Fayez akan mengajak Hasna ke sana hari ini.” “Abi yang harus berterima kasih kepadamu, terima kasih ya Nak Fayez, telah berusaha sebaik mungkin membahagiakan putri tercinta, Abi.” Ucap Hamzah dengan nada suaranya yang serak, membuat mata Fayez juga berkaca-kaca. “Ya sudah, Fayez tutup ya, Abi. Assalamualaikum.” “Assalamualaikum, Gus Fayez …” Panggilan itu menghentikan langkah Fayez yang sudah akan menuju ke mobilnya, dia lalu membalikkan badannya ke belakang dan melihat tiga perempuan yang dia kenali sebagai staff pengajar di Darul Ilmi, wanita yang jika Fayez tidak salah duduk di sebelah istrinya kemarin saat tabligh akbar. “Iya, ada apa, ya?” “Sebelumnya kami ingin meminta maaf jika mengganggu Gus Fayez, namun kami juga ingin mengklarifikasi.” “Klarifikasi apa ya?” Tanya Fayez dengan kening yang mengernyit bingung. “Mungkin istri Gus Fayez mengadu pada Gus Fayez dan mengatakan yang tidak-tidak tentang kita, atas apa yang kita ucapkan semalam, tapi sungguh, jika dia sangat menjelek-jelekkan kami bahkan menghina kami itu semua adalah fitnah, Gus. Kami hanya membicarakan fakta tentang Gus Fayez yang begitu merugi menikah dengannya, padahal seharusnya Gus Fayez bisa menikah dengan Ustadzah Zahra yang sudah jelas sekufu dengan Gus.” Ucap salah satu dari mereka, mendengar itu membuat hati Fayez memanas, dia mengepalkan tangannya berusaha untuk berperang melawan amarahnya. Dia yang hanya sekelumit mendengar penghinaan itu saja rasanya sudah tidak sanggup menahan sakit hatinya, bagaimana dengan Hasna semalam? Fayez memejamkan matanya sebelum menjawab ucapan mereka. “Satu. Kenapa berani sekali kalian mengklaim istri saya mengatakan hal yang menghina kalian padahal kalian tidak melihatnya? Dua. Siapa kalian bisa dengan lancang lisan itu mengatakan hal tidak pantas dan menyakiti hati istri saya? Siapa kalian yang dengan mudah menilai jika saya tidak cocok dengan istri saya? Tiga. Kalian tidak seharusnya meminta maaf pada saya, tapi kepada istri saya. Satu kata pun tidak ada istri saya mengadukan perihal kebusukan hati kalian, di saat saya menanyakan tentang apa yang terjadi hingga membuatnya menangis, dia lebih memilih menyimpannya sendiri dan mengatakan, dia tidak ingin membuka aib orang lain dan menggunjing orang lain.” Fayez menghela napasnya panjang dan mengusap wajahnya kasar. “Sungguh kalian benar-benar memalukan, sebagai seorang guru, seharusnya kalian bisa melatih lisan kalian sebelum menyakiti orang lain, dan bersihkan hati kalian dari prasangka jahat yang memalukan. Nyatanya, kalian yang bergelar ustadzah dan mendapat amanat mengajar anak-anak, hatinya mungkin tidak lebih baik dari pada wanita-wanita di luar sana yang sibuk menggunjing, menikmati memakan bangkai daging saudaranya sendiri, dan begitu ketahuan kalian justru semakin menjadi dengan memfitnah orang yang kalian gunjingkan. Astaghfirullah. Kalian mengerti ilmu agama dengan baik, bertahun-tahun belajar agar semakin mendekatkan diri kepada Allah, tapi kalian tidak memahaminya dan menerapkan ilmu kalian dalam kehidupan sehari-hari, apakah selama ini kalian telah bersungguh-sungguh membangun kedekatan kalian dengan Allah? Sedangkan di hati kalian masih penuh dengan penyakit yang mengotori hati kalian. Bertaubatlah dan malu kepada Allah, jangan biarkan setan menginjak-injak hati kalian atau kalian akan menjadi orang yang merugi dan celaka. Sesungguhnya Allah melihat hati kita, hamba-hambanya, bukan rupa bukan kedudukan dan bukan siapa kita di dunia. Bukankah kita ingin kembali pulang kepada Allah dengan membawa hati yang selamat? Hati yang diridhoi Allah? Jika kita masih menyimpan penyakit-penyakit kotor itu, bagaimana Allah akan ridho kepada kita? Bertaubatlah dan mohon kepada Allah agar menjaga kalian dari sifat hasad. ” Mereka semua hanya menunduk mendengar nasihat Fayez yang sangat menamparnya. “Seseorang yang terlihat tidak terlalu religius terkadang memiliki usaha yang lebih besar untuk membuat Allah senang dari pada mereka yang terlihat sangat religius. Saya hanya mengingatkan, jangan mudah menghakimi.” “Dan istri saya, wanita yang lebih mulia hatinya dibanding kalian yang dengan jahatnya begitu mudah memfitnah dan merendahkan orang lain seolah kalian yang paling benar. Memalukan!” Ucap Fayez lagi lalu mengucap salam dan langsung pergi meninggalkan mereka. “Astaghfirullah.” Fayez beristighfar dan memegang dadanya, dia saja yang hanya mendengar mereka begitu sakit hati dan tidak terima, padahal ucapan mereka tidak ditujukan kepadanya, namun bagaimana Hasna bisa selapang itu memaafkan mereka. “Ya Allah, mungkin Engkau lebih mencintainya dibandingkan denganku yang dilihat orang sebagai Ustadz, seorang hafizullah, nyatanya hatiku tidak seindah hatinya. Ampuni aku Ya Allah.” Bisik Fayez meneteskan air matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN