Bintang menatap kosong layar ponsel. Berulang kali mengetik dan menghapus kembali nomer telfon yang masih terlihat jelas di tangannya. Bintang sengaja membungkus tangannya dengan plastik saat pergi mandi, menjaga agar angka-angka yang tertulis di sana masih bisa dilihat jelas. Ia tahu kebiasaan barunya itu jorok dan tidak sehat, tapi dia tidak ingin tulisan tangan lelaki itu menghilang dari telapak tangannya.
“Ya elah, Bee. Tinggal lo tekan tombol hijau seperti ini, maka lo akan tersambung dengan pemilik nomer ponsel tersebut.” Patricia dengan sebal merampas ponsel Bintang dan menekan tombol hijau pada ponsel.
“Apaan sih lo, Pat? Sini balikiin hape gue!” Bintang menaikkan suara, sedang Patricia meleletkan lidah dan meletakkan ponsel Bintang pada telinganya. Bintang yang ketakutan mulai berdiri dan hendak merampas ponselnya kembali, namun Patricia lebih dulu berlari darinya. Bintang mengejar Patricia yang mulai berlari-lari mengelilingi kamarnya kecilnya.
“Hallo,” suara dalam seorang lelaki mulai terdengar dari ponsel Bintang, Patricia menghentikan langkah dan mengarahkan tangannya ke arah Bintang, meminta Bintang untuk berhenti. Bintang menaikkan sebelah alisnya melihat sahabatnya yang menyebalkan itu.
“Kak Adi ya? Ada yang mau ngomong nih.” Patricia menyerahkan ponsel itu kembali ke Bintang. Bintang terlihat ragu mengambil ponsel itu, Patricia mendengkus kesal dan meletakkan ponsel itu tepat ke telinga Bintang.
“Bee?” suara itu terdengar lembut saat mengucapkan namanya.
“Kak Adi, itu ... ini ... anu ...” Bintang tidak tahu apa yang harus dikatakannya, sedang Adi terkekeh mendengarkan Bintang yang tidak bisa berkata-kata.
“Apa, Bee? Ini nomer kamu ya? Aku save ya, Bee?” Bintang dapat mendengar keantusiasan dari suara pria di seberang sana, “Akhirnya kamu telfon aku juga, udah seharian ini aku nungguin telfon dan pesan singkat dari kamu, loh.”
“I ... i ... iya, Kak. Ini nomer aku, “ ucap Bintang terbata, “Kakak nungguin telfon dan sms aku?” Hati Bintang berbunga-bunga saat mendengarkan pengakuan Adi, ia merasa tubuhnya melayang hingga langit ke tujuh. Patricia tersenyum geli melihat sahabatnya yang terlihat bahagia, ia menarik Bintang duduk di tepi ranjang dan menempelkan telinganya pada ponsel Bintang.
“Iya … malah dari kemarin aku nungguin kabar dari kamu, tapi kamu kok nggak langsung telfon atau sms aku?” terdengar jelas kekecewaan dari suara Adi.
“Maaf, Kak. Anu ... aku ...” Bintang memijat-mijat pelipis, ia seperti anak kecil yang baru belajar cara berbicara, sehingga ia tidak dapat berbicara dengan benar saat ini.
“Bintang udah dari kemarin mau telfon kak Adi tapi dia nggak berani.” Patricia mulai tidak sabar melihat sahabatnya yang terlihat bodoh. Walaupun otak Bintang pintar tapi Bintang selalu tidak bisa berkata-kata. Bintang adalah seorang gadis yang selalu bertindak tanpa berkata-kata, ia tidak pandai merangkai kata, ia hanya tahu bagaimana cara menunjukkan perasaannya dengan perbuatan tanpa kata-kata.
“Ihh ... apaan sih Pat!” Bintang mendorong dengan kasar kepala Patricia agar menjauh darinya. Adi terkekeh pelan mendengarkan Bintang yang terdengar kesal dengan sahabatnya itu, ada harapan yang mulai timbul di dalam dirinya, ia sangat yakin bisa mendapatkan hati Bintang.
“Maaf kak itu si Patricia. Kakak masih ingat sama Patricia, ‘kan?”
“Inget ... Gimana nggak inget, kamu ‘kan pasangannya cuma Patricia.”
“Iiihh apaan sih, Kak? dianya aja yang suka nempel sama aku.” Bintang mengerucutkan bibirnya. Mereka mulai bisa berbicara dengan lancar tanpa Bintang yang harus terbata-bata saat berbicara. Sesekali mereka tertawa saat bercerita tentang masa SMA, Bintang lambat-laun mulai merasa santai saat berbicara dengan Adi, tidak ada perasaan takut dan tertekan yang dirasakannya seperti saat SMA dulu, Bintang baru menyadari selain sikap gentle dan wajah tampan Adi, ternyata dia adalah lelaki yang humoris.
Patricia mendengarkan dengan setia percakapan sahabatnya, ia tersenyum lebar saat melihat kemajuan pada diri Bintang. Masa lalu Bintang yang kelam memang membuat Bintang trauma menjalin hubungan dengan orang asing di sekitarnya, tapi semenjak SMA Bintang sudah mengalami banyak perubahan dan semua itu berkat Patricia. Patricia mengajarkan Bintang bahwa sahabat bukanlah mereka yang menghampirimu ketika butuh, namun mereka yang tetap bersamamu ketika seluruh dunia menjauh.
“Pat … besok kak Adi ngajak kita nonton, katanya dia juga mau ngobrol sama lo.” Bintang menyadarkan Patricia dari lamunan panjang.
Ini bagaikan mimpi indah yang menjadi kenyataan bagi Bintang. “Udah seneng ‘kan lo? Lagian nomer telfon cuma dilihatin doang.” Patricia berdecak sebal, “Gue nggak mau ikut” lanjutnya.
“Kok gitu, Pat? Lo harus ikut, ikut ya, Pat. Plleeaaseee … gue bakalan jadi nggak bisa ngomong apa-apa kalau nggak ada lo.” Bintang mengguncang-guncangkan lengan Patricia, Patricia memutarkan mata malas. Ia berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar dan mengangguk semangat.
“Makasih ya, Pat. Kamu sahabat terbaikku.”
“Emang ada yang lebih baik dari gue? Yang lebih jahat banyak,” Patricia menirukan iklan di televisi. “Cuma gue sahabat lo Bee,” lanjut Patricia tersenyum lebar.
Mereka berdua tertawa. Ya, memang hanya Patricialah yang menjadi sahabat Bintang selama ini. Patricia pada hari tertentu akan menginap di rumah Bintang, begitupun sebaliknya Bintang pada hari tertentu akan menginap di rumah Patricia. Mereka mulai melakukan sesi curhat ala sahabat wanita, mereka bercerita sampai rasa kantuk menghampiri.
***
Bintang memeriksa penampilannya di pantulan cermin kamar. Dress polkadot selutut berwarna hitam, sepatu flat berwarna senada, rambut yang dibiarkan tergerai, dan dijepit tinggi pada bagian depannya membuat wajah cantiknya terekspos. Penampilan yang sudah sempurna menurutnya.
“Udah cantik, Bee.” Patricia menepuk pundak Bintang dan tersenyum manis.
“Cuma kamu, mama, papa, om Andi dan tante Lenny aja yang bilang aku cantik.” Bintang tersenyum tipis, ia memperhatikan Patricia yang sudah terlihat cantik dengan dress selutut berwarna pink salem, wanita itu selalu tampak cantik dengan apa pun yang dikenakannya. Membuat Bintang selalu merasa tidak percaya diri saat berjalan di samping Patricia.
“Kecantikan kamu itu beda, Bee. Kamu cantik luar dalam, jadi jangan nggak percaya diri gitu dong.” Patricia mengerti perasaan Bintang, ia menggenggam pundak Bintang dan melihat pantulan diri Bintang pada cermin di depan mereka. Mereka berdua tersenyum lebar.