“Gue nggak butuh uang lo!” pria menunjuk wajah lelaki itu, “Asal lo tahu, nggak semua orang bisa lo bungkam dengan uang. Gue cuma pengen lo minta maaf, bukan main pergi gitu aja. Lo nggak pernah diajarin sopan santun sama kedua orang tua lo ya?” Bintang menatap tajam ke arah lelaki itu.
“Jangan munafik deh lo. Gue bisa tambahin uangnya kalau kurang, tapi tolong hentikan tindakan konyol lo ini karna gue nggak ada waktu ngeladenin cewek gila kaya lo!” lelaki itu berteriak, keduanya saling berpandangan dengan tatapan penuh amarah.
Beberapa orang yang berdiri di halte terletak tidak jauh dari tempat mereka berdebat mulai mendekat dan beberapa orang lagi memilih tetap di tempat mereka sembari menatap heran keduanya. Kendaraan di belakang mereka mulai terlihat kesal dan membunyikan klakson, tapi keributan di sekitar tidak bisa menghentikan Bintang dan lelaki itu.
“Sekali lagi gue bilang sama lo, kalau gue nggak butuh uang lo!” Bintang berkata dengan nada tak suka, “Minta maaf nggak lo, atau gue hancurin nih mobil.” Bintang mengarahkan helm ke kaca mobil lelaki itu. Lelaki itu mengeraskan rahang dan menggenggam erat lengan Bintang.
“Udah, Mas. Kita juga yang salah, kita minta maaf aja ya?” Pemuda yang mengemudikan mobil lelaki itu menarik tangan tuan mudanya untuk melepaskan genggamannya pada Bintang.
“Lelaki apa lo nggak minta maaf malah nyakiti perempuan?” Seorang pemuda yang berdiri di dekat mereka berteriak, Bintang tersenyum kecil mendengarkan pembelaan untuk dirinya, beberapa orang di sekitar mereka mulai berteriak dan meminta lelaki itu melepaskan tangan Bintang. Lelaki itu menatap kesal ke arah semua orang yang berada di sekelilingnya dan melepaskan genggaman tangannya.
“Mas Bastian, kita minta maaf ya?” pemuda itu berusaha membujuk, “Maaf ya mbak, kami yang salah. Maaf sebesar-besarnya mbak.” pemuda yang tidak lain adalah supir dari lelaki yang duduk di belakang tadi menyatukan kedua tangan, menempatkannya di depan wajahnya, lalu membungkukkan setengah badannya pada Bintang.
“Tuh, tuan muda lo belum minta maaf.” Bintang melirik ke arah lelaki yang menatapnya kesal, “Dia minta maaf dulu baru gue kasih lo pergi!” lanjut Bintang. Supir lelaki itu menggerak-gerakkan lengan tuan mudanya, meminta lelaki itu meminta maaf kepada Bintang.
“MAAF!” Lelaki itu masuk kembali ke dalam mobil tanpa memperhatikan Bintang yang tengah tersenyum puas.
Bintang menatap jam yang melingkar di tangan, jarum di jamnya sudah menunjuknya pukul 7.50. Dengan tergesa-gesa ia memakai kembali helm dan mulai mengendarai motornya, terlihat beberapa orang yang berada di belakang kendaraan mereka mulai bernafas lega.
Sial banget nasibku! Teriak Bintang dalam hati. Dasar cowok arogan! Emang dia pikir semua bisa dibeli dengan uang? makan tuh uang lo! Bintang tidak henti-hentinya merutuk lelaki yang menghancurkan paginya yang sudah cukup kacau.
***
Bintang memarkirkan motor, lalu membuka tasnya, mencoba mencari-cari beberapa berkas yang diperlukannya dengan terburu-buru. Ia melihat sekelilingnya, menatap kagum universitas impiannya semenjak masa SMA. Salah satu universitas paling bergengsi di Jakarta.
“Bee.” Bintang membalikkan tubuh untuk melihat pemilik suara yang familiar itu.
“Pat … Please jangan suka kayak hantu yang tiba-tiba nongol begitu.” Bintang mendengkus kesal.
“Pagi-pagi udah sensi aja sih, Bee.” sahabatnya itu tersenyum lebar tanpa dosa ke arah Bintang.
“Lagi sial gue pagi ini.”
Patricia Agatha ,salah satu wanita popular di masa SMP mereka. Patricia dilahirkan dengan fisik yang hampir sempurna. Rambut coklat lurus, mata bulat, hidung mancung layaknya orang Eropa, kulit putih mulus, dan juga tubuh yang pastinya akan membuat semua lelaki terpanah melihatnya. Wanita yang sangat berbeda dengan Bintang. Perbedaan mereka yang membuat mereka menjadi sahabat. Bintang yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri membuatnya tidak memiliki banyak teman, Patricia adalah satu-satunya teman wanita yang dengan keras kepalanya selalu berada di samping Bintang. Tanpa mereka sadari, ikatan di antara mereka sudah sangat kuat, ikatan persahabatan yang tulus dan kuat. Patricia memeluk lengan Bintang dan tersenyum melihat Bintang yang masih terlihat kesal.
“Pat, semua pada ngeliatin kita, nanti gue dikirain lesbian lagi.” Bintang melirik ke sekelilingnya dan merasa risih dengan pandangan semua orang yang memperhatikan mereka.
“Biarin aja dikirain lesbian,” Patricia mengendikkan bahu tak acuh, “Itu malah bagus. Jadi kan nggak bakalan ada yang ngejer-ngejer gue lagi kayak masa SMP kita.” Patricia semakin mengeratkan pelukannya, membuat Bintang menghela nafas memutar mata malas.
Bintang mengerti tatapan mata yang sedang melihat ke arah mereka, tatapan heran yang begitu jelas terlihat di dalam mata orang-orang yang tengah memandangi mereka. Ia sendiri merasa heran dan bingung mengapa Patricia begitu ingin menjadi sahabatnya, Patricia selalu mendekatinya yang selalu menyendiri walaupun Bintang selalu cuek menanggapinya, Patricia dan Bintang bagaikan langit dan bumi. Patricia adalah seorang anak tunggal dari keluarga yang kaya raya, gadis yang cantik, modis, dan mudah bergaul. Sedangkan Bintang hanyalah seorang anak karyawan swasta yang mempunyai gaji pas-pasan, wajah yang biasa saja, suka menyendiri walaupun dia bukan seorang nerd, ia hanya takut dengan ikatan yang bernama persahabatan, pengalaman mengajarkannya bahwa persahabatan tidak ada yang tulus, selalu ada maksud tersembunyi di balik ikatan yang bernama persahabatan itu. Tapi Patricia mengubah cara pandang Bintang, Patricia mengajarkan Bintang bahwa persahabatan itu indah, hubungan tulus tanpa mengharapkan apa pun darinya.
Langkah Bintang terhenti, kakinya terasa begitu berat sehingga Bintang mematung di tempatnya, menatap dengan penuh amarah lelaki yang tengah berjalan dengan gaya yang menurut Bintang adalah gaya ‘sok cool’. Dengan wajah cuek lelaki itu berjalan menuju sekumpulan lelaki yang tengah tertawa, ia mengabaikan beberapa wanita yang menegurnya dengan ramah.
“Dasar sok ngartis!” Bintang bergumam pelan, lalu berdecak sebal.
“Siapa yang sok ngartis?” Patricia mengalihkan pandangannya pada lelaki yang membuat sahabatnya itu terpaku dan terlihat kesal. Bintang mengarahkan dagunya pada lelaki yang tengah tersenyum manis dan berbincang dengan beberapa orang lelaki lainnya.
“Ganteng banget ya tuh cowok, Bee. Tuh sekumpulan cowok kok pada ganteng-ganteng ya?”
“Apaan sih Pat!! Mukanya doang yang ganteng,” Bintang mencibir, “Aku mau ke ruang dosen Indra dulu ya.”
“Bee kamu cemburu ya? cuma kamu kok yang ada di hati aku, Bee” Patricia berkata dengan, dan kembali melingkarkan tangannya pada lengan Bintang. Bintang bergindik ngeri melihat sahabatnya yang akan membuatnya dicap sebagai seorang lesbian di kampus barunya. Bintang melepaskan tangan Patricia yang melingkar di lengannya dan berlari meninggalkan sahabatnya itu, Patricia mengerucutkan bibirnya dan berteriak mengejar Bintang dari belakang.