"Marvis, please harder honey," mohon Geo, Reo, atau Neo. Well, aku lupa siapa namanya. Masa bodoh, dia salah satu f**k buddy-ku. Sekarang kami sedang bercinta di salah satu apartemenku.
Kucium tubuh manisnya. Perlahan dari leher, turun ke d**a bidangnya, sambil mempercepat gerakan pinggulku. Napas kami terengah-engah, tubuh kami telah basah oleh keringat. Suara desahan nikmat Neo memenuhi kamarku, mengacau indra-indraku, memicuku untuk mempercepat gerakanku. Bisa kurasakan bahwa aku sudah dekat.
BRAK!
Mendadak pintu kamarku terbanting dengan keras, terbuka menampakkan sesosok manusia paling ku benci di dunia ini. Hilang sudah semua kenikmatan tadi.
"Kenapa kalian berhenti? Teruskan. Aku ingin melihat wajah kalian saat o*****e. Ini hanya untuk penelitianku, jadi silakan lanjutkan," ucapnya datar.
Fuck buddy-ku yang entah siapa namanya itu, langsung menarik pantatnya menjauh dari ku. Buru-buru memakai pakaiannya, walaupun kami belum selesai. Dan ia pergi begitu saja, meninggalkanku dengan raut wajah kesalnya.
Shit! Aku kesal, marah, sebal, dan semua emosi buruk lainnya.
"Persetan denganmu, Elanor! Pergilah! Ini sudah keempat kalinya dalam minggu ini, kau mengganggu waktu seksku!!" usirku, tapi Elanor adalah pria b******k pengganggu kesenangan hidupku. Jadi dia tidak pergi, juga tidak peduli dengan kemarahanku.
Dengan wajah datarnya, ia mulai memberiku pertanyaan bodoh. "Jadi berapa kali kau mendapatkan orgasmemu Marv? Bagaimana rasanya? Bisa coba deskripsikan padaku?"
"Holy s**t! Pergilah ke neraka, Elanor!!" Setelah memaki Elanor, aku pergi untuk mandi air dingin, mendinginkan senjataku sekaligus pikiranku yang kini telah mendidih. Elanor sialan!!
Namanya adalah Elanor bla bla bla. Aku lupa nama lengkapnya. Dia seorang mahasiswa psikologi semester akhir. Sedang mengerjakan skripsinya yang dia bilang, berfokus ke psikologi kepribadian dan aku dijadinya sebagai bahan penelitiannya, atau lebih sederhananya ... dia menguntitku selama 24 jam non stop. Dia mencatat semua hal yang kulakukan, semua reaksiku atas setiap kejadian, setiap jadwal seksku, sampai-sampai ia mencatat dengan siapa saja aku tidur, dengan siapa saja aku pergi minum.
Sungguh sialan!!
Semua mimpi buruk ini dimulai sejak satu bulan yang lalu. Aku seperti biasanya, menghadiri setiap party tidak jelas yang mengundangku. Pergi ke party sendirian, minum hingga mabuk, berkenalan dengan uke yang manis dan berakhir di kamar hotel. Harusnya seperti itu dan dari dulu seperti itu.
Hanya saja di hari itu, aku sedang sial. Aku salah mengira bahwa Elanor adalah uke, jadi kugoda dia, mengajaknya bercinta denganku. Jawabannya adalah tidak, dia menolakku. Namun meskipun begitu, ia malah menyeretku ke hotel juga. Saat itu kupikir dia hanya uke denial, di tempat ramai menolak, tapi di ranjang hot.
Kenyataannya sangat pahit, sepahit meminum secangkir kopi tanpa gula. Elanor memberiku sekitar 50 pertanyaan perihal kehidupan seksku. Kujawab saja waktu itu, kupikir itu hanya obrolan ringan sebelum malam yang panas. Namun setelah itu, dia malah seenaknya mengklaim aku sebagai bahan observasinya. Dia mengatakan kalau dia tidak pernah bertemu dengan gay seterbukaku. Jadi ia tertarik meneliti kepribadianku untuk dijadikan tugas akhir skripsinya.
Sejak itu kehidupan bebasku tidak lagi sebebas dulu, banyak f**k buddy-ku yang meninggalkanku karena tidak nyaman atas kehadiran Elanor. Lebih parahnya lagi, aku bahkan tidak bisa menyingkirkan dari hidupku. Bukan karena dia penting, bukan karena dia tampan dengan jari-jari lentik yang mengundang untuk kuhisap. Melainkan karena dia keturunan bangsawan Perancis yang entah dari garis keturunan mana, yang jelas aku tidak mau tahu.
Satu hal yang kuketahui adalah orang tuanya sudah bekerja sama dengan keluargaku sejak empat generasi silam. Hal itu membuat ayah dan pamanku, melarang untuk menyakitinya, apalagi membunuhnya.
Ini soal bagaimana menghargai kerja sama lebih dari seratus tahun itu, kata ayahku. Kataku sih, mampus saja kau Elanor!
Sampai lupa memperkenalkan diri, Namaku Marvis Delio Angelo, 25 tahun. Aku gay, seme yang punya puluhan pacar, puluhan f**k buddy dan selalu mudah mendapatkan one night stand. Bagiku hidup soal hiburan. Pesta, minum sampai mabuk, mengisap ganja sesekali sampai teler dan seks sampai puas. Aku benci wanita, lebih tepatnya takut ke mereka. Mungkin itulah alasannya aku menjadi gay.
Selesai mandi aku berjalan kembali ke kamarku. Begitu pintu kamar mandi dibuka, mataku langsung iritasi melihat Elanor duduk di tepian kasurku.
"Mandi selama 24 menit 16 detik. Lebih lama sekitar 5 menit dari kemarin, jadi apa saja kamu lakukan saat mandi tadi, Marv?" Lihatkan betapa sialannya Elanor? Ia menatapku serius, menunggu jawaban bodoh itu dengan santai, memainkan pena dan notesnya.
"Persetan!!" umpatku.
Kurampas notes itu, lantas kusobek-sobek dengan ganas sambil membayangkan notes itu adalah Elanor. Membuangnya ke lantai dengan sembarang, kemudian kuinjak-injak dengan beringas.
"Percuma kamu merobeknya, isinya sudah kuhafal di luar kepala, Marv. Jadi mana jawaban pertanyaanku tadi?"
Aku mengeram marah dan Elanor tersenyum tipis. Dia senang membuatku marah. Dia setan, makhluk paling kejam yang pernah kutemui.
"Tidak ada jawaban. Aku bukan kelinci percobaanmu yang hanya bisa diam dan pasrah kau teliti!"
"Hm ... tentu kau kelinci percobaanku, ah! Itu sebabnya kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku, tapi itu bukan masalah. Dari wajahmu, sudah bisa kutebak apa jawaban dari berbagai pertanyaanku."
"Argh!!" pekikku jengkel.
"Sifat dasar subjek poin kelima : pemarah dan tidak mampu mengontrol emosinya saat kalah berdebat." Elanor kembali mengeluarkan notes baru dari dalam sakunya. Mulai menuliskan apa yang baru saja ia sebutkan.
Dan sekali lagi, kurampas notes itu. Menyobeknya hingga tidak berbentuk. Namun ia tidak peduli, malah kembali berbicara secara monolog dan menilaiku seenaknya. "Sifat dasar subjek poin kedua belas : tidak belajar dari pengalaman, kembali melakukan hal yang sama secara sia-sia."
"KELUAR DARI APARTEMENKU!!" usirku kasar, menyeretnya tanpa ampun, melemparnya keluar pintu. Kemudian aku banting pintu apartemenku dan menguncinya rapat.
Aku pemarah? Tidak. Aku bukan pemarah seperti yang Elanor tulis di notes sialan yang tidak pernah habis itu. Aku seorang yang periang dengan senyuman memesona yang tulus. Aku selalu ramah pada siapa pun, seorang sosialita pencinta pria tampan. Hanya pengecualian untuk Elanor. Dia membuatku marah dalam satu hari, 10 kali lebih banyak daripada aku marah dalam satu tahun ke semua orang.