“Jihan sayang Abang?”
“Kenapa nanyanya begitu?” Jihan melirik malu-malu dari balik bulu matanya. “Abang ‘kan seharusnya udah tau jawabannya apa?”
“Apa? Ayo bilang, Abang mau mendengarnya langsung.” Jihan begitu kegelian saat Dewa memberinya kecupan-kecupan kecil seringan bulu. Jarak di antara keduanya semakin menipis dengan Dewa mengungkung Jihan antara sofa dan kedua tangannya. “Bilang, hm?”
“Jihan ...” Rona di pipi bertambah merah dan Jihan menundukkan kepalanya semakin dalam. “Sayang ... Abang.”
Dewa menggelitiki perut Jihan dan Jihan tertawa geli. Gemas mungkin belum cukup mendeskripsikan penilaian Dewa terhadap Jihan. Gadis di depannya ini ... terlalu tidak bisa diabaikan. Dulu Dewa bahkan dibuat terpesona pada pandangan pertama.
“Kalau sayang, berarti mau, ya, Abang cium bibirnya?”
“Abang!” Refleks Jihan memukul Dewa tapi hanya pukulan ringan, sama sekali tidak terasa menyakitkan. “Jangan gitu, Jihan ... malu.”
“Sama pacar sendiri tidak boleh malu.” Dewa mendekatkan wajahnya, mencuri kecupan di bibir secepat kilat kemudian memberi jarak untuk melihat ekspresi Jihan. “Sepertinya Abang punya siluman kepiting di sini.”
“Abang ...” Suara Jihan nyaris tenggelam. “Udah ...”
Bukannya berhenti, Dewa malah semakin melancarkan aksinya. Dari yang hanya kecupan singkat, berubah jadi lumatan. Apalagi saat mendengar leguhan Jihan, Dewa semakin bersemangat.
Hawa di sekitar terasa memanas. Saat tautan bibir terlepas, Dewa terengah-engah dengan tatapan terpaku pada Jihan. Pipi Jihan semakin memerah, bibirnya merekah indah dan Dewa bangga karena itu ulahnya.
“Jihan suka Abang cium?”
Jihan menutup mukannya dengan kedua telapak tangan lalu mengangguk sekali. Jantung Jihan rasanya mau copot, karena ini adalah pertama kalinya mereka terlalu intim. Sebelum-sebelumnya Jihan hanya mendapat kecupan di dahi atau di pipi dari Dewa.
“Kalau minta lebih, Jihan mau ngasih?”
“Lebih?” Kedua tangan itu membuka, menampilkan kedipan polos dari Jihan. “Abang mau minta apa?”
Dewa tersenyum. Lebih dulu Dewa berdiri, kemudian mengulurkan tangannya. Jihan menerima dengan bertanya-tanya, tapi Dewa mengabaikannya dengan menuntun Jihan memasuki sebuah ruangan. Bukan ruangan, tapi sebuah kamar.
Didudukkan Dewa Jihan di unjung kasur dan Dewa berjongkok di depan Jihan. Kedua tangan Dewa menggenggam erat tangan Jihan dan Jihan membalasnya serupa.
“Abang juga sayang Jihan. Kita sudah lima bulan pacaran, apa Abang boleh minta sesuatu dari Jihan?”
“Minta apa? Jihan usahakan untuk mengabulkan permintaan Abang.”
“Benarkah?” Pandangan Dewa langsung berbinar-binar. Dikecup Dewa bergantian punggung tangan Jihan. Berkali-kali. “Abang mau tidur sama Jihan.”
Jihan terdiam beberapa saat, lalu menjawab dengan keluguan, “Abang ngantuk? Jihan nggak tau kalau Abang ngantuk dari tadi.”
“Bukan, Sayang ...” Dewa jadi gemas sendiri. Daripada menjelaskan panjang lebar yang berujung pada ketidakmengertian dan mendapat pertanyaan lagi, lebih baik Dewa langsung bertindak. Didorong Dewa Jihan dengan pelan agar berbaring dan Dewa memposisikan diri di atas Jihan, tentunya dengan kedua siku bertumpu agar Dewa tidak menimpa Jihan. “Tidur yang seperti ini.”
Belum sempat Jihan menjawab, Dewa sudah lebih dulu membungkamnya. Badan Jihan sempat tersentak saat lidah Dewa menelusup tapi itu tidak lama karena Jihan langsung hanyut dalam pergulatan mereka.
Seluruh sendi Jihan melemas. Perlahan lenguhan keluar dari mulutnya, dari yang berupa bisikan sampai rengekan. Titik-titik peluh muncul di pelipis, dingin AC langsung menyapa kulit Jihan begitu semua pakaiannya dilepaskan oleh Dewa.
Otak Jihan tidak bisa berpikir begitu seluruh tubuhnya tidak luput dari sentuhan Dewa. Jika ada hal yang paling membuai di dunia, maka Jihan akan dengan cepat menjawab bahwa itu adalah Dewa. Karena Dewa begitu pandai menaklukan Jihan dan membuat Jihan lupa semuanya.
Saat kenikmatan itu semakin meningkat dirasakan, lalu sesuatu yang asing mencoba menerobos Jihan dan membuat mata Jihan membuka. Pandangan mereka bertemu dan Jihan menemukan Dewa di antara tubuhnya. Mereka tanpa sekat dan Jihan dengan jelas merasakan Dewa.
“Abang,” panggil Jihan di antara ambang batas kewarasannya. “Jihan ... takut.”
“Shhh ... tidak apa-apa.” Dewa menunduk, memberikan kecupan dan juga sentuhan menenangkan. “Abang sayang Jihan. Abang akan bertanggungjawab.”
Rayuan diselipi janji manis mengantarkan Jihan pada ketundukan. Begitu Dewa menembus dindingnya, Jihan menangis sekaligus bahagia. Jihan bisa memberikan apa yang Dewa inginkan dan Jihan yakin perasaan di antara keduanya semakin menguat.
Tapi ... Jihan lupa, apa yang dilakukannya hari ini, merupakan bumerang untuknya di masa depan. Hanya berupa kata bisa mendorong Jihan jatuh terperosok ke jurang yang dalam. Begitu sulit memanjat untuk keluar, begitu tersiksa terkurung dalam kubangan kegelapan.
***
Jihan terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Air mata mengalir membasahi pipi sebagai tanda mimpi yang dialaminya tadi sangat menyiksa. Jihan menyapukan pandangannya ke sekitar lalu terisak untuk melampiaskan sesak.
Lagi-lagi, mimpi itu. Mimpi yang menyiksa Jihan selama bertahun-tahun. Mimpi yang sulit dilepaskan dan mimpi yang sangat menjerat. Sudah bertahun-tahun Jihan dihantui perbuatan dari masa lalunya. Seolah itu adalah bentuk hukuman. Seolah itu adalah karma dari apa yang Jihan perbuat.
Setiap kali Jihan mengingat, Jihan menyesalinya dengan sangat. Pikiran masa mudanya tertupi cinta sampai matanya buta. Orang yang Jihan kira adalah pertama dan terakhir, orang yang Jihan percayakan mahkotanya, ternyata adalah orang yang paling menggores luka.
Dewandaru Adinata. Nama yang mati-matian ingin di lupakan tapi nama yang paling menghantuinya. Jika bisa memilih, Jihan ingin hilang ingatan daripada mengingat semua kenangannya dengan laki-laki itu. Karena begitu besar dampak trauma yang ditimbulkannya pada Jihan.
Bagaikan seekor burung dalam sangkar, Jihan tidak bisa keluar. Rasa insecure dan tidak percaya diri mengelilingi. Jihan terlalu takut tidak diterima. Ketidaksempurnaannya sebagai perempuan membuat Jihan merasa tidak pantas untuk siapa pun. Buah dari masa lalunya melahirkan rasa ketakutan yang besar. Buah dari masa lalunya melahirkan sebuah pemikiran, yang bahkan sampai saat ini jika diketahui oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya, maka akan ditentang habis-habisan.
Jihan tidak akan menikah. Jihan akan menghabiskan waktunya dalam kesendirian. Jihan akan menutup akses. Jihan melakukan itu semua untuk mencegah hatinya terluka. Jihan adalah seekor landak lemah yang melindungi diri dengan durinya.
Diusap Jihan wajahnya yang sembab. Setelah cukup lega, Jihan beranjak dari tempat tidur. Jam menunjukkan pukul empat dini hari. Jihan pergi ke kamar mandi, mencuci tangan dan kaki setelah itu berwudhu.
Seperti biasa, jika Jihan terbangun dari mimpi buruk, Jihan akan bersujud meminta pengampunan pada Allah. Air mata di sepertiga malam adalah bentuk penyesalan Jihan paling terdalam.
***
Prosesi akad nikah berlangsung khidmat. Ijab yang diucapkan dan qobul yang dijawab sukses membuat beberapa orang menangis haru, termasuk Mama. Wanita lebih dari separu baya itu berkali-kali mengusap air mata dengan tisu. Jihan hanya melihatnya, tidak berniat untuk bertanya atau menenangkan.
Acara-acara seperti ini selalu ingin dihindari Jihan, namun apa daya tidak bisa karena Mama memaksa. Padahal, sebagai orang tua seharusnya Mama tahu di mana letak permasalahannya, tapi rupanya Mama tidak mau ambil pusing dan memilih abai.
“Terakhir Mama menangis haru di pernikahan adikmu. Sekarang, di pernikahan adik sepupumu. Kapan Mama menangis di pernikahanmu, Jihan? Mama juga ingin melihat anak sulung Mama di posisi sana, duduk bersebelahan dengan calon suaminya dan menyaksikan papamu menjabat tangan calon suamimu dengan gagah.”
Jihan tidak menjawab. Bukan karena Jihan tidak bisa, tapi karena Jihan sengaja. Jihan sangat ingin jujur mengatakan Jihan tidak akan menikah, namun Jihan takut reaksi yang ditunjukkan mamanya adalah kekecewaan. Maka dari itu, lebih baik Jihan memendam karena itu jauh lebih baik.
“Mama membayangkan kamu mengenakan kebaya itu, Jihan. Betapa cantiknya anak sulung Mama, dibalut hijab dengan untaian bunga melati. Make up semakin memperayu wajahmu, henna menghiasi punggung dan telapak tang–”
“Jihan permisi ke toilet, Ma,” pamit Jihan pelan. Dengan menundukkan pandangan, Jihan berlalu di antara barisan orang-orang di belakang. Begitu bebas dari sana, tanpa sadar Jihan mengembuskan napasnya, seolah di tempat tadi sangatlah sesak sampai Jihan merasa kekurangan udara untuk dihirup.
Bahkan orang tua saja tidak mau mengerti. Jauh di lubuk hati sana, Jihan ingin seperti orang-orang, tapi, rasa ketakutannya lebih besar dibanding apa pun. Yang mereka tahu hanya bertanya, tanpa tahu seperti apa di posisi orang yang ditanya.
Berulang kali Jihan menarik napas untuk menghilangkan perasaan mengganjal di d**a, begitu tidak ada efek yang berarti apa-apa, Jihan memilih meneruskan langkahnya menuju toilet. Di sana tidak ada siapa-siapa karena semua orang berkumpul ballroom.
Jihan mencuci tangannya sampai bersih, setelah mengeringkan dengan tisu, Jihan memandang penampilannya di kaca. Satu tetes tinta merubah semuanya. Jihan yang dulunya ceria, polos dan kesayangan semua orang sekarang berubah menjadi Jihan yang pemurung. Wajahnya selalu diliputi kesedian, jarang menampilkan senyum dan lebih suka menyendiri. Semua itu hanya disebabkan oleh seseorang, yang bahkan namanya sekarang enggan Jihan sebut walau pun hanya satu huruf.
***
01 Juli 2020
Instagram : wfebiy_
Wattpad : Hellowol_