Keputusan Akhir (2)

1282 Kata
“Saya terlalu percaya diri. Rupanya Jihan tidak mudah didekati, ya.” Argan tertawa pelan. “Biasanya saya tidak pernah salah menilai, tapi kali ini benar-benar tidak tertebak. Memang hanya Jihan yang berbeda. Saya akui di situ sisi menariknya.” Jihan merasa tidak nyaman. Semakin lama Argan seperti semakin lancang. Bahkan, terang-terangan menilai Jihan menarik. Seharusnya melihat seorang perempuan berpakaian tertutup, Argan bisa menahan omongannya. “Tapi, berhasil atau tidak pada akhirnya kita memang ditakdirkan untuk bersama. Tidak sia-sia saya selama ini sendiri, rupanya saya menunggu waktu tiba untuk bertemu dengan Jihan.” “Maaf, boleh saya pamit?” tanya Jihan pelan. “Saya haus.” “Oh, padahal ada minuman di sebelah Jihan.” Sejenak Jihan memejamkan mata atas kecerobohannya. Setelah bisa menguasai diri, Jihan membuka matanya kembali lalu menunduk. “Sebenarnya ... saya tidak terbiasa ngobrol lama dengan orang asing.” “Orang asing?” ulang Argan dengan sebelah alis terangkat. “Kita sudah bertunangan. Hari ini lebih tepatnya, kita resmi bertunangan.” Ah, Jihan sempat melupakan hal itu. Alasannya mengobrol dengan Argan sekarang adalah ini. Setelah acara inti, Jihan didorong Mama untuk berbicara berdua dengan Argan di taman belakang. Sedangkan yang lain di ruang tamu. Memang tidak terlalu mewah dan meriah, karena hanya dua keluarga inti yang datang sekaligus mengobrol untuk mengakrabkan satu sama lain. Diam-diam Jihan melirik jari manisnya. Kurang dari dua bulan lagi, Jihan akan resmi menyandang status sebagai seorang istri. Hal yang ditakutinya. Sampai saat itu tiba, apakah semuanya akan baik-baik saja? “Karena kita sudah lebih dekat, bolehkah saya menghilangkan keformalan saya pada Jihan?” “Saya tidak akan mempermasalahkan panggilan kamu.” “Kalau sedang berbicara, tatap mata lawan bicaramu.” Saat Argan bermaksud menolehkan Jihan ke arahnya, tidak disangka Jihan berjengit kaget dan refleks mundur. “Kenapa? Apa aku mengagetkan Jihan?” Gelengan cepat Jihan berikan. Tidak mungkin Jihan secara gamblang mengatakan, tapi yang dilakukan Argan tadi benar-benar melewati batas. Memang mereka sudah bertunangan, tapi setidaknya hormati Jihan. Karena pertunangan bukan pernikahan. Mereka tidak boleh terlalu dekat bahkan bersentuhan. “Saya ... saya ke dalam.” “Apa Jihan takut padaku?” Jihan sudah berdiri, tapi sebelum melangkah Jihan harus mengutarakannya pada Argan. “Pernikahan kurang lebih dua bulan lagi. Saya harap ... Argan menjaga batasan. Saya juga berharap ... Argan jangan terlalu sering menemui saya.” Rasa kesal langsung menyelinap tapi berusaha Argan tahan. Kalau terus-terusan diperlakukan seperti ini Argan jadi jengah, tapi sialnya, Argan sama sekali tidak ingin mundur dan berpaling. Justru Argan semakin tertarik. Sedikit lagi Argan akan mendapatkan Jihan. Lihatlah dua bulan nanti, apakah Jihan akan masih seperti ini? “Ya sudah. Aku hanya berharap, Jihan mau mengangkat teleponku atau membalas pesanku.” Alih-alih menjawab, Jihan hanya mengucap salam kemudian bergegas pergi dari sana. Dengan langkah tergesa-gesa supaya bisa mencapai pintu dan menghilang dari pandangan Argan. *** Di sebuah ruangan yang minim penerangan, seseorang duduk dengan setumpuk foto di atas meja kerjanya. Dengan saksama dan penuh perhatian dia mengamati. Sorot matanya begitu lembut dan tersiksa di saat yang bersamaan. “Apa kamu bahagia?” tanyanya lirih. “Apa kamu tidak sabar menunggu hari itu tiba?” Satu lembar foto diambilnya lalu ditatapnya lebih intens. Hanya dua kesamaan di antara setumpuk foto itu, orang yang sama dan tidak pernah sekali pun menunjukkan senyuman. Dari foto pun terlihat, bahwa tidak ada binar bahagia di sana. Hanya wajah murung tanpa ekspresi yang berarti. Anehnya, tetap saja memukai. Bahkan mencuri perhatian orang-orang sekitarnya. “Kamu memang tidak akan pernah bisa diabaikan. Sudah berapa banyak orang terpesona, bahkan kamu sendiri tidak menyadarinya.” Punggungnya disandarkan pada sandaran kursi kemudian pandangannya menerawang pada balik kaca yang menampilkan pemandangan malam, gedung-gedung pencakar langit dan bunyi-bunyian dari keramaian jalanan. “Mungkin hanya aku satu-satunya yang paling bodoh.” Bunyi ketukan terdengar kemudian disusul dengan pintu dibuka membuat perhatiannya teralihkan. Penerangan yang tadinya temaram berubah jadi terang yang menyilaukan saat saklar lampu dinyalakan. Dia sampai memejamkan matanya untuk penyesuaian. “Kau belum pulang?” “Aku menunggumu. Bukankah kau tahu sendiri apa yang membuatku betah berlama-lama di sini?” Seseorang yang baru masuk itu terkekeh kemudian mendekat. Dilemparkannya sebuah map tapi tentu saja masih tergolong hormat. Karena yang sedang duduk itu adalah atasannya, sekaligus sepupu dan teman semasa kuliahnya dulu. “Aku tidak bisa masuk tapi aku hanya bisa menangkap momen di bagian luarnya saja. Seharusnya dengan itu saja kamu pasti tahu apa yang terjadi selanjutnya di dalam rumah itu.” Degup jantungnya meningkat saat meraih amplop. Tangannya sedikit gemetar ketika mengeluarkan beberapa lembar foto dari sana. Apalagi saat melihat gadisnya ... tidak berpenampilan seperti biasa tapi sukses membuatnya tersihir di pandangan pertama. “Dia bertunangan. Sepertinya orang tua mereka ingin cepat-cepat menggelar resepsi pernikahan.” Detail dia menjelaskan kemudian berdecak. “Sebenarnya kerjaanku ini apa? Kenapa mau-maunya diperintah seperti penguntit oleh kau.” Didongakkannya kepala kemudian embusan napas keluar dari mulut. “Aku ingin dia bahagia, tapi ... perasaanku tidak baik-baik saja.” “Lantas apa yang kau inginkan? Sudah satu bulan kau di sini dan sudah selama itu juga aku dan kau melakukan rutinitas ini. Menguntitnya kemana-mana dan mengambil gambarnya. Apa kau tidak berniat untuk bertemunya secara langsung? Minimal hanya menyapa, sekadar mengatakan ‘apa kabar’.” “Apa kau bisa membayangkan aku muncul dengan tidak bersalahnya dan menyapa dengan santai? Kau pikir, dia akan menyambutku bersahabat dan membalas sapaanku?” Bahunya terangkat. “Sepertinya tidak tapi tidak ada yang tahu, bukan? Ini sudah lama, seharusnya  tidak ada masalah lagi di antara kalian.” “Tidak sesederhana yang kau pikir. Aku merubahnya dengan sangat banyak, dan lagi ... perubahan itu tidak ada yang bagus sama sekali. Aku membuatnya kehilangan dirinya yang dulu.” “Kalian begitu rumit dan bodohnya aku malah masuk di antara kerumitan kalian. Sudahlah, kau pulang saja. Tidak ada gunanya merenung di sini. Yang akan bertunangan tetap bertunangan dan yang akan menikah tentu saja akan menikah. Seharusnya kau belajar untuk mengikhlaskan dan membiarkannya meraih kebahagiaannya sendiri.” “Kata-katamu sama sekali tidak membantu. Pulanglah lebih dulu, aku akan istirahat di sini beberapa menit lagi sebelum ke apartemenku.” “Terserah kau saja.” Setelah itu, dia langsung berbalik dan pergi. Yang tersisa hanyalah dia seorang, kali ini pandangannya tertuju pada foto yang paling jelas diambil malam ini. Dari atas kepala sampai ujung kaki tidak luput dari mata tajamnya. Perlahan tapi pasti, senyum lembut muncul dari sana. “Cantik,” bisiknya lirih. “Kamu selalu berhasil menarikku agar selalu terpaku padamu.” *** Satu ruangan langsung bersorak begitu Jihan mendudukkan diri di kubikelnya sendiri. Mereka di ruangan itu berjumlah tujuh orang termasuk Jihan dan Icy, dan kelima orang itu mendekati kubikel Jihan hanya untuk menggodanya. “Cieee ... yang mau nikah.” “Yang tadi dianterin tunangannya, cieee ...” “Jari manisnya sekarang udah tersemat cincin, cieee ...” Jihan menggelengkan kepala sebagai tanggapan. Tidak diperdulikan Jihan mereka yang masih betah bersorak untuknya dan Jihan segera menghidupkan komputer untuk mulai bekerja. Banyak yang mesti Jihan selesaikan dan Jihan tidak punya waktu untuk meladeni. “Han, kenalin, dong, calon lo,” ujar Mbak Vera. “Iya, istirahat ini ajak makan bareng sama kita. Biar nikah nanti nggak asing-asing amat lihat muka calon mempelai laki-laki di pelaminan,” usul Rina. “Dia kerja di mana, Han?” Bang Fahri juga ikut-ikutan. “Kenal dari mana, nih? Nggak ada angin nggak ada hujan, lo tunangan dan bentar lagi menikah. Memang orang pendiam nggak ketebak, ya.” Icy yang memahami situasi langsung membubarkan mereka. “Udah, pada balik ke kubikel masing-masing, gih. Ditegur Pak Yanto baru tahu rasa semua. Jam kerja udah mulai dari lima belas menit tadi tau!” “Apaan, nih, si Icy. Bilang aja kalau iri. Pacarnya belum ngajakin menikah ‘kan, ya.” Candaan Bang Fahri mendapat delikan sinis dari Icy. “Jangan bawa-bawa hubungan gue, Bang. Masalah ini gue sensitif dengarnya. Biar kata gue pacaran bertahun-tahun, yang namanya jodoh belum nyampe nggak bisa dipaksa juga.” “Eh malah ribut. Ayo pada balik kerja semua!” tegur Mbak Vera. “Fahri juga. Laki kok ngurusin hubungan orang.” Cengiran tengil Fahri menandakan suasana mencair. Mereka kembali ke kubikel masing-masing, begitu juga dengan Icy. Jihan yang tadi diam-diam mendengarkan langsung menoleh pada Icy, memandanginya beberapa saat kemudian berucap dengan pelan, “Terima kasih, Cy.” “Bukan masalah, kok. Udah biasa juga kita dengerin omongan nyelekit anak-anak.” Jihan mengangguki kemudian fokusnya kembali pada komputer. Tapi, alih-alih lanjut bekerja, Jihan malah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada yang ingin menikah tapi belum diajak menikah oleh pasangannya. Ada yang tidak ingin menikah tapi terpaksa menurut karena keadaan. Bolehkah Jihan meminta kalau posisi Jihan dan Icy ditukar saja? Tapi, tentu saja itu mustahil, bukan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN