Argan dan Rencana Perjodohan (2)

1467 Kata
“Ada yang mau Mama bicarakan. Jadi, jangan ada yang beranjak setelah makan malam usai.” Otomatis semua perhatian tertuju pada Mama, bahkan Papa sekali pun menunjukkan tatapan bertanya. Tapi, lain dengan Jihan, tiba-tiba rasa tidak nyaman menelusup, apa jangan-jangan Mama mau membicarakan perihal Argan? “Di ruang makan, Ma? Kenapa tidak di ruang tamu saja?” tanya Zidan heran. “Ini sangat penting, berpindah ke ruang tamu membutuhkan waktu yang lumayan. Mama tidak ingin membuang waktu.” “Ya sudah,” timpal Papa. “Sekarang lanjutin makan, tahan penasarannya sebentar.” Semua menurut. Selanjutnya yang terdengar hanyalah denting sendok beradu dengan piring. Jihan adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Papa Jihan seorang dosen di salah satu universitas yang ada di Jakarta, sedangkan Mama Jihan ibu rumah tangga biasa. Adik Jihan yang pertama bernama Lila, yang kini sudah tinggal terpisah karena mengikuti suaminya yang bekerja di instansi pemerintahan di Bandung. Sedangkan yang kedua sekaligus terakhir adalah Zidan, sekarang kuliah semester empat jurusan ilmu komunikasi. Situasi Jihan menjadi begitu terdesak semenjak Lila menikah satu tahun yang lalu. Mama selalu merasa risih mendengar anaknya disebut sebagai perawan tua, apalagi setelah dilangkahi sebutan itu makin menjadi-jadi. Mungkin ini puncaknya, Mama ingin mengakhiri status Jihan dengan cara perjodohan, sehingga anak sulungnya tidak perlu lagi menjadi cibiran tetangga. “Ina, tolong bereskan ini dengan cepat,” panggil Mama pada aisten rumah tangga. “Buatkan teh untuk bapak juga, sisanya tidak perlu.” Semua seperti keinginan Mama. Tidak ada yang beranjak dari tempat duduk setelah makan selesai. Papa menunggu dengan tenang, Zidan yang masih sempat-sempatnya memakan ayam goreng dan Jihan yang tenggelam dalam pemikirannya. Sebelum menerka-nerka, mari Jihan mendengarkannya. Syukur-syukur kalau prasangka Jihan salah, kalau pun iya sekali pun, semoga saja Jihan bisa menolak. Tapi, bukankah menolak keinginan orang tua adalah hal yang sulit? Selama ini, Jihan hampir tidak pernah memberontak atau keluar jalur dari sebutan anak baik dan penurut, kecuali saat itu, saat di mana Jihan dengan tunduknya menyerahkan mahkota yang seharusnya Jihan jaga sampai Jihan menikah. “Apa yang Mbak pikirkan?” Suara Zidan membuyarkan lamunan Jihan. Dengan segera Jihan menggeleng dan tersenyum tipis. Dibanding Lila, Jihan lebih dekat dengan Zidan. Tapi, bukan berarti Jihan jauh dengan Lila. “Hanya kerjaan yang belum selesai.” “Pekerjaannya dibawa pulang ke rumah? Saran Zidan, di rumah itu khusus digunakan untuk istirahat. Mbak bisa lanjutin lagi di kantor begitu jam kantor dimulai.” “Mbak mengerti. Terima kasih.” “Sama-sama.” Zidan nyengir dan mengacungkan jempolnya. “Kalau butuh apa-apa, panggil aja Zidan. Adik Mbak ini sangat bisa diandalkan.” Jihan mengangguk sekali. Di depan Zidan, Jihan sedikit mencair. Bahkan, hanya Zidan yang bisa melihat sisi manja Jihan. Zidan sangat mengerti bagaimana memperlakukan Jihan. Dari perhatian kecil sampai yang lebih besar Zidan berikan untuk Jihan. Kadang Zidan peka, saat melihat awan mendung menebal di raut Jihan, Zidan menawarkan pangkuan untuk Jihan berbaring dan tidur. Karena Zidan tahu, Jihan pasti menyimpan kenangan buruk yang enggan diceritakan pada siapa pun. Bi Ina hampir selesai dengan tugasnya. Terakhir Bi Ina membersihkan meja dan mengantarkan teh untuk Papa, setelah itu Bi Ina pamit undur diri melanjutkan pekerjaannya di dapur. Keheningan melingkupi sebelum Mama mulai berbicara. Bahkan Papa pun sempat menyesap tehnya sebentar sambil menunggu. “Jadi begini, di pernikahan Nisa, Mama berkenalan dengan Linda, temannya Tante Bunga. Mama juga berkenalan dengan anak laki-laki satu-satunya, Argan. Dia baik, sopan sama Mama dan dari penampilan, Mama menyimpulkan kalau Argan cocok untuk Jihan. Beberapa kali pertemuan setelahnya, Mama tahu Mama tidak salah menilai Argan. Mama semakin yakin dan mantap kalau Argan laki-laki yang tepat. Keinginan Mama tidak banyak, Mama hanya ingin melihat Jihan menikah dengan Argan. Tidak perlu lama-lama mengenal, Jihan dan Argan sama-sama dewasa pasti akan mudah beradaptasi setelah menikah nanti.” “Apa Jihan sudah setuju dengan keputusan Mama?” pungkas Papa. “Papa tidak akan keberatan kalau Jihan juga menerima. Tanyakan dulu, yang menjalani pernikahan itu Jihan, bukan Mama atau siapa pun. Kita memang boleh mengusulkan tapi keputusan tetap berada di tangan Jihan.” “Maka dari itu, Pa, Mama mengatakannya di sini.” Pandangan Mama beralih pada Jihan. “Bagaimana? Ini bisa mengakhiri pertanyaan-pertanyaan para tantemu, Han. Mama juga tidak akan capek mendengar tetangga bergosip lagi.” “Ma,” panggil Papa. “Katanya tadi menyerahkan semuanya pada Jihan, bukankah ini pemaksaan namanya.” “Iya, itu juga, kok, maksud Mama. Tidak ada salahnya menambahkan beberapa kata, supaya pikiran Jihan terbuka. Di lingkungan sini bukan hanya ada keluarga kita, tapi ada juga para tetangga yang siap mencibiri anak kita. Apa kata orang, sudah dilangkahi adiknya dan sekarang malah tidak ada pikiran untuk berumah tangga. Nanti tuduhan-tuduhan negatif muncul, mulai dari terlalu pemilih. Terlalu menetapkan standar yang tinggi. Mama ngomong begini karena ada bukti, orang Mama pernah tidak sengaja mendengar tetangga yang lagi menggosipi Jihan.” Melihat perdebatan-perdebatan kecil itu membuat Jihan murung. Berarti Jihan sama sekali tidak bisa mengutarakan penolakannya sekarang. Padahal Jihan sudah berjanji, apa pun yang terjadi Jihan akan mengatakan dengan jujur perasaannya. Perasaannya yang tidak percaya diri akan pernikahan dan menjalani biduk rumah  tangga. “Apa itu tidak terlalu cepat, Ma? Maksud Zidan, pernikahan bukan karena dikejar waktu. Tapi, kedua belah pihak sama-sama siap. Kalau begini kesannya seperti Mama yang ingin menikah, bukan Kak Jihan.” “Zidan tidak tahu apa-apa, jadi jangan ikut campur urusan orang dewasa,” tegur Mama. “Kamu di sini itu fungsinya untuk tahu informasi, supaya nanti tidak kaget lagi kalau berita Kakakmu menikah disebarkan.” “Coba kita dengarkan dulu pendapat Jihan, Ma,” usul Papa. Semua pandangan langsung beralih pada Jihan. Secara tiba-tiba udara di sekitar menipis dan tenggorongan Jihan tercekat. Ya Allah, kalau memang ini adalah keputusan akhirnya, Jihan pasrah menerima. Hanya saja, Jihan mohon apa pun yang terjadi ke depannya, semoga Jihan sanggup menjalaninya. “Keputusan Jihan sepenuhnya Jihan serahkan pada Mama. Jihan akan menuruti semua keinginan Mama.” “Serius, Han?” Mama langsung berbinar. “Itu artinya kamu setuju ‘kan, Nak? Kamu setuju menikah dengan Argan?” Jihan mengangguk sekali, dengan hati yang luar biasa nyeri. Berkali-kali Jihan mengatakan pada diri sendiri, kalau ini adalah berita yang menyenangkan, tapi tetap saja Jihan berkhianat. Mata Jihan nyaris menumpahkan cairan bening kalau Jihan tidak mendongak. Ketakutannya ... tepat di depan mata sekarang. *** Semalaman itu Jihan menangis. Seperti biasa di dalam sujudnya. Jihan mengadu soal hatinya yang dipenuhi racun. Jihan meminta petunjuk apakah yang diputuskan Jihan ini adalah keputusan terbaik. Namun hasilnya, tetap saja ada yang mengganjal, seolah-olah penerimaan adalah cara yang salah. Namun, Jihan tidak bisa menarik kata-katanya. Melihat Mama bahagia menjadi kelemahan bagi Jihan. Biarlah, anggap saja ini mengorbankan sedikit untuk pencapaian yang besar. Jihan tidak lagi digosip tetangga dan Mama juga bisa tenang karena tidak mendengar kata-kata seperti itu lagi. Tepat setelah Jihan menyimpan kembali mukenanya di dalam lemari, pintu kamar diketuk. Jihan sama sekali tidak bisa menebak siapa yang memanggilnya di pukul empat pagi ini, tapi Jihan bergegas untuk membuka. Begitu mengejutkan melihat Zidan berdiri di depan kamarnya. Wajah bantal Zidan jelas sekali terlihat tapi seolah sengaja ditahan hanya untuk menyempatkan diri melihat Jihan. “Kakak habis menangis?” Jihan otomatis mengusap wajahnya dan menggeleng. Jawaban yang konyol, sebenarnya. Tidak diberitahu pun semua orang bisa menyimpulkan kalau Jihan sebelumnya menangis. Termasuk Zidan yang tidak akan pernah bisa dibohongi. “Kakak belum tidur? Baru selesai salat malam?” “Iya,” jawab Jihan. “Kenapa ke sini?” “Boleh Zidan masuk? Sampai nunggu azan subuh aja, kok. Nanti balik lagi.” Pintu kamar dilebarkan untuk memberi cela. Setelah Zidan masuk, Jihan menutup kembali dan melangkah lebih dulu lalu duduk di sisi tempat tidur. Zidan juga mengikutinya. “Kakak pasti tidak ingin menuruti kehendak Mama tapi tidak bisa menolak. Zidan tahu, Kak. Saat di ruang makan pun Zidan sudah bisa melihatnya dari ekspresi Kakak.” “Tidak apa-apa. Keputusan Mama pasti yang terbaik untuk Kakak.” Zidan langsung meraih kakaknya ke dalam pelukan. Mengusap-usap rambutnya dengan penuh kelembutan. Jihan selalu memendam perasaannya sendirian. Jihan selalu menekan kehendak hatinya dengan mengutamakan kebahagiaan orang tuanya. Jihan ... kakak yang hebat di mata Zidan, maka dari itu Zidan selalu memasangkan radar pekanya lebih tinggi untuk Jihan, agar Zidan tahu kapan waktunya untuk mendekap atau kapan waktunya hanya melihat saja, tanpa melakukan apa-apa. “Kalau memang tidak bisa, nanti Zidan akan bantu Kakak bicara sama Mama.” “Terima kasih tapi Kakak tidak apa-apa.” “Ya sudah.” Zidan menguraikan pelukannya. “Kalau begitu, Kakak tidur. Nanti Zidan bangunkan saat salat subuh.” “Sepertinya tidak mengantuk lagi. Kam–” Zidan menggeleng dan langsung menarik tangan Jihan untuk berbaring dengan berbantalkan pahanya. “Zidan tahu Kakak belum tidur sama sekali, tapi sebentar saja pejamkan mata karena paginya Kakak akan bekerja.” Tidak ada penolakan lagi. Jihan menuruti perintah Zidan, matanya mulah memejam dengan posisi memiring. Terasa selimut melingkupi tubuh Jihan, setelahnya itu dengan sangat ajaib, Jihan tertidur. Kali ini sangat tenang, sampai Jihan tidak memimpikan apa pun. *** Tadi pagi, setelah salat subuh Jihan langsung membereskan kamarnya. Sama sekali belum keluar sampai sarapan akan dimulai. Penampilan Jihan terlihat rapi dengan pashmina berwarna moka, kemeja putih lengan panjang dan celana 7/8 berwarna senada dengan pashminanya. Tapi, begitu memasuki ruang makan, Jihan terpaku dengan tatapan tertuju pada pemilik bahu lumayan lebar yang saat ini tengah duduk di salah satu kursi dan posisinya membelakangi Jihan. Semua orang belum sadar kehadiran Jihan, tetapi begitu Zidan masuk dan menyapa, perhatian otomatis teralihkan. Ada Papa yang tersenyum seperti biasa. Ada Mama dengan raut yang sangat jelas sekali terlihat bahagianya, dan ada ... Argan dengan senyum lembut tapi sama sekali tidak berpengaruh apa-apa di mata Jihan. “Selamat pagi. Saya menjemput Jihan hari ini. Kita pergi ke kantor bersama-sama.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN