Lexington, Manhattan, New York City
Kamis, 16 November 2017
--
Aku segera menyadari kalau itu adalah pagi di hari kamis. Aku memiliki jadwal terapi dengan dokter Lou hari ini, dan aku punya beberapa rencana tentang Anne - atau yang sekarang menjelma sebagai Dokter Katherine Bernice.
Aku bersiap dengan cepat, berjalan di keluar dari penginapanku, kemudian melewati gang-gang kecil di antara dua bangunan bertingkat. Aku sempat berhenti di walmart untuk membeli beberapa botol anggur. Aku menggunakan kartu kredit pribadiku untuk membelinya, Nick bisa saja melacak jejak transaksi jika aku menggunakan kartu kredit yang diberikannya dan berdebat dengannya adalah hal terakhir yang ingin kulakukan.
Setelah mendapatkan anggurku, aku bergerak cepat menuju bangunan dua lantai dengan cat dinding putih yang terletak di ujung jalan. Bagunan itu tampak menonjol di antara bangunan- bangunan tua lainnya. Aku tiba di sana lima belas menit yang lalu, kini aku sedang duduk menatap ke bagian luar jendela dan melihat hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang di luar sana.
Dokter Lou duduk di seberangku. Ia melakukan sesuatu yang kupikir selalu dilakukannya: mencatat sesuatu dalam sebuah kertas hasil tes. Aku penasaran, aku sempat terpikir untuk bertanya apa yang dicatatnya dalam buku buku, kemudian aku mengurungkannya dengan cepat. Kini, sepasang bola mata biru itu menatapku, tajam dan penuh penilaian. Dokter Lou menyungging senyum kecil yang entah bagaimana membuat otot wajahku yang tegang kembali mengendur.
“Bagaimana harimu, Sara?”
Aku menatap tumpukan buku pada rak di belakangnya. Aku selalu kehilangan fokus saat seseorang mencoba mengajakku berbicara, dokter Lou tampaknya menyadari hal itu karena kini ia melambaikan tangannya di depan wajahku hingga aku kembali menatapnya.
“Aku merasa..” aku terpikir untuk berbohong, tapi itu akan menjadi usaha yang sia-sia. Dia memiliki hasil tes kesehatanku dan jika ada satu-satunya orang yang memahami masalahku, maka Dokter Lou adalah orangnya. “Aku tidak tahu. Aku rasa aku bingung.”
“Kenapa tidak kau ceritakan padaku bagaimana perjalananmu selama satu minggu terakhir?”
Aku mencoba mengingat papan merah yang menggantung pada dinding kamarku, aku mengingat semua foto-foto yang kutempel selama satu minggu terakhir: lukisan Bob, Bill dan Marie, foto Jane, Annette dan putrinya - Joanah, foto Danny, juga ada catatan tentang Caroline - aku masih tidak bisa mengingat siapa wanita ini. Dan yang paling mengganggu dari semua gambar itu adalah potongan surat kabar yang menampilkan wajah Nicole bersama suami dan anaknya - kejadian pada 8 November yang tidak tercatat dalam buku harianku, lukisan wanita di apartemen lantai sebelas juga kedatangan Bibi Martha dan Anne (Dokter Katherine), semua catatan itu membingungkanku. Aku sempat berniat untuk menceritakan tentang dokter Katherine pada psikiaterku, tapi kupikir itu terlalu awal.
“Aku.. aku naik kereta dan aku turun di City Hall,” aku melihat Dokter Lou menautkan jari-jarinya saat mendengarkan. “.. aku bertemu banyak orang. Aku juga menyelesaikan lukisanku. Aku senang bertemu mereka, aku merasa lebih baik sekarang.”
“Adakah suatu kejadian yang masih kau ingat hingga sekarang? Atau mungkin sebuah ingatan yang tidak bisa kau ulang.”
“Ya,” jawaban itu keluar dari mulutku dengan cepat. Aku tidak bisa menahannya, aku masih penasaran kenapa halaman tertanggal 8 November dalam catatanku hanya berupa lembaran kosong.
“Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi pada tanggal 8 November. Aku tidak tahu apa yang terjadi.”
“Ingatanmu berputar di tempat yang sama, itu sebabnya kau kebingungan. Kenapa kau tidak memulainya dengan tempat yang baru, lingkungan yang baru, suasana yang baru. Tempat apa yang paling kau suka, Sara?”
“Aku suka berada di pantai. Aku suka berjemur di bawah matahari. Dulu aku, Nick dan orangtua kami selalu melakukannya. Aku masih mengingat deretan pohon pinus di sekitar sana. Kami berlari-larian di pantai. Aku tidak bisa berenang, tapi.. ibuku mengajarkanku. Aku hampir tenggelam, ayahku kemudian menyelamatkanku. Aku tidak begitu suka berada di air, tapi menyukai suasana di pantai..” aku baru saja ingin mengatakan kalau suasana di sana selalu mengingatkanku tentang kenanganku bersama Tom saat kami masih begitu muda dan tergila-gila satu sama lain, tapi niat itu kuurung. "Aku suka berada di sana."
Pertemuan itu berakhir lebih cepat dari bayanganku. Dokter Lou melakukan uji terapisnya untuk mengukur sampai di mana perkembangan psikologisku. Dia melakukannya dengan cepat seolah memahami bahwa aku telah merasa tercekik saat berada di sana.
Pada pukul sepuluh, aku menaiki kereta yang bergerak menuju City Hall. Seorang wanita berkulit hitam menyapaku ketika aku menaiki gerbong nomor dua, tapi aku tidak bisa mengingatnya, jadi kuputuskan untuk mengabaikannya.
Keretaju bergerak melewati deretan perumahan bergaya Victoria yang sama seperti yang ada dalam lukisanku. Mataku menatap keluar jendela, pikiranku melayang jauh, sementara itu, suara deru mesin kereta menyerbu telingaku. Aku membuka kembali catatanku, nama Dokter Katherine Bernice tercantum di mana-mana. Aku telah melihat wajahnya dalam beberapa gambar yang ditangkap kameraku. Aku segera menyadari betapa miripnya sang dokter dengan wanita yang berdiri di balkon apartemen lantai sebelas. Mereka bukan sekadar orang-orang yang tercipta dalam imajinasiku, mereka sungguhan. Tidak hanya mirip, mereka tampaknya memiliki kehidupan sempurna yang selalu aku mimpikan - sebuah kehidupan yang pernah kubayangkan bersama Tom di dalamnya.
Aku menyandarkan kepalaku ke kaca jendela. Tanpa kusadari, keretaku telah tiba.
Arlojiku menunjukkan kalau saat itu sudah pukul sebelas ketika berjalan di jembatan Brooklyn. Gambar yang kuambil tentang Anne alias Katherine memperlihatkan suasana di atas jembatan. Jadi aku datang dengan harapan wanita itu akan muncul di tempat yang sama.
Aku menunggu selama hampir satu jam. Orang-orang yang berlalu lalang di sekitar sana mulai memandangiku. Sementara itu hawa dingin merayap naik hingga ke punggungku. Aku bisa merasakan kedua tanganku bergetar saat menggenggam kamera. Kedua mataku terus mencari-cari di antara kerumunan orang.
Dimana Anne - Katherine? Aku tidak melihatnya hari ini. Aku membuka catatanku sekali lagi, menatap susunan nomor telepon yang akan menghubungkanku dengan wanita itu. Sejenak aku berpikir untuk menghubunginya, tapi aku menahan diri dan tetap menunggu.
Menjelang malam, aku berdiri mengelilingi rak-rak buku di perpustakaan, nyaris putus asa setelah berkali-kali menghubungi nomor telepon itu dan mendapat kabar bahwa panggilan sedang sibuk. Aku mengobrak-abrik seisi rak penyimpanan ketika berusaha menemukan apa yang kucari. Dua jam yang lalu, aku mengakses internet berbayar pada sebuah warung internet yang tersedia di dekat sana. Aku melacak semua yang dapat kugali tentang dokter Katherine. Hasilnya aku mendapatkan e-mail, alamat klinik prakteknya dan jadwal kosong di minggu depan. Aku tidak mendapatkan informasi lebih selain itu. Jadi aku pergi ke perpustakaan dan mencari semua jurnal yang pernah ditulis oleh Dokter Katherine dalam penelitiannya.
Dia telah bekerja sebagai seorang psikiater sejak lima tahun dan dia telah melewati tujuh bulan pelatihan di rumah sakit jiwa. Dokter Katherine berasal dari North Carolina, sebuah tempat yang tidak pernah kupikirkan akan menjadi tempat kelahirannya. Dia tinggal di sana selama dua belas tahun sebelum pindah ke Tennessee dan menjalani studi selama tiga tahun di sebuah universitas besar. Ayahnya telah meninggal dan ia telah menikah dengan seorang agen perumahan bernama Anthony Whitman. Tidak ada informasi yang menyebutkan kalau Dokter Katherine memiliki seorang anak dan dia telah menikah.
Aku terguncang. Sembari bersandar pada rak buku itu, aku memikirkan segalanya. Dokter Katherine Bernice telah menikah, tapi tidak ada cincin pernikahan yang melingkar di jari tangannya. Ia merupakan seorang putri tunggal dalam keluarganya. Ia wanita yang sangat cerdas dan seorang psikiater muda yang cantik.
Meraih ponselku, aku mencoba menekan nomor telepon yang sama dan mendesah ketika suara yang muncul di seberang mengatakan hal yang sama sejak beberapa jam lalu.
Aku keluar dari perpustakaan sekitar pukul sepuluh. Kepalaku terasa pening. Aku mabuk di sepanjang perjalanan. Langkah kakiku yang goyah membawa aku menyusuri jembatan panjang dan jalan raya. Langit sudah gelap, kabut hitam menyelimutinya. Pohon-pohon bergoyang tertiup angin, aku melangkahkan kakiku menaiki tanah yang berundak. Aku berjalan menuju rawa, memasuki terowongan yang sempit dan gelap dan berhenti beberapa meter jauhnya dari rumah kayu di seberang.
Semilir angin menyapu wajahku. Jalanan tampak gelap. Aku bersembunyi di balik pohon besar sembari memandang ke arah bangunan itu. Sebuah van melintas cepat dari kejauhan, aku menunggu hingga van itu melewatiku. Begitu suara mesinnya berderap menjauh, aku menunggu.
Sekilas aku melihat sebuah cahaya keemasan yang membanjiri satu ruangan di lantai atas. Siluet seorang wanita muncul di ambang jendela. Aku melihatnya bergerak mondar-mandir di depan jendela. Ia menggenggam sesuatu di tangannya, mungkin sebuah ponsel, atau sisir.. aku tidak yakin. Wanita itu berbalik, aku dapat merasakan tatapannya menusuk ke arahku - atau itu hanya firasat ku saja. Aku beringsut mendekati pohon, aku bersembunyi. Kemudian kemunculan orang lain di belakang wanita itu mengejutkanku. Aku hanya dapat melihatnya sebagai dua bayangan hitam di balik tirai jendela. Kedua mataku melebar, aku menilainya. Yang satu bertubuh mungil: kecil dan ramping, aku langsung menebak kalau itu Dokter Katherine, sedangkan bayangan yang lain tampak lebih besar dan tinggi, ia memiliki rambut pendek dan bahu yang lebar. Ia pasti seorang laki-laki. Mungkinkah Anthony Whitman?
Aku menunggu, aku menyaksikan ketika bayangan si pria bergerak mendekati si wanita. Aku pikir ia hendak memeluk wanitanya, nyatanya reaksi wanita itu mengejutkanku. Si wanita bergerak menjauhi si pria, si pria tampak tidak terima, ia melayangkan satu tangannya, memukul wajah si wanita.
Mataku membeliak karena terkejut. Aku bisa merasakan darahku berdesir cepat hingga ke ubun-ubun. Aku tidak dapat menghentikan rasa bergetar yang dialami sekujur tubuhku. Bayangan si wanita perlahan lenyap, ia bergerak menjauhi si pria, si pria menahan lengannya. Wanita itu berusaha memberontak. Bayangan mereka kemudian lenyap. Lampu di ruangan itu dipadamkan.
Aku merasa takut – aku menunggu. Tidak ada lampu yang dinyalakan. Tidak ada suara-suara yang terdengar. Tidak ada seseorang yang muncul di pintu depan. Bagian beranda rumah itu masih sama seperti saat terakhir aku melihatnya. Sebuah mobil freed berwarna hitam terparkir di garasi, dua buah kursi kayu mengelilingi sebuah meja bundar kecil. Kaca jendela di bagian depan sedikit terbuka. Pohon besar dengan dahan yang menjorok ke atap rumah, juga ranting yang bergerak mengetuk kaca jendela di lantai atas.
Tirai-tirai putih menutupi jendela. Aku bisa membayangkan sebuah perapian di lantai bawah, ruang dapur yang besar, meja makan persegi, sebuah televisi, radio dan piano di bawah tangga kayu. Aku masih menunggu seseorang keluar dari dalam sana. Aku terlalu mabuk, aku bisa merasakan kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Ponsel di dalam tasku terus bergetar. Nick menghubungiku, kuabaikan panggilannya. Kemudian nama Nate muncul di layar utama. Mereka pasti mencariku. Sementara aku masih berdiri di belakang pohon, mabuk dan kebingungan.
Akhirnya, kuputuskan untuk melangkah kembali menuju stasiun. Aku bergerak dengan tergopoh-gopoh. Aku mengabaikan belasan orang yang menatapku di sepanjang perjalanan. Aku ingin menghubungi seseorang – bukan Nick maupun Nate. Aku ingin menghubungi polisi dan mengatakan apa yang terjadi di dalam rumah kayu itu. Tapi sebelum aku mencapai pintu kamarku, aku ambruk di tengah lorong. Kudengar suara bedebum ketika seseorang berlari di lantai kayu itu. Suaranya semakin dekat dan berhenti tepat di depanku. Aku merasakan kesadaranku ditarik menjauh tepat ketika seseorang membopong tubuhku.
--
Beritahu saya tanggapan kalian..