Bab 33

1304 Kata
Lexington, Manhattan, New York City Rabu, 13 Desember 2017    -- Langkah kakiku membawaku menyusuri jalur setapak di daerah perumahan itu. Aku memerhatikan sebuah truk yang melaju pesat di jalur itu dam sedan yang membuntutinya. Sebuah gapura terlihat di dekat pos penjaga. Kawasan itu dibatasi oleh pagar besi berkarat setinggi tiga meter yang telah berusia puluhan tahun. Seorang petugas berjaga di dekat sana. Petugas itu tampaknya mengenaliku karena dia menyapa begitu aku melewati pos penjagaan. Aku mengangguk, kemudian bergerak cepat di pinggir jalan. Jalurnya masih tampak sama seperti yang kuingat. Deretan pohon Pinus berdiri di sampingku. Ada sebuah kolam kecil di sudut rumah dengan cat dinding berwarna pucat. Aku berjalan melewati rumah itu, sekilas mengintip ke balik pagar dan melihat rutinitas orang-orang di dalam sana. Dulu ayahku sering membawaku berjalan menyusuri jalur ini. Ada sebuah bukit yang melandai di arah Utara dan danau kecil. Ayahku membuatkan kapal rakitan untukku dan Nick. Pada hari-hari libur, kami suka menghabiskan waktu di sana. Langkahku terhenti di depan sebuah bangunan bercat putih yang dibatasi oleh pagar berwarna hitam. Aku ingat bunyi berderit pagar itu, pintu-pintunya yang tua kini telah diganti dengan pintu modern dan kaca jendelanya yang berlubang telah diperbaiki. Rumah itu tidak terlihat sama dari saat terakhir aku menempatinya. Tidak ada kotak surat di dekat pagar. Tangga kayunya telah direnovasi menjadi tangga besi. Tidak ada kursi di beranda dan lantainya tidak lagi terbuat dari kayu melainkan keramik. Rumah itu tiba-tiba menjadi terlalu asing. Aku tidak mencium wangi kue apel yang dipanggang di dalam oven. Tidak ada suara tawa anak-anak, dan teriakan ibuku ketika memanggilku untuk pulang. Aku tidak lagi mendengar suara berderit pintu yang digeser terbuka atau suara bedebum langkah kaki seseorang yang menuruni tangga kayu. Sebuah pohon besar yang berdiri di pekarangan telah ditebang, dan kolam yang membelakangi tebing kini telah dihancurkan. Hanya ada sebuah civic hitam yang terparkir di garasi. Peralatan berkebun milik ayahku diletakkan di dekat pekarangan. Halaman depannya telah didekorasi ulang dengan model yang menyerupai rumah modern. Kaca-kacanya tidak lagi terbuka. Rumah itu tampak tertutup. Tidak ada suara bising musik, dan pintunya terkunci rapat. Aku bergerak menaiki tangga menuju pintu masuk. Ketika aku bermaksud mengayunkan tangan untuk mengetuk pintu, aku baru menyadari kalau ada tombol bel di samping pintu. Aku menekannya sekali, duakali, dan siluet seseorang yang berjalan mendekat terlihat dari kaca jendela. Aku bergerak mundur saat mendengar seseorang membuka gerendel pintu. Wajah Nick muncul di depanku. Dia membuka pintu lebih lebar sehingga aku bisa melihat ke dalam. Nick telah berseragam lengkap dan rapi, ia seolah telah bersiap untuk pergi bekerja. Saat itu dia menatap ke belakangku, menyadari bahwa tidak ada orang lain yang ikut bersamaku kemudian menarikku ke dalam. "Ada apa?" Nick menutup pintu di belakangku sementara aku bergerak masuk menyusuri ruang depan. Tidak banyak yang berubah dari ruangan itu. Lubang perapiannya masih ada di tengah-tengah sana, dua buah sofa berwarna merah tua milik nenek kami masih diletakkan di ruang depan dan Nick tidak memindahkan rak-rak penyimpanan barang-barang antik. Ruang tengahnya terhubung dengan dapur. Aku melihat meja konter yang telah dimodifikasi dengan bentuk meja besi. Tidak ada lagi meja bundar yang biasa kami gunakan untuk makan bersama. Sementara alat-alat memasaknya tertata rapi: sebuah oven, mesin pemanas kopi, wajan, porselen yang tertata di atas rak-rak juga lemari gantung tempat penyimpanan bumbu dapur. Nick meletakkan televisi di ruang tengah dan ada sebuah patung rusa milik ayah kami yang diletakkannya di atas lemari pendingin. Sisanya tampak kosong. Tidak banyak pajangan dinding dan mainan anak-anak yang tersebar di lantai. Dindingnya tidak lagi dipenuhi oleh coretan. Dinding itu telah dilapisi oleh wallpaper berwarna pastel yang tampak cocok dengan suasana dapurnya. Sejenak, aku bergerak mendekati rak-rak tempat penyimpanan barang antik. Jari-jariku menyusuri permukaan kayu yang tampak berdebu itu. Nick pasti terlalu sibuk untuk membersihkannya. Selama sesaat aku mengingat sebuah jendela di sudut tempat dimana ibuku suka duduk di kursi goyang sembari menyulam. Dari balik kaca besar itulah dia mengawasi kami yang sedang berlari-larian di pekarangan. Kini, kursi goyang yang biasa diduduki ibuku tidak lagi terlihat. Nick telah mengepakkan semua peralatan tua ke dalam gudang dan menggantinya dengan yang baru. Semuanya tampak asing kecuali perapiannya. Aku penasaran untuk melihat kamar yang kutempati di lantai dua, tapi aku lebih penasaran pada apa yang k****a dalam catatanku pagi ini: kunjungi Nick di rumahnya dan tanyakan apa yang terjadi. "Sara!" Nick masih mengguku, ekspresinya tampak tidak senang. Ketika aku hanya menatapnya dengan gugup, Nick melambaikan tangan ke kursi di dekat konter. Dengan patuh aku duduk di atas kursi itu. Kuperhatikan punggungnya saat ia bergerak membelakangiku dan kembali dengan segelas air mineral. Nick berdiri di hadapanku, nyaris terlalu dekat sehingga aku merasa terintimidasi. Sepasang matanya yang gelap mengamatiku, dan ketika aku tidak juga berbicara, dia melirik jam tangannya. "Ayolah kak, aku harus bekerja tiga puluh menit lagi. Kau bilang kau ingin datang dan berbicara. Apa yang ingin kau katakan?" Aku meneguk minumanku kemudian mengerjapkan mata. Kutatap wajahnya dan kata-kata itu keluar begitu saja. "Aku ingin bertanya padamu, apa yang terjadi tiga hari yang lalu? Mengapa aku terbangun dengan luka di kepalaku? Apa yang kulakukan? Apa yang terjadi?" Nick tertegun kemudian menjawab dengan ketus. Ia tampak tidak menyukai gagasan untuk mengulangi kejadian itu. "Kau mabuk dan kau membuat kekacauan lagi. Sial, Sara! Aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu, berkali-kali kukatakan kalau sebaiknya kau tidak mabuk! Tindakanmu membuat pengobatannya sia-sia." Hening. Kurasakan jari-jariku bergetar di atas gelas kaca itu. Tatapanku jatuh pada papan nama Nicolas Adams yang menempel di bagian d**a kirinya dan aku bergeming. Aku merasa bersalah pada Nick, tapi aku tidak ingat apa yang benar-benar kulakukan malam itu. "Aku minta maaf.." Nick menfengus keras. Dia bergerak menjauhiku untuk mengembalikan tumpukan buku kendalam laci. "Kau selalu mengatakan itu tapi kau tidak pernah memperbaiki kesalahanmu." "Aku benar-benar tidak ingat.." "Itu karena kau mabuk. Kau dan sifat keras kepalamu itu. Aku berusaha menghubungimu berkali-kali, aku mengkhawatirkanmu. Natalie bilang kau tidak ada di penginapanmu kemudian seseorang melaporkan kalau kau membuat keributan lagi. Aku muak dengan kelakuanmu, Sara. Sampai kapan kau mau hidup seperti ini?" "Nick aku minta maaf.." aku telah bangkit berdiri saat mengatakannya. Nick masih memunggungiku, dia seolah merasa enggan untuk menatapku. Kini laki-laki itu berjalan ke arah jendela. Matanya menatap keluar sana sedang kedua tangannya yang berotot di letakkan di pinggang. "Aku.. aku tidak tahu apa yang kulakukan. Aku tidak bisa mengingat apa-apa. Itu di luar kendaliku." "Kau datang hanya untuk meminta maaf? Kemudian kau mengulanginya lagi dan lagi. Jujur saja, aku bosan dengan semua ini Sara." "Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi?" "Wanita itu," Nick berbalik, kedua matanya menatapku dengan marah. "Seseorang melaporkan kau membuat keributan di jalanan. Kau menyakiti seorang wanita. Dia melaporkanmu, untung saja polisi mau mendengarkanku, jika tidak kau pasti sudah mendekam di balik jeruji." Aku lebih tercengang pada fakta bahwa aku menyakiti seseorang dan aku masih penasaran. "Siapa? Siapa wanita itu?" "Aku tidak tahu, kau bilang kau mengenalnya. Dia teman sekolahmu." "Nicole?" "Siapapun namanya, aku tidak mau berhadapan dengan polisi itu lagi dan memohon untuk membebaskanmu, Sara. Sudah cukup permainan anak-anakmu!" Nick bergerak melewatiku. Aku berbalik dan melihatnya meraih jaket hitam di tiang besi. Nick mengenakan jaket itu dengan cepat kemudian meraih kunci mobil. Dia berjalan dan berhenti di depanku. "Kalau kau sudah selesai, aku harus pergi bekerja sekarang." Kutatap api yang hampir padam di dalam lubang perapian itu kemudian aku meraih tas dan bergerak menuju pintu. Nick mengikutiku sampai di teras. Aku hanya menatapnya sekilas kemudian bergerak pergi meninggalkan gerbang. Aku merasa setiap langkah yang kuambil membawaku semakin jauh dari rumahku. Aku tidak memiliki tujuan khusus hari ini, aku pikir aku akan memikirkan apa yang dikatakan Nick barusan. Jika benar aku menyakiti Nicole, maka aku berutang permintaan maaf padanya. Aku perlu berbicara dengan Nicole, aku belum merasa puas dengan jawaban Nick. Aku rasa ada sesuatu yang salah. Namun, apakah Nicole mau berbicara padaku setelah apa yang kulakukan padanya? Aku yakin tidak.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN