Bab 4

1194 Kata
Lexington, Manhattan, New York City Selasa, 7 November 2017    -- Aku terbangun dalam keadaan tersentak karena matahari menembus masuk melalui celah jendela di kamarku. Aku linglung dan terburu-buru ketika bangkit dari lantai kayu dan bergerak masuk ke kamarku. Sekujur tubuhku terasa pegal dan aku mau muntah. Sebelum aku berhasil mencapai kloset, aku memuntahkan seisi perutku di atas lantai. Kepalaku terasa pening. Aku melirik alarm di kamarku. Pukul tujuh tiga belas. Aku terlambat. Keretaku telah tiba pukul tujuh dan aku tidak ingat apa yang terjadi semalam hingga aku berakhir dengan tertidur di atas lantai.  Aku mencoba menebak-nebak, mungkin aku mabuk semalaman. Aku bertanya-tanya apa Nate tahu - apa Nick tahu? Aku mengeyahkan pemikiran itu dan bergerak cepat untuk menghapus sisa muntahan di atas lantai. Aku tidak mengambil waktu lama untuk mandi dan bersiap-siap. Aku tidak memakai riasan apapun, aku hanya memastikan kamera dan buku catatanku ada di dalam tas sebelum aku bergegas menuju stasiun. Perutku meraung keras. Aku melupakan sarapanku. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku memakan sesuatu. Diam-diam aku menyesap anggur pinot di dalam botol minum itu. Mataku menatap keluar jendela saat keretaku bergerak menuju City Hall. Aku duduk diam saat kereta berhenti di stasiun Hunter College. Pintu kereta itu membuka dan orang-orang langsung menyerbu masuk ke dalam kereta, mereka menempati kursi-kursi yang masih kosong hingga tidak ada lagi yang tersisa. Tiba-tiba kereta itu terasa sesak dan dipenuhi oleh para pekerja yang berharap tidak akan datang terlambat di kantor mereka. Aku melirik jam tanganku. Ini hari Selasa di bulan November. Kereta selalu padat di hari-hari sibuk seperti sekarang. Tapi itu hanya akan berlangsung selama tiga puluh menit - tiga puluh menit yang panjang. Aku sedang memerhatikan deretan rumah yang memunggungi rel ketika seorang wanita berjalan mendekatiku dan tersenyum. Ia wanita berkulit hitam yang cukup ramah. Ia menunjuk pada kursi di sebelahku dan bertanya apa ia bisa menempatinya. Aku mengangguk dan dengan cepat bergeser. Kuletakkan tas hitamku di atas pangkuan. Dia duduk nyaman di kursinya dengan sebuah tas tangan berwarna merah yang tampak kontras dengan baju juga rok putih setinggi lutut yang dikenakannya. Aku tidak terbiasa berada begitu dekat dengan orang asing, kebanyakan dari mereka selalu menghindariku. Wanita ini membuatku gugup. Aku mulai memilin jari-jariku yang terasa kaku. Kuarahkan pandanganku keluar jendela dan aku berharap udaranya tidak mencekikku. "Halo?" Aku menoleh. Tampaknya wanita ini mencoba berbicara denganku. Reaksiku tidak sesuai dengan yang diharapkannya, tapi dia terus tersenyum dan berbicara. "Namaku Caroline.. kau bisa memanggilku Caro," ia menjulurkan tangannya yang kurus. Kuraih tangan itu dengan gugup dan dengan cepat aku menariknya kembali. "Sara." "Aku rasa aku pernah melihatmu sebelumnya." "Aku selalu naik kereta, setiap pagi," kataku. Aku mencoba tersenyum, wanita itu tidak berhenti tersenyum seolah rahangnya didesain khusus seperti boneka pajangan yang selalu tersenyum. Kuperhatikan sederet giginya yang putih, kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Rambutnya dipotong pendek di atas bahu. Matanya jernih dan dia memakai wewangian yang beraroma seperti apel. Aroma yang mengingatkanku tentang kue buatan ibuku. "Ya, aku ingat aku melihatmu kemarin. Kita juga menaiki gerbong yang sama. Jadi, kemana kau akan pergi?" "Umm.. aku pergi ke jembatan Brooklyn." Caroline – atau Caro memutar bola matanya dan mengingat. "Aku tahu tempat itu, tapi aku berhenti sebelum City Hall. Apa kau bekerja di sana?" Aku bermaksud untuk mengakui apa yang kulakukan di sana, hingga pemikiran untuk berbohong terbesit dalam benakku. Aku pikir aku ingin jadi normal sekali saja. "Ya." "Dimana kau bekerja?" "Hanya bisnis kecil. Aku.." aku berusaha memikirkan sebuah tempat dan berkahir di sebuah toko kecil yang menjual perlengkapan anak. "Aku bekerja di sebuah toko mainan anak." Caro mengangguk. Ia masih terus berceloteh. "Apa kau tinggal di Pelham?" "Tidak, aku dari Lexington. Aku menempati penginapan di sana." "Oh ya, Lexington! Temanku bekerja di sana. Kami sering mengunjungi pusat kebugaran bersama-sama di sekitar sana." "Apa kau dari Pelham?" Aku mengajukan pertanyaan yang sama. Anehnya aku mendapati diriku merasa senang saat berbicara dengannya. Aku tidak ingat kapan terkahir kali aku berbicara dengan seseorang di dalam kereta. Kebanyakan dari mereka hanya menatapku heran dan menghindar, wanita ini berbeda – atau mungkin itu hanya masalah waktu sebelum dia akhirnya menjauh. "Ya. Suamiku dan aku tinggal di sana. Apa kau menikah?" Aku bermaksud untuk membuat kebohongan lain, tapi aku pikir itu tidak ada gunanya. Wanita ini masih terlalu asing dan aku tidak menceritakan tentang Tom pada orang asing. "Tidak. Aku tinggal sendirian. Sesekali adik laki-lakiku datang untuk menemaniku." "Oh aku minta maaf jika aku menyinggungmu.." Dia terlalu sensitif. "Tidak. Tidak masalah. Semua orang mempertanyakannya." "Berapa usiamu?" Tiga puluh lima? Tiga puluh empat? Bagaimana aku bisa lupa? "Tiga puluh empat." "Ini waktu yang baik untuk merencanakan pernikahan. Aku ingat saat aku masih seusiamu. Aku menikmati hidupku dan aku menikmati pekerjaanku. Aku pikir aku bisa hidup sendirian, tapi kemudian aku tahu kalau itu saja tidak cukup." "Apa kau punya anak?" "Ya, dua orang anak. Yang sulung namanya Violet dan si bungsu dia baru berusia dua tahun, suamiku memberinya nama Brian." Aku mengangguk. Benakku membayangkan Brian kecil yang manis, duduk di pangkuan ibunya. Aku pikir aku menyukai wanita ini. Aku menyukai kehidupan yang berputar di sekelilingnya: seorang suami yang mencintainya, anak-anak manis yang merengek di pangkuannya. Semua itu adalah mimpi-mimpiku dan Tom. "Kau pergi bekerja?" "Tidak, aku hanya sedang mengikuti acara bakti sosial. Selama satu pekan ini aku sangat sibuk.." dia terus berbicara dan aku senang mendengar semua ceritanya. Untuk beberapa saat aku merasa normal. "Suamiku melarangku untuk bekerja setelah aku melahirkan putra kami. Itu tahun-tahun yang berat, tapi aku akhirnya terbiasa. Bagaimanapun, keluarga menjadi yang paling utama untukku sekarang. Bagaimana denganmu? Kau bilang kau memiliki adik laki-laki?" "Ya. Dia bekerja untuk kepolisian Manhattan." "Dia menikah?" "Tidak. Belum." Wanita itu mengangguk, dia memperhatikanku untuk beberapa saat. Aku sudah menebak pertanyaan berikutnya. "Apa kau baik-baik saja? Kau tanpak pucat." "Aku baik-baik saja," aku mengepalkan tanganku. Jari-jariku menekuk di dalam sana. Aku berusaha mengatur nafasku. Kereta berhenti di setiap stasiun dan semakin lama kereta itu kembali kosong. Pandanganku berputar ke kursi di seberang, saat itu aku melihat seorang pria berdiri di dekat pintu, matanya memandang keluar. Ia sedang menunggu giliran untuk pemberhentian selanjutnya. Wajah itu tidak asing. Aku rasa aku mengingatnya. Aku memejamkan mata dan mengingat foto wajah yang sama pada papan merah di kamarku. Namanya Danny. Jantungku berdegup kencang. Aku berlama-lama ketika memandanginya hingga ketika Caroline menyentuhku, aku nyaris tersentak. "Aku minta maaf.." "Tidak apa-apa." "Aku rasa sampai di sini pertemuan kita. Well, aku harap kita bisa bertemu lagi besok." Dia sudah bangkit berdiri ketika mengatakannya. Aku hanya tersenyum kemudian melihatnya bergerak menuju pintu tepat di samping Danny. Kereta kami bergerak melambat dan berhenti di stasiun. Pintu otomatis kemudian terbuka lebar dan beberapa penumpang bergerak turun. Aku masih menatap Danny yang berjalan cepat meninggalkan jalur satu. Caroline bergerak tak jauh di sana. Saat pintu kembali menutup dan kereta itu bergerak maju, sekilas aku melihat Caroline tersenyum dan melambai ke arahku. Aku tidak membalas lambaian tangannya, tatapanku hanya tertuju pada Danny. Dia tampak resah hari ini. Aku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkannya? Ketika keretaku akhirnya meninggalkan stasiun, aku kembali pada buku catatanku. Kuraih pena kemudian aku mulai menulis nama Caroline di halaman tertanggal 7 November. Aku tidak boleh melupakannya. Aku rasa, dia bisa menjadi teman yang baik.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN