Bab 6

3270 Kata
Lexington, Manhattan, New York City Rabu, 8 November 2017    -- Paginya aku terbangun karena mendengar suara televisi di ruang tengah. Hal pertama yang menjadi pusat perhatianku adalah kalender yang menggantung dinding. Angkanya menunjukkan bahwa itu merupakan hari rabu di bulan November. Sinar mentari yang memantul lembut di lantai kayu mengatakan kalau fajar telah merangkak pergi di atas langit. Saat aku mencoba bangkit dari atas kasur, kusaksikan kekacauan yang terjadi di kamarku. Ada dua botol alkohol kosong yang dibiarkan tergeletak di atas meja. Sisanya adalah tumpukan kertas dan sampah-sampah tidak berguna. Papan merah yang menggantung dinding kini mempelihatkan lebih banyak foto dan lukisan yang menempel di sana. Aku rasa aku pernah mengalami perasaan ini sebelumnya: terbangun di pagi hari, menatap puluhan foto yang menempel di atas papan itu dan merasa kalau wajah-wajah asing dalam foto itu menatapku tajam, berusaha mengawasi setiap pergerakanku. Aku merasa malu. Kasurku berantakan, tubuhku mengeluarkan bau yang tidak sedap, aku tidak sempat merawat diri beberapa hari belakangan. Aku menatap wajah dalam foto-foto itu dalam keadaan mengantuk, kantung mata yang membengkak, lubang hitam yang menganga pada pakaianku. Kamarku berantakan. Seprainya kusut, bekas muntahan di atas lantai masih terlihat jelas, udaranya terasa panas, barang-barang diletakkan di sembarang tempat. Sisa botol alkohol, potongan kertas yang tidak berguna juga mantel hitam yang menggantung pada tiang kasur.  Lampu merah alarm yang kuletakkan di atas meja kayu menunjukkan pukul enam tiga puluh. Aku hanya punya sedikit waktu untuk bersiap sebelum pergi ke stasiun, tapi aku lebih penasaran siapa orang yang menyalakan televisi di ruang tengah. Aku nyaris berpikir kalau aku terlalu mabuk sehingga aku lupa untuk mematikan televisi semalam. Rasanya itu aneh sekali, aku tidak pernah memulai kebiasaan itu sekalipun aku tidak bisa mengingatnya. Kuseret kakiku untuk melangkah ke ruang tengah. Aku sudah bisa menebaknya – Nate sedang berdiri di meja dapur. Wanita itu memunggungiku, tapi aku menyadari kemana tatapannya tertuju. Ia meraih sejumlah pil yang berserakan di atas meja dapur, mengumpulkannya dengan cepat kemudian memasukkannya kembali ke dalam botol kecil bertuliskan asenapine. Ketika mendengar derap langkah kakiku yang bergerak mendekat, Nate berbalik. Rupanya ia tidak hanya menggenggam botol obatku, namun juga botol anggur yang masih tersisa. Kurasakan hawa panas menjalar naik hingga ke wajahku. Ia mengangkat botol itu kemudian mentapku lama. Tampilanku kacau, ini tidak berarti baik. “Kau mabuk lagi, Sara.” “Aku minta maaf.. aku bisa menjelaskan ini,” anehnya aku merasa kalau aku telah mengulangi kalimat yang sama di hadapannya puluhan kali. “Bagaimana jika kukatakan ini pada Nick?” Wanita itu menantangku. Kedua tangannya bertolak pinggang. Satu alisnya kini terangkat dan aku bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya. Nate tidak pernah benar-benar serius dengan ucapannya. Aku tidak ingat, aku hanya merasa begitu. “Tidak, jangan, tolong. Dia tidak perlu tahu hal ini.” “Aku mengetuk pintumu semalam. Kau tidak menjawab penggilanku dan Nick menghubungiku berkali-kali. Dia menanyakanmu. Kenapa kau tidak menghubunginya balik?” Aku tahu, pada akhirnya dia hanya berharap aku melakukan apa yang harus kulakukan. Tidak ada orang yang benar-benar peduli apa yang ingin kulakukan - tidak ada orang yang peduli apa yang 'ingin' dilakukan orang gila. "Aku akan menghubunginya," ketika aku mengatakannya, aku sudah membalikkan badan. Aku melangkah mendekati lemari pendingin dan berhenti ketika melihat catatan kecil yang menempel di sana. Aku menyembunyikan catatan itu begitu aku mendengar langkah kaki Nate saat ia berjalan mendekatiku. Sebelum ia sampai di belakangku, ponselnya lebih dulu berbunyi. Aku menunggu. Nate sedang menerima panggilan telepon yang masuk ketika aku membaca catatan itu sekali lagi. Disana tertulis sebuah alamat dan nama Nicole Bennet alias Nicole Walker di bawahnya. Aku sedang berusaha mengingat-ingat begitu suara Nate muncul dari seberang. Ia sudah mencapai pintu saat aku membalikkan tubuh. "Itu Cole. Aku harus pergi. Apa kau mau berjanji untuk menghubungi Nick?" Aku tidak segera menjawab. Aku sedang mengingat-ingat siapa Cole. Mungkin pacar Nate. Aku tidak yakin. "Sara?" Aku mengangguk. Dia merasa puas, kemudian menghilang pergi di balik pintu. Aku merasa lega. Dengan cepat aku bergegas meninggalkan dapur dan pergi untuk bersiap. Aku rasa aku tahu kemana tujuanku hari ini.   ***    Nicole Bennett menempati rumah nomor dua puluh satu di antara deretan perumahan yang berjejer pada sepanjang jalur menuju pusat kota Manhattan. Aku berhenti di stasiun Manhattan pagi sekitar pukul sembilan. Kereta datang terlambat hari ini. Kesibukan di kota terasa semakin padat. Puluhan orang yang berdiri di gerbong yang sama nyaris membuatku sesak. Aku menunggu giliran untuk turun. Orang-orang memandangku dengan aneh. Ketika aku akhirnya berhasil keluar dari gerbong itu, aku merasa seolah udara kembali mengisi paru-paruku. Kusaksikan sejumlah orang yang berada di stasiun yang sama. Mereka berjalan terburu-buru mencapai pintu keluar. Aku menundukkan kepala, menghitung langkah kakiku dan bergerak cepat mengikuti arus para penumpang yang berbondong-bondong menaiki tangga. Udara di bulan November terasa panas. Sisa-sisa musim gugur terlihat di setiap sudut tempat: dedaunan kering yang berjatuhan, aroma tanah yang masih basah, atmosfer yang terasa lembab dan kesibukan kita. Ini adalah kali pertama aku berhenti di stasiun Manhattan. Aku tidak mengenal jalanan di sekitar sini dengan baik, tapi ada beberapa papan penunjuk jalan yang mengarahkanku untuk sampai di perumahan yang ditempati Nicole. Aku berjalan dengan tujuan hari ini. Selama beberapa menit yang menegangkan, aku berjalan cepat melewati deretan toko peralatan, dan bangunan-bangunan tinggi. Belasan pejalan kaki terlihat sedang menunggu giliran untuk menyeberang jalan. Lalu lintasnya tidak kalah padat seperti di City Hall. Asap kopi yang berbau harum dari sebuah kedai, tercium di sepanjang jalan dan berakhir di tikungan yang mengarah ke gang sempit di antara dua bangunan bertingkat. Aku menatap ke jalanan beraspal, menjaga langkahku tetap seimbang. Bot hitamku menimbulkan suara berdesik di trotoar jalan. Tas dan kameraku mengayun di kedua sisi bahu sementara itu, jalanan sempit yang gelap menanti di depanku. Seorang pemuda dengan jaket biru dan topi bisbol yang melingkari kepalanya baru saja keluar dari dalam sana. Ia memandangiku sekilas kemudian bergerak cepat dan menghilang ditelan keramaian kota. Aku menatap jam tangan yang menunjukkan pukul sembilan lima belas. Kulangkahkan kakiku tanpa ragu ketika memasuki gang itu. Tubuhku sedikit gentar ketika aku mendengar suara berdecit tikus dan dengungan suara-suara dari bangunan sebelah. Jalur di gang sempit itu ternyata lebih panjang dari dugaanku. Aku menatap ke depan, aku harus berjalan sekitar seratus meter lagi untuk menemukan udara segar. Suara derap langkah kaki seseorang di belakang membuatku bergidik ketakutan, suara-suara tawa kemudian muncul dari arah depan. Tiga orang anak muda berlari melintasi gang itu, salah seorang dari mereka nyaris menabrakku. Kemudian, seseorang dari belakang menyikut bahuku. Ia tidak berbalik untuk sekadar meminta maaf, pria itu terus melangkah melewatiku dan berjalan cepat untuk keluar dari gang sempit itu. Aku nyaris menabrak tong karena tidak memerhatikan langkahku. Samar-samar aku mendengar suara pekikan yang tertahan dari arah depan. Kusadari dua orang wanita sedang menatapku, aku bisa melihat kilat jahil di mata mereka. Aku tahu mereka sedang menertawaiku. Aku mempercepat langkah. Udara di sekitar sana berbau busuk. Bau urine tercium tajam, sampah-sampah bertebaran dimana-mana. Sebuah kaca jendela kusam yang tampak retak, juga pintu kayu yang tak terpakai, dibuang secara sembarang. Sisa-sisa genangan air yang kotor mengisi lubang-lubang di jalanan. Kulangkahkan kakiku lebih cepat. Aku menghitung, berapa banyak lubang di jalanan yang telah aku lalui. Aku berusaha mengalihkan perhatianku dari rasa mual yang kualami. Ketika panasnya semakin tak tertahankan, aku nyaris berlari untuk keluar dari gang itu. Sebelum aku menyadarinya, sinar lembut mentari menerpa wajahku. Aku seolah ikut merasakan pori-poriku kembali bernafas lega. Jalanan yang membentang di hadapanku luas dan kosong. Deretan pohon berjejer membentuk jalur panjang dan ada sebuah jembatan di dekat sana yang mengarah ke perumahan di blok A. Mataku menatap jejeran bangunan dua lantai bercat putih. Pohon-pohon tinggi menyelubungi halaman depan dan bagian pekarangan. Jendela-jendela yang terbuka menyingkap sebuah ruangan luas di balik tirai yang bergerak-gerak tertiup angin. Aku membayangkan Nicole berdiri di belakang jendela itu. Ia menggendong seorang bayi laki-laki berambut pirang di tangannya. Bayi itu sedang menangis, Nicole mengayunkan tubuhnya, berusaha menenangkannya. Kemudian Tom muncul di belakang mereka. Ia mencium Nicole tepat di keningnya dan tersenyum ke arah bayi laki-laki mereka yang diberi nama Micah. Secara tiba-tiba, kepalaku terasa berdenyut-denyut. Rahangku mengeras dan jari-jariku bergetar. Aku berusaha keras mengenyahkan bayangan itu dari kepalaku. Aku tidak ingin mengingatnya sedikitpun. Kulangkahkan kakiku menyusuri jalur panjang dan jembatan yang membatasi daerah perumahan dengan jalanan lepas. Pagar kayu setinggi dua meter mengelilingi rumah mewah itu. Aku melihat halaman depannya yang luas. Dua mobil bermerk freed dan civic terparkir di sana. Tepat di dinding bagian depan, aku melihat nomor rumah bertuliskan A11 yang dicetak dengan huruf timbul. Kemudian, di bawahnya terdapat papan bertuliskan Walker Resident. Nicole tinggal di dalam bangunan mewah bertingkat itu. Ia telah memiliki seorang bayi laki-laki dan suami yang mencintainya. Aku mengenal Nicole cukup baik, George adalah seseorang yang diinginkannnya, tipe laki-laki yang memiliki segalanya: harta dan kekuasaan. Itu sekaligus menjadi alasan Tom menjauhi Nicole, gadis palsu yang menjelma sebagai sahabatku. Aku juga membenci Nicole, aku iri dengan kehidupan yang berputar di sekelilingnya – aku merasa bersalah padanya. Seorang pria keluar dari pintu depan ketika aku bergerak mendekati pagar. Pria itu memiliki tinggi sekitar seratus delapan puluh sembilan senti meter – nyaris terlalu tinggi, bertubuh ramping, dengan tampilan yang klimis dan cambang yang dicukur habis. Warna rambutnya yang sedikit hitam dengan semburat abu-abu tampak sedikit berbeda dari apa yang kulihat dalam surat kabar itu. Ia terlihat lebih tampan – juga lebih tua. Seorang wanita yang mengekor di belakang hanya setinggi bahunya. Wanita berambut pirang itu memiliki wajah pucat tanpa riasan, tubuhnya sedikit gemuk, ia mengenakan kaus berlengan panjang warna putih dan terusan jins yang mengepas di kakinya. Wajahnya terlihat kelelahan, ia seolah berharap pria itu pergi dengan cepat. Wanita itu adalah Nicole. Aku menatapnya dari kejauhan, melihat begitu banyak perubahan yang terjadi pada dirinya. Dia bukan lagi wanita cantik bertubuh langsing. Wajahnya pucat pasi tanpa riasan. Nyaris tidak ada senyum yang mengambang di wajahnya. Rambutnya tidak lagi ditata sedemikian indah, ia tampil apa adanya dan terlihat sangat kelelahan. Aku sempat berpikir untuk mendekatinya saat itu, namun aku menahan diriku. Aku masih berdiri di belakang semak setinggi pinggulku ketika melihat Nick membimbing pria itu, George Walker, hingga sampai di halaman depan. Sang suami tersenyum ke arah istrinya, ia menunduk untuk memberi ciuman di bibir sang istri. Ekspresi Nicole seolah mengatakan kalau ia seakan berharap basa-basi itu berlangsung dengan cepat. Senyum yang diulas Nicole tampak dipaksakan. Ia menunggu di depan teras sementara suaminya berjalan masuk ke dalam civic berwarna putih, kemudian mengendarai mobilnya meninggalkan halaman rumah dengan cepat. Aku keluar dari tempat persembunyianku saat mobil itu telah bergerak menjauh. Kulangkahkan kakiku lebih dekat ke arah pagar. Dari tempatku berdiri, aku menyaksikan wajah Nic yang tampak resah. Ekspresi semrawutnya, juga rasa lega setelah kepergian sang suami. Nic berjalan mendekati meja bundar kecil dan dua kursi kayu di dekat teras. Ia meraih piring kosong yang digeletakkan di sana sebelum matanya menangkap kehadiranku. Aku berdiri dengan gentar di samping pagar kayu itu karena tampaknya bukan hanya aku, tapi Nic juga terlihat begitu terguncang saat menatapku. Ia membiarkan piring kosong itu tergeletak di sana. Wajahnya memerah dan sekujur tubuhnya menjadi tegang. Ketika aku berpikir  Nic akan menyapaku seperti yang selalu dilakukannya dulu, ia justru berbalik ke arah pintu, berniat meninggalkanku hingga aku menghentikan langkahnya. “Nicole! Nicole!” Kulangkahkan kakiku melewati pembatas pagar kayu itu. Nic langsung berbalik, ia mengayunkan satu lengannya untuk menghentikanku. Kini ketika aku hanya berjarak beberapa meter darinya, aku melihat sepasang bola mata biru cerah itu mengecamku: seolah aku adalah penyebab seluruh kekacauan yang terjadi di dunia. “Tidak, jangan! Jangan coba-coba kau menginjakkan kaki disini!” Aku tidak mengindahkan kata-kata terakhirnya. Kurasakan jantungku meletup-letup saat berbicara dengannya. Ini adalah pertemuan kami setelah belasan tahun lamanya, dan aku merasa begitu takut – di sisi lain begitu b*******h saat berbicara dengannya. Aku ingat lukisan Bob, Bill, dan Marie di kamarku dan aku melihat Nic sebagai Bill. Kami pernah tertawa bersama-sama – sebelum Tom memutuskan Nic – sebelum aku merebut Tom dari Nicole, sahabatku. “Kau masih mengingatku?” aku mengajukan pertanyaan bodoh lain, tapi aku tidak mabuk hari ini. Aku sadar sepenuhnya dan aku benar-benar berbicara dengan Nicole. Kuperhatikan saat kedua mata besar itu menyapu penampilanku. Ada perasaan kesal dan jijik yang terlukis jelas di sana. Meskipun begitu, aku tidak mengurung niatku seikitpun. Aku benar-benar berharap dapat berbicara dengannya. “Aku Sara. Dulu kita bersahabat. Kau ingat?” kata-kata itu bergetar saat keluar dari bibirku. Aku bisa merasakan ketegangan yang hadir di antara kami saat Nic mengernyitkan dahinya. “Tentu saja aku ingat. Dan aku juga mengingat Tom.. kalian.” Ekspresiku yang keras kini melunak. Aku bergerak maju mendekatinya hingga ia meneriakiku lagi. “Jangan mendekat! Aku benar-benar tidak ingin melihat wajahmu, wajah berengsekmu itu!” Liurku tertahan di tenggorokan. Aku berusaha keras untuk mengabaikan kata-kata terakhirnya. “Aku melihatmu di surat kabar. Aku.. aku membaca harian Times dan.. dan aku melihat foto pernikahanmu dengan George Walker. Kau.. kau terlihat cantik. Maksudku.. kalian pasangan yang serasi.” Aku bicara melantur. Nic tampak tidak tersanjung sedikitpun oleh pujian itu. Dia masih menyipitkan kedua matanya ke arahku seolah sedang menilai. “Apa yang kau inginkan Sara?” “Aku hanya.. aku.. aku ingin bicara denganmu. Aku melihat wajah bayimu di surat kabar. Aku ingin tahu siapa namanya?” Sekarang dia menatapku dengan takut. Aku tahu apa yang sedang dipikirkannya, aku bisa melihatnya dengan jelas. Aku tidak bermaksud menakutikunya, aku hanya ingin Nic berbicara denganku. Aku merindukan masa-masa ketika kami masih bersama-sama dan tertawa keras. “Apa kau mabuk?” “Tidak, aku..” aku tertegun, bingung untuk memilih jawaban yang tepat. Jari-jariku saling bertaut, bibirku bergetar. Aku butuh alkohol. “Aku hanya.. aku..” “Hentikan saja, oke? Menjauhlah dari rumahku dan jangan pernah memunculkan wajahmu lagi! Aku serius, Sara. Sebaiknya kau pergi!” “Tidak, tidak, tidak, tolong.. tolong..” kusaksikan ketika Nic berjalan masuk ke dalam rumah dan membanting pintu di depan wajahku. Aku menunggu selama beberapa saat, berharap ia akan membuka pintu itu lagi dan mempersilakanku masuk untuk berbicara. Aku harap dia membiarkan aku melihat bayi laki-lakinya yang menggemaskan. Aku harap dia ingin mendengar ceritaku tentang Tom, tentang berapa banyak perubahan yang telah kami buat. Nyatanya itu tidak terjadi. Kedua mataku telah berair ketika aku melangahkan kakiku meninggalkan halaman depan rumah itu. Pikiranku kalut dan aku kebingunan. Aku duduk di bar selama berjam-jam sembari menikmati anggurku dan memikirkan Nicole. Tanpa sadar, langit gelap telah menggantung di balik jendela bar itu. Aku menyaksikan belasan orang yang memadati tempat itu. Dua orang pelayan tampak sibuk menyediakan pesanan kopi dan bir untuk sejumlah pelanggan yang mengantre. Sementara itu, lampu-lampu kecil menggantung di atas kepalaku, cahayanya tampak buram dan berbayang. Rasa pening di kepalaku mereda, tapi kekecewaanku masih tersisa. Aku menatap cairan keemasan pada gelas di tanganku, berusaha mengingat berapa banyak yang telah kuteguk. Ingatan tentang Nicole berputar-putar di kepalaku. Ponsel di sakuku bergetar. Ini bukan yang pertama, tapi aku tidak bisa mengingat sudah berapakali ponsel itu bergetar sejak aku meninggalkan kediaman Nicole. Panggilan itu pasti dari Nick, atau Nate. Hanya mereka yang memiliki waktu luang untuk menghubungiku. Aku memilih untuk mengabaikannya. Malam ini aku hanya ingin ditemani oleh alkohol, belasan pengunjung di kafe juga pengingat tentang Nic, sahabatku. Ingatan itu seolah menggantung di atas kepalaku: aku, Nic dan Tom berjalan bersama-sama di sebuah pesta. Nicole dengan tampilannya yang glamour telah menjadi bintang dalam acara sosial di sekolah kami saat itu. Ia begitu menikmati perannya, ketenarannya dan setiap perhatian yang tertuju padanya hingga dia tidak begitu peduli tentang apa yang terjadi padaku dan Tom. Aku ingat ketika Tom menarik tanganku dan membawaku menjauhi sumber pesta itu. Aku ingat Nic yang dihujani oleh sejumlah perhatian, ia menebar senyum di sepanjang pesta dan disibukkan dengan obrolan sementara Tom mengajakku berkeliling. Aku merasa bersalah, tapi juga b*******h. Kegembiraanku meletup-letup ketika Tom mengungkapkan perasaannya padaku dan mengatakan keinginannya untuk berpisah dengan Nic. Aku tahu itu yang akan dikatakannya. Aku semakin merasa bersalah karena merasa senang ketika akhirnya mendengar kabar keretakan hubungan mereka. Yang membuatku malu, aku berpacaran dengan Tom selang satu minggu setelah Tom memutuskan hubungannya dengan sahabatku. Nic membenciku dan sejak saat itu dia tidak pernah berbicara denganku. Aku ingat ketika aku mengiriminya beberapa surel, namun tidak satupun dari pesanku yang ditanggapinya. Aku tahu bahwa itu adalah akhir dari persahabatan kami. Kemudian aku melihatnya hari ini. Aku melihat Nic yang putus asa. Dia tidak terlihat begitu bahagia seperti apa yang kulihat dalam foto-foto pernikahannya. Kusadari kalau terjadi sesuatu pada Nic. Kusadari bahwa sahabatku telah berubah. Dia tidak lagi seperti Nicole yang kukenal: wanita ceria yang menyukai publisitas. Aku tidak melihat senyum cerahnya hari ini. Semua tampak berbeda. Kemudian, semuanya menjadi kacau saat dia mengusirku. Nic tidak ingin berbicara denganku. Aku bisa menerima fakta bahwa Annate, Jane atau Danny tidak ingin berbicara denganku. Aku bisa menerimanya dengan mudah dan tetap menjalani keseharianku seakan penolakan mereka tidak begitu berarti. Tapi Nic – dia sahabatku dan kini dia menjadi orang nomor satu yang berharap aku enyah dari kehidupannya. Aku merasa kalut. Untuk kesekian kalinya, kuangkat gelas anggur itu ke bibirku kusesap minumanku dari sana. Rasa panas membakar tenggorokanku. Kepalaku terasa pening, pandanganku kabur. Aku merasa goyah. Dalam bayang-bayang yang buram, aku melihat seseorang berjalan menghampiriku. Kedua tangannya yang besar mengayun di kedua sisi tubuhnya. Dia berhenti tepat di depanku. Mulutnya bergerak mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa menangkap maksud ucapannya dengan jelas. Aku bangkit berdiri, kurasakan kakiku goyah dan tubuhku limbung. Aku nyaris jatuh di atas lantai itu. Orang ini bermaksud membantuku. Ia meraih lenganku, tapi aku segera menepisnya. Aku berjalan cepat keluar dari pintu. Aku merasa sesak. Dua orang lain bergerak mendekatiku. Mereka menghimpitku. Aku melangkah mundur saat menyaksikan tangan-tangan panjang itu berusaha meraihku. Aku tersentak jatuh. Kurasakan pening di kepalaku kian menjadi-jadi. Aku berteriak. Ketika aku tidak bisa menahannya lagi, aku meraih botol kosong di meja dan melemparnya ke dinding. Suara berderak saat serpihan keramik yang jatuh di lantai kayu itu membuat seluruh perhatian tertuju padaku. Tiga pria itu akhirnya menjauh. Seorang pelayan sedang berjalan menghampiriku ketika aku bergerak cepat menuju pintu keluar. Awan gelap yang menyelubungi langit malam menjadi background dari gemerlap kota. Aku menyaksikan mobil-mobil berjejer di jalanan dan dahan-dahan pohon yang melambai ke arahku saat tertiup angin. Cahaya dari lampu jalanan berpendar di sekitarku, cahayanya menerangi jalur di blok D. Aku melihat kepulan asap dari pabrik kue, bangunan bertingkat yang menghimpit jalanan dan lubang-lubang yang menganga di bawah kakiku. Aku berjalan tersohok-sohok ketika melewati deretan bangunan bertingkat itu. Kusadari orang-orang yang berlalu lalang mulai menatapku heran. Aku mempercepat langkahku. Kamera dan tasku masih mengayun di atas bahu. Aku mencari papan penunjuk arah. Aku harus tiba di stasiun lebih cepat. Lebih cepat. Lebih cepat. Aku nyaris terjatuh ketika menaiki tangga. Tanganku berpegangan pada susuran kayu. Aku mendesis saat lututku membentur permukaan besi. Benturannya cukup keras hingga aku bisa merasakan lukanya akan membiru. Mantelku terasa sesak, udaranya mencekik. Aku melepas syal yang melilit leherku. Melemparnya ke sembarang arah. Aku semakin dekat. Aku melihat papan yang bertuliskan stasiun Manhattan. Orang-orang berjalan cepat mendahuluiku ketika menuruni tangga dan masuk ke stasiun itu. Tanganku menggenggam susuran tangga dengan kuat, aku berusaha menjaga langkahku tidak goyah. Ketika aku berhasil masuk, aku beringsut ke dinding. Dari kejauhan, seorang petugas yang berjaga sedang mengawasiku. Aku merosot di dinding itu. Kurasakan tanganku bergetar saat aku mencari obat yang kuletakkan di dalam tas. Aku tidak berhasil menemukan obat itu. Aku merasa udaranya akan mencekikku. Yang kusadari, aku bangkit berdiri. Aku menabrak seseorang dan aku mendengar suara teriakan. Tubuhku bergerak-gerak dengan gelisah. Aku melempar tas dan kameraku, menutup daun telingaku dengan kedua tangan, merasa tertusuk setiap kali mendengar suara-suara itu. Kudengar keributan yang seketika muncul di sana. Aku menjadi semakin kacau saat belasan kamera orang-orang menyorot wajahku. Cahaya kecil putih yang berkedip dari beberapa kamera itu menggangguku, membuatku menggila. Selanjutnya, aku tidak bisa mengingat apa yang kulakukan.   -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN