Jari jemariku secara tidak sadar perlahan terangkat, noda cat yang belum mengering sempurna itu kuusapkan pada wajah si pemuda yang entah sejak kapan terasa tidak lagi asing dalam teriorial hidupku yang serba kubatasi. Jemariku dengan bebasnya menelusuri garis wajah pemuda itu dengan sebuah kekhidmatan sendiri. Akibatnya wajah tampan pria itu sekali lagi kusisakan noda dalam setiap jejak yang kubuat. Sentuhan yang seringan kupu-kupu ini, sialnya malah bermetamorfosa menjadi sesuatu yang lebih intens lagi. Kedua tanganku menangkup rahang tegas Adrien. Dan sekali lagi kubawa dia dalam sebuah metafora kecil dengan mengusap-usap permukan kulitnya yang nyaris tanpa cela dengan ibu jariku. Pria ini memiliki kulit yang lebih pucat dibanding siapapun yang pernah aku temui. Bahkan kulitku lebih gelap dari pada dirinya. Rasanya sedikit lucu.
Dan kini usapanku pada wajahnya sepertinya mencipta sekaligus mendobrak rasa hangat dan nyaman yang membuncah. Ekspresi wajah Adrien mudah terbaca. Dia terlampau pandai mengekspresikan perasaannya, hingga tanpa bicara saja aku mampu untuk menafsirkannya. Dan mungkin karena sebab inilah aku memilih dia menjadi sekutu dalam project yang sedang aku tangani walau hingga kini masih buntu. Kurasa dirinya sudah terlarut sekarang sebab kedua matanya terpejam erat. Seolah segala sentuhan yang aku berikan untuknya membawa afeksi penuh. Sentuhan yang sepertinya memiliki daya magis untuk menenangkan jiwa dan juga raganya. Aku tahu ini sedikit berlebihan untuk menafsirkan demikian. Namun kurasa ekspresi wajah yang dibuat memang berkata seperti itu.
Melihat Adrien yang menikmati sentuhan dariku, mau tak mau sudut bibirku tanpa sadar mengurva sendiri. Hasrat yang aku miliki tiba-tiba saja memberontak, mendobrak akal sehat. Hingga pada akhirnya aku tak kuasa membenturkan bibirku sendiri pada bibir lelaki itu. mencari kontak sebanyak yang aku bisa. Bahkan aku yang serakah menginginkan segalanya. Bibirku mengklaim kuasa atas bibir Adrien. Satu tanganku memegang dagunya, sementara satu tangan yang lain melingkar apik pada leher si pemilik netra abu kelabu itu sebagai pegangan agar aku tetap tidak kehilangan keseimbangan. Sebab kakiku melemas layaknya jelly gara-gara aksi brutalku ini.
Adrien yang memang pada dasarnya mahir, menyambut stimulus dengan apik. Respon pemuda itu juga sangatlah cepat. pegangannya pada pinggulku secara spontan mengerat lebih. Ia bahkan memiringkan kepalanya sendiri penuh inisiatif, agar dapat memberiku ruang untuk menjamah bibirnya lebih dalam lagi. Karena dia membakarku, maka aku tidak punya pilihan untuk menyambut itu sebagai sebuah tantangan. Responku antusias sebagai balasan. Mengajaknya untuk semakin merapat dan beradu. Saling mengejar, menjelajah setiap rasa yang aku temukan dalam dirinya. Bibir kami yang bertaut mesra ini bahkan rasanya belum cukup. Semua komponen yang ada kami mainkan dalam sebuah simfoni, menyapu permukaan bibir satu sama lain.
Kedua tanganku merambat, dari lengan menuju bahu hingga sampai pada surai pemuda itu. surainya teramat lembut layaknya satin, begitu terasa pada setiap sela jemari. Pemuda itu lantas membalasnya dengan mencengkram kedua sisi tubuhku, menariknya semakin dekat lagi hingga hanya terasa d**a dengan d**a kami yang saling bersentuhan. Aku sempat khawatir sebetulnya dengan posisi kami yang berada dalam rawan bahaya. Pria itu akan dengan mudah merasakan debar jantungku yang bertalu-talu. Dan menurutku itu cukup memalukan untuk dapat aku akui.
Kini aku merasakan bila ciuman kami sudah semakin menggila. Kedua kakiku semakin melemah, seiring dengan napas dan oksigen yang menjerit untuk segera dipenuhi. Lututku makin nampak tak kuat lagi untuk menopang dengan gempuran sensasi menggelitik. Maka dalam satu gerakan dengan sisa tenaga yang aku punya kurasa hal ini harus segera diakhiri sebelum aku benar-benar kehilangan akal sehatku sendiri. Tapi bukannya aku berbuat demikian, aku justru malah mendorongnya hingga dia berbaring diatas lantai kayu yang dingin dalam posisi tubuhku yang mengurungnya ditempat.
Tautan kami baru terpisah ketika paru-paruku akhirnya sudah sekarat, memaksa kami berdua untuk sejenak mengambil jeda. Meraup udara sebanyak-banyaknya.
“Apa kau…” suara serak pemuda itu mengudara diantara deru napasnya yang menderita. Aku tidak habis pikir secerwet itu dirinya sampai memaksakan diri bicara saat dirinya sendiri terlalu lelah. Sial, dia terlalu imut untuk bisa aku abaikan. “Apa kau mau bila kita—”
“Ya,” tanpa tedeng aling-aling kubalas dia tanpa keraguan, menyatukan dahiku dan dahi pemuda itu. berbagi hangat dan sentuhan. Aku tahu ini adalah kedunguan luar biasa yang aku lakukan, meski hal ini bukan untuk yang pertama kalinya. Ya, aku memang terkadang segila ini. persetan dengan perjanjian kami bahwa tidak ada s*x diantara kami. Aku tidak bisa menolak godaan yang datang padaku dengan cara seperti ini. Tuhan… aku merasa menjadi seorang p*****r yang terlalu mudah menyerahkan diriku pada seorang pria. meski aku memang bukan seorang perempuan yang masuk dalam kategori suci. Tapi bukankah prilaku ini bisa kusebut sebagai perilaku perempuan rendahan? Murahan? “Ya, lakukan saja,” dan kebodohan ini semakin kugali lebih dalam sebab aku justru dengan percaya dirinya mengundang pemuda itu untuk berbuat lebih. Aku membuat batas diantara kami tidak lagi berada pada garis yang semestinya ada. Aku membuangnya.
Apa mau dikata. Nafsu sudah terlanjur membutakan logika.
Aku tahu bahwa Adrien mengerti. Sangat mengerti akan apa yang aku katakan tanpa perlu kuperjelas lebih dalam lagi.
Detik setelah kukatakan deklarasi itu, aku bisa merasakan bahwa laki-laki itu kembali melakukan pergerakan untuk menawanku. Bersamaan dengan fabrik celana pendekku yang tersibak mudah tanpa aku ketahui bagaimana cara dia melepasnya sebegitu mudah. Mengekspos dengan cepat kakiku. Lalu tanpa perlu menunggu lagi kedua tangan familiar itu merambat, menelusuri setiap bagian kulit yang bisa ia jamah. Sial, tidak kusangka bila dia seahli ini.
Pelan tapi pasti, kedua pakaian kami mulai dilucuti, satu persatu memenuhi lantai yang kotor oleh perbuatan kami sebelumnya.
Aku bisa merasakan bahwa hawa disekitar kami berdua semakin memanas secara drastic. Pun dengan suhu tubuh kami yang makin meninggi sebab berbagi kontak, dari kulit ke kulit secara bebas tanpa penghalang. Sebab sejak awal Adrien memang tidak mengenakan atasan.
Adrien mengerang tertahan di mulutku, ketika aku memainkan tanganku pada dadanya dan turun kebawah sana. Tentu saja dengan sebuah gerakan yang seduktif, menelusuri dan menjelajahi secara intens jajaran abs yang menghias perut porselen pria ini. kumainkan berlama-lama hingga binar mata itu hanya mampu mengekspresikan gregetan setiap kali aku hanya bermain-main dengan tubuhnya. Dia terlihat pasrah, dan juga nelangsa. Anehnya aku merasa semakin terhibur oleh setiap mimik wajah yang dia buat. Bahkan ketika kedua tanganku kembali naik, berpindah untuk merasakan bisep Adrien yang kokoh dan juga tegas. Meremasnya dengan penuh apresiasi.
“Zelda… hentikan ini sudah keterlaluan aku tidak— hahh…”
Aku memotong ujaranya dengan sebuah eksperimen jahil. Yakni membawa alat lukisku ikut berpartisipasi dalam permainan ini. Menulusuri d**a telanjangnya dengan koas yang masih kering. Menggelitik area-area sensitive pemuda itu hingga sekali lagi dia cuma bisa mengerang. Tubuhnya melengkung, seketika dia kehilangan dirinya sendiri untuk bisa dikendalikan sesuka hati.
Aku melirik, dibawah sana sepertinya sudah cukup tersiksa sebab tak kujamah sama sekali. Tapi melihat ada sedikit cairan yang nampak. Pria ini sepertinya sudah berada dalam puncak gairah tertingginya. Aku merasa telah menang dan ingin sekali kuakhiri permainan sepihak ini. namun belum sempat aku bergerak untuk pergi, tidak kuduga pria ini mengambil alih kendali. Tautan bibir sekali lagi terjalin, namun kali ini dengan sedikit paksaan. Pria itu sepertinya hendak memunculkan sisi d******i dan membalik posisi kami. Dia berbalik dan menindih tubuhku dibawah raganya. Gerakan itu sangatlah tiba-tiba, karena aku bahkan tidak sadar bahwa posisi kami sudah tertukar dengan kedua tangan pria itu memerangkapku.
Tanpa sadar kuberi dia respon berupa erangan rendah, terlampau kaget atas situasi kami yang berputar terlalu cepat. Lalu pria itu membungkamku lagi tanpa memberikanku sedikitpun kesempatan untuk dapat mengakses pasokan udara untuk masuk kedalam tubuhku dengan leluasa. Pria itu dengan seenak jidatnya melesakan lidahnya sendiri kedalam rongga mulutku. Meringsuk, bertingkah layaknya sang pengelana yang menelusuri dan menjelajahi isinya. Berkat gerakan liarnya aku tidak berdaya, dan hanya dapat mendesahkan napas dalam buih-buih yang menghipnotis layaknya ekstasi.
Tapi tentu saja aku tidak bisa memungkiri bahwa diam-diam aku menyukai ini.
Aku suka pada Adrien yang memperjelas situasi kami dengan agresifitasnya. Setelah kutahu dia sehari-hari selalu berpembawaan santai.
Dan kurasa moment langka ini hanya bisa aku dapati bila aku dan Adrien masuk lebih dalam kedalam lembah nista. Melanggar batas dari perjanjian kami berdua. Diantara napas memburu, ceceran pakaianku yang entah dimana berada, suhu ruangan yang dua kali lipat lebih panas. Setidaknya hal ini cukup menjadikannya sebagai momentum pelanggaran. Ya, pelanggaran yang sialnya justru malah diam-diam aku nantikan dari pemuda ini.
Meskipun ini bukanlah kali pertama aku melakukannya dengan seorang pria. jadi bukan masalah seharusnya. Aku memang memiliki masalah dengan caraku mengekspresikan diri bila tidak melalui lukisan. Namun hal itu tidak menghapus fakta bahwa aku juga seorang manusia yang memiliki naluri meskipun itu kerap sulit untuk dapat dipahami oleh individu yang lainnya. Untuk urusan memenuhi dan memuaskan birahi aku cukup mengerti. Aku sudah cukup ahli untuk itu sebab beberapa kali aku bahkan melakukannya untuk mempermudah diriku melukis. Sebuah cara seduktif yang terbilang gila memang hanya untuk meraih sebuah informasi yang tidak aku bisa dapatkan bila hanya dari berbicara, atau sekadar dari sebuah sentuhan ringan. Seks yang aku lakukan memang semata-mata hanya untuk kepentingan karyaku dan sedikit berkontribusi pada kepuasan biologisku juga. Meski selalu hasilnya sama ketika dilakukan. Tanpa rasa. Kosong tidak berarti, tidak bermakna apa-apa.
Tapi kali ini anehnya ada yang sedikit berbeda.
Dengan Adrien… semua yang aku cari seolah kudapati. Dan percikan rasa ini tidak bisa kukendalikan semauku. Ini seperti sesuatu yang aku cari. Sadar bahwa aku mendapati apa yang aku inginkan. Sekali lagi aku bergerak, membuat posisi kami berbalik lagi. Aku membuat pria itu terlentang di atas lantai studioku. Pria yang akhir-akhir ini selalu menjadi objek daripada kanvas kosongku. Dia terlihat tidak berdaya dibawah teritorialku. Setengah polos. Bagian atas tubuhnya yang terbuka tanpa terhalang apapun juga memberiku sebuah godaan yang tidak bisa aku indahkan begitu saja.
Pemuda itu seolah memberiku izinnya untuk menikmati keindahan yang hanya dia saja yang memilikinya dari ujung kepala hingga kaki. Dengan helai-helai rambut gondrongnya yang menyebar kesana kemari. Ia terlihat seperti jelmaan dari mahluk mitologi. Dewa tampan.
“Boleh aku mewarnaimu?” tanyaku lamat-lamat. Ketika cukup lama aku tertegun atas keindahan tubuhnya. Yang tersisa saat ini hanyalah napas kami yang memburu, dan benang saliva yang terputus atas kegilaan yang Adrien buat beberapa saat lalu karena berani menjadi sang dominan.
“Apa?” alis pemuda itu terangkat, namun ketika aku mengangkat kedua tanganku yang ternoda cat yang sudah mulai mengerti, pemuda itu sepertinya paham akan mauku. Maka dia menganggukan kepalanya pasrah, dengan kedua pipinya yang berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikan semburat kemerahan yang diamataku sungguh sangat imut tentunya. Pemandangan yang menggodaku untuk menarik senyumku sendiri.
Aku bangkit dari tubuhnya, aku bisa mendengar Adrien sedikit melengguh lantaran aku beranjak dari tubuhnya. Membuat pria itu merasakan bagaimana kehilangan hangat tubuhku untuk beberapa saat. Dia hanya melihatku ketika aku membawa pallete cat ku dekat dengan dirinya, lalu dengan santai kucelupkan tanganku sendiri pada warna-warna yang telah aku buat sebelumnya. Aku melirik kearahnya sebentar dan kudapati pandangan matanya yang gugup namun penuh antisipasi.
Dia sudah sadar sepenuhnya akan apa yang aku lakukan terhadapnya. Ya, kali ini aku ingin menjadikan tubuhnya sebagai canvas hidupku. sebab dimataku saat ini permukaan kulit Adrien lebih estetik ketimbang canvas putih polos yang terlalu banyak di studioku ini. tubuh pemuda itu memanggilku untuk menjadikannya sebagai sarana menuangkan imajinasiku yang meronta-ronta didalam kepala.
Aku akan membuat sebuah masterpiece ditubuh pemuda ini dengan kedua tanganku.
Aku memilih warna biru langit sebagai warna pertama. Alasannya karena dimataku dia seperti seorang yang terbuka layaknya samudera. Aku ingin membungkus tubuhnya dengan warna yang menapsirkan dirinya sedemikian rupa. Jemariku mulai bergerak menjelajahi tubuh pemuda itu. alhasil sesekali aku merasa dia bergidik gelisah, dalam ketidakberdayaan untuk melawan pemuda itu terlihat berusaha untuk tidak menikmati setiap sensasi dari liquid cat yang disapukan diatas kulit telanjangnya. Dari ujung leher lalu pindah ke tulang selangka, menelusurinya pelan-pelan hingga tiba di nipplenya. Mengusap, membelai, sedikit memainkannya dengan sedikit gairah dan urgensi. Tentu saja pemuda itu hanya bisa membalas perlakuanku dengan desah panjang. Kedua tangannya yang mengepal sudah mulai rileks sekarang. Ya, mudah saja bagiku untuk membaca pergerakan tubuhnya.
Setelah puas dengan warna biru yang telah kusapu merata diatas kulitnya, kini aku mengambil warna lain. Kuning. Warna yang kusangkakan sebagai perlambang dari senyum dan kepribadiannya yang terlalu terik layaknya matahari untuk hari-hariku yang membosankan. Menerangkan seberapa ekspresifnya mata pria itu ketika mereka bertukar pandang. Lagi-lagi, sekali lagi aku membawa kedua tanganku untuk menjamahnya, melukis diatas tubuhnya tidak kusangka akan semenyenangkan ini. bagaimana caraku memandikannya dengan berbagai campuran warna dari ujung Pundak hingga keujung bagian pingganggnya dimana celananya masih tersangkut disana. Tidak kuganggu gugat keberadaannya.
Sorot mata pria itu kini sudah mulai dipenuhi oleh kabut nafsu, kurasa aku sudah cukup keterlaluan menyiksanya dengan cara seperti ini. wajahnya benar-benar menginginkan sesuatu, yang sebetulnya mudah saja untuk kuberi.
“Kau ingin warna apa lagi?” tanyaku mengabaikan tatapnya yang menghantarkan rasa panas pada seluruh saraf dikulitku ketika tangannya menyentuh tanganku.
Pemuda itu membuka matanya, napasnya sedikit terengah. Diperlukan waktu sepertinya untuk dia dapat mengendalikan dirinya seperti semula. “Hitam,” ujarnya dengan suaranya yang semakin memberat dan serak. Indah. Tidak buruk juga melihat dan mendengarnya dalam cara seperti ini. tapi aku sedikit dibuat tertegun lantaran permintaan warnanya sedikit kontradiktif dengan semua pilihan warna yang aku secara sukarela pilihkan untuk dia.
“Kenapa hitam?” tanyaku.
“Karena hitam adalah warnamu,” sahut Adrien tanpa keraguan yang berarti. “Aku menginginkan dirimu ada diseluruh tubuhku,”
Ia bergerak menjulurkan tangannya sendiri untuk mengambil warna biru yang ada pada pallete kayu lalu kemudian menyapukanya dari leherku hingga kedadaku yang polos tidak tertutupi kain apapun. aku mendesah rendah.
“Seperti warna yang kau pikir mendeskripsikan aku dalam perspektifmu yang kini terlukis ditubuhmu,” tambahnya.
“Kau…” aku tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika pemuda itu mengangkat tubuhnya hingga aku yang menduduki dirinya hanya bisa diam tatkala dia menahan rahangku dan bergerak untuk memberikan rangsangan pada belakang telingaku dengan menjilat dan mengigitinya. Ia pun berbisik, dengan suaranya yang rendah namun cukup untuk dapat menusuk sanubariku.
“….Milikku,”