Cerita Tentang Ainun

1369 Kata
Setelah tak mendapatkan informasi apa-apa dari ibunya Ainun, aku pun akhirnya mengajak Mama untuk kembali menemui pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Mungkin saja di sana aku bisa mendapatkan sedikit petunjuk. Dengan dipandu oleh Mama, aku melajukan mobil menuju tempat tersebut. Mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan sederhana, atau lebih tepatnya sebuah warung makan. Menurut Mama, itu adalah warung makan milik Bu Ratna, perempuan paruh baya yang juga pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Kami langsung turun dan masuk ke dalam warung makan tersebut. "Maaf, Dek. Bu Ratnanya ada?" tanya Mama pada salah seorang pelayan warung makan tersebut. Pelayan tersebut terdiam sesaat. Mungkin dia agak bingung karena kami datang bukan untuk memesan makanan. "Saya kenalan Bu Ratna, datang kemari karena ada perlu. Tadi pagi saya ke rumahnya, tapi beliau buru-buru karena mau ke warung katanya," ujar Mama lagi menambahkan. "Oh ...." Pelayan warung itu mengangguk mengerti. "Pagi-pagi Bu Ratna memang sudah datang kemari, tapi sekarang sudah pulang ke rumahnya lagi untuk beres-beres, soalnya yang kerja beres-beres di rumah Bu Ratna sudah berhenti kerja, jadi sebelum dapat penggantinya, Bu Ratna mesti mengerjakannya sendiri," jawab pelayan tersebut. Kali ini Mama yang ber-oh ria. Mama pun segera pamit undur diri setelah mengucapkan terima kasih, lalu mengajak ku untuk pergi ke rumah Bu Ratna. Mobil kutinggalkan di dekat warung Bu Ratna, karena untuk mencapai rumah Bu Ratna ternyata harus melewati sebuah gang sempit yang terletak tak jauh dari warung. Sambil melangkah, aku memperhatikan lingkungan sekitar. Rumah-rumah sederhana berdiri saling berdesakan satu sama lain hingga tak menyisakan ruang untuk halaman. Benar-benar kawasan yang padat. Tak lama kemudian, langkah Mama terhenti di depan sebuah rumah yang dikelilingi oleh rumah-rumah mungil dengan cat seragam. Tampaknya itu adalah rumah Bu Ratna yang di maksud Mama, dan rumah-rumah mungil dengan cat seragam itu adalah kontrakan miliknya. Mama langsung mengetuk pintu rumah tersebut, dan tak lama kemudian pemilik rumah pun membukakan pintu. "Bu Indri?" Seorang perempuan paruh baya menyembul dari balik pintu. Tubuhnya agak tambun dan usianya mungkin sebaya dengan Mama. "Saya balik lagi, Bu Ratna. Maaf mengganggu," ujar Mama tidak enak. "Oh, sama sekali tidak mengganggu. Silahkan masuk." Bu Ratna mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya. Ternyata beliau orang yang cukup ramah. Setelah mempersilahkan kami duduk, Bu Ratna ke belakang sebentar, lalu muncul lagi dengan nampan berisi dua cangkir teh di tangannya. "Silahkan diminum. Maaf, saya tidak punya makanan kecil di rumah. Maklum, sibuk ngurus warung, jadi lebih sering ada di sana," ujar Bu Ratna sambil menghidangkan teh tersebut. Setelah itu, beliau ikut duduk di hadapan kami. "Tidak perlu repot-repot, Bu," Mama terlihat semakin merasa tidak enak. "Jadi, ada perlu apa Bu Indri datang kemari? Dan ini?" Bu Ratna melihat kearahku. "Ini Arkan, anak saya. Suaminya Ainun," jawab Mama. "Oh ...." Bu Ratna tersenyum kearahku. "Kami kemari ingin bertanya, apakah ada yang Bu Ratna ketahui, sekiranya yang bisa membantu kami mencari tahu keberadaan Ainun," ujar Mama lagi. Bu Ratna terdiam sejenak. "Saya ingin sekali membantu Bu Indri dan Nak Arkan, tapi saya benar-benar tidak tahu sedikitpun kemana Ainun pergi. Dia hanya pamit untuk pergi karena ada tawaran kerja di luar kota," ujar Bu Ratna kemudian. "Apa dia tidak bilang tawaran kerjanya di kota mana dan siapa yang menawarinya untuk bekerja?" tanyaku tanpa sadar. Bu Ratna kembali menoleh kearahku, lalu kembali tersenyum. "Tidak," jawab sambil menggeleng. "Selama Ainun berada di sini, saya memang tidak pernah bertanya apapun tentang kehidupannya. Bukan karena saya tidak peduli, tapi karena saya tidak mau dia merasa kurang nyaman. Tapi sejauh ini, saya tahu jika dia anak yang baik. Sejujurnya, saya sendiri juga merasa kehilangan setelah dia pergi." Aku tercenung. Seperti halnya Mama, Papa dan seluruh keluarga besarku, Bu Ratna juga mengatakan jika Ainun orang yang baik. Sebenarnya aku sendiri juga pernah berpikir sama seperti mereka. Tapi itu dulu, saat pertama kali aku mengenalnya sebagai gadis petugas kebersihan, sebelum kejadian yang membuat penilaianku terhadapnya berubah 180 derajat. "Apa ada seseorang yang mengunjungi Ainun selama dia tinggal di kontrakan Ibu?" tanyaku lagi. "Yang sering datang adalah Bu Indri. Hampir setiap hari beliau datang." jawab Bu Ratna sambil tersenyum kearah Mama. "Iya, tapi sangat disayangkan tiga hari kemarin saya sibuk dan tidak kesini, jadi kecolongan dan tidak tahu kalau Ainun sudah pergi." Mama menanggapi dengan wajah sedih. "Sebenarnya, selain Bu Indri ada perempuan muda seumuran Ainun yang juga datang berkunjung. Ainun bilang dia teman sekelasnya waktu SMP. Kalau tidak salah, dua kali temannya itu datang kesini." "Ibu tahu namanya?" Aku kembali bertanya. Bu Ratna menggeleng. "Ainun tidak menyebutkan nama temannya. Saya juga tidak bertanya." Aku menghela nafas panjang. Tampaknya kami juga tidak akan mendapatkan informasi yang berarti dari Bu Ratna. Wajah Mama sudah kembali terlihat tidak bagus, seperti akan menangis lagi. Aku benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana. Tidak ada tempat untuk mencari informasi lebih jauh tentang Ainun. "Maaf kalau saya tidak bisa banyak membantu," ujar Bu Ratna saat melihat aku dan Mama yang mulai risau. "Tidak, Bu Ratna, kamilah yang harusnya minta maaf karena sudah merepotkan Ibu. Semuanya tidak akan seperti ini jika saja anak bodoh ini mau sedikit saja memakai otaknya." Mama malah menyergah ku sambil menatap ku tajam. Aku kembali menghela nafas. "Hidup tidak bersyukur, dikasih istri baik malah disia-siakan. Benar-benar bodoh!" ujar Mama lagi dengan geram. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa Mama memaki anaknya sendiri dengan lantang di hadapan orang lain. "Maaf sebelumnya, saya tidak tahu dan juga tidak berhak tahu dengan permasalahan antara Ainun dan anak Bu Indri, tapi kelihatannya Ainun sedang menyimpan beban yang sangat berat." Bu Ratna menanggapi. Aku terdiam mencerna kata-kata Bu Ratna. Apa maksudnya dengan menyimpan beban yang sangat berat? "Saya pertama kali bertemu Ainun saat dia datang ke warung malam-malam untuk membeli makanan sambil menggendong anaknya. Waktu itu, sebenarnya warung saya sudah tutup dan saya sendiri sudah mau pulang. Tapi karena melihat dia sepertinya lemas dan tak punya tenaga lagi, akhirnya saya ajak dia masuk ke warung. Untung saja masih ada sedikit nasi dan lauk, jadi saya bungkuskan saja buat dia." Bu Ratna menghela nafas sejenak. "Dia bilang kelelahan mencari penginapan karena penginapan yang harganya terjangkau sudah penuh semua. Maklum, di dekat sini ada tempat wisata, jadi kalau akhir pekan banyak yang berkunjung dan menginap. Kebetulan waktu itu akhir pekan," Benar. Saat Ainun pergi adalah saat Mama mengadakan syukuran untuk kelahiran Farhan, dan Mama sengaja memilih waktu akhir pekan agar keluarga besar kami bisa datang semua karena sedang libur. "Setelah malam itu, besoknya dia datang lagi untuk membeli makan siang. Dia tanya ke saya, ada tidak kontrakan di sekitar sini yang harganya terjangkau. Dia bilang, dia cuma punya uang tujuh ratus ribu, bisa untuk bayar kontrakan sekitar lima ratus ribu, sedangkan sisanya untuk pegangan kalau ada apa-apa. Karena kontrakan saya ada satu yang kosong, jadi saya bawa saja dia pulang untuk melihat-lihat." Ada rasa sesak yang tiba-tiba memenuhi rongga dadaku mendengar cerita Bu Ratna. Aku pikir malam itu dia akan pulang ke rumah orang tuanya. Tidak kusangka dia malah pergi sampai ke sini. Aku juga tidak sadar kalau malam itu dia belum sempat makan, padahal Mama sedang mengadakan syukuran dan tentu saja di rumah banyak makanan terhidang meski sebagian sudah disantap para tamu undangan. "Maaf, saya lihat kontrakan Bu Ratna rumah utuh, bukan bedeng sempit yang saling berdempetan satu sama lain. Apa biaya kontrakannya sebulan memang lima ratus ribu?" tanyaku. Bu Ratna lagi-lagi tersenyum. "Biaya sewa kontrakan saya sebulannya satu juta lima ratus ribu, belum ditambah biaya air dan listrik, itu biasanya dibayar sendiri sama penghuni kontrakan," jawab Bu Ratna. Aku menatap perempuan paruh baya itu tak mengerti. Bukankah dia baru bertemu dengan Ainun, lalu kenapa begitu murah hati pada orang yang tak dikenalnya? "Lalu kenapa Ibu membiarkan Ainun tinggal di sini?" tanyaku penasaran. Bu Ratna terdiam sesaat. "Itu karena saya melihat tatapan putus asa yang terpancar dari mata Ainun saat itu. Hati saya mengatakan, jika saya harus menolongnya. Saya tidak tahu apa yang baru saja dia alami, tapi ekspresi wajahnya mengingatkan saya pada ekspresi wajah mendiang keponakan saya sebelum ditemukan meninggal karena bunuh diri. Saya memang tidak mengenal Ainun saat itu, tapi jika saya tidak membantu, saya takut akan menyesal untuk yang kedua kalinya." Aku membeku dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan. Sedangkan Mama sudah tersedu sambil membekap mulutnya sendiri. Tangisan Mama terdengar pilu, sepilu cerita tentang Ainun yang dituturkan Bu Ratna tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN