Kosong

974 Kata
Tiga hari sudah Ainun pergi. Jelas ada yang aku rasakan sejak kepergian perempuan itu. Hening, suasana itulah yang mendominasi setiap sudut rumah. Hanya ada suara Bik Minah, asisten rumah tangga, yang terkadang bertanya tentang beberapa hal. Perempuan paruh baya yang bekerja sejak aku menikah dengan Ainun itu tampak sedikit kesulitan mengerjakan pekerjaannya sejak Ainun tidak ada. Banyak benda yang Bik Minah tidak tahu di mana letaknya hingga aku sedikit kesal dibuatnya. Memangnya apa saja kerjanya selama ini jika sedikit-sedikit bilang Ainun yang biasanya mengurus ini dan itu. Kupandangi sekeliling rumah dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Rumah ini adalah hasil kerja kerasku. Awalnya aku mempersiapkan rumah ini untuk kutinggali bersama Reina selepas kami menikah. Tapi kemudian, aku justru menikah dengan Ainun dan tinggal di rumah ini bersama perempuan itu. Sejak awal pindah kesini, rasanya sudah seperti berada di neraka. Dadaku seringkali terasa sesak karena harus tinggal satu atap dan berbagi udara dengan sosok yang telah menjungkir-balikkan hidupku. Setiap kali aku memandang Ainun, hanya ada rasa sakit dan kebencian di hatiku untuknya. Aku bahkan harus menahan diri sekuat tenaga agar tak mengucapkan kata-kata makian pada perempuan itu. Mengabaikannya adalah caraku agar tidak berkata buruk padanya, meski aku tahu itu juga termasuk dalam perlakuan buruk. "Sarapannya sudah siap, Pak." Bik Minah memberitahu sesaat setelah aku turun lantai atas tempat kamarku berada. Seperti biasa, pagi ini aku telah berpenampilan rapi, siap untuk pergi bekerja. Sebenarnya aku malas sarapan di rumah. Entah kenapa, menu sarapan tiga hari ini tidak sesuai dengan lidahku. Tapi pekerjaan Bik Minah menyiapkan sarapan pagi ini akan sia-sia jika aku tak menyantapnya. Dengan langkah enggan, akhirnya aku berjalan menuju ruang makan yang terhubung dengan ruang keluarga. Tanpa bisa kucegah, kepalaku menoleh pada pintu kamar yang terletak di dekat ruang keluarga. Kamar yang ditempati oleh Ainun selama dia tinggal di rumah ini. Perempuan itu memang tak pernah makan satu meja denganku, entah itu saat sarapan, makan siang ataupun makan malam. Tapi biasanya kami akan berpapasan saat dia berjalan dari arah dapur menuju ke kamarnya, meski seringkali aku akan memandang kearah lain dan mengabaikannya. "Silakan, Pak." Suara Bik Minah membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk dan segera mendekati meja makan. Di sana sudah terhidang sepiring nasi goreng lengkap dengan acar, telur mata sapi dan lalapan, tak lupa segelas teh hangat sebagai minuman pendamping. Aku duduk dan menikmati menu sarapanku dalam diam. Dahiku sedikit mengerut saat satu suapan nasi goreng masuk ke dalam mulut. Seperti hari-hari sebelumnya, hari inipun terasa ada yang aneh dengan masakan Bik Minah. "Bik Minah sehat?" tanyaku pada Bik Minah yang sedang mencuci peralatan dapur bekas dia memasak tadi. "Ya, Pak?" Bik Minah menoleh dengan sedikit bingung. "Kalau Bik Minah sedang tidak enak badan, istirahat saja dulu sampai benar-benar sehat. Jangan dipaksakan bekerja," ujarku lagi. "Saya sehat, Pak," jawab Bik Minah masih dengan raut bingung. "Beberapa hari ini masakan Bik Minah rasanya berbeda dari yang biasanya. Saya kira Bik Minah sedang kurang enak badan, jadi tidak konsen saat memasak." Bik Minah mematikan kran air, lalu berbalik sepenuhnya menghadap ke arahku sembari sedikit menunduk. "Maaf kalo masakan saya tidak sesuai dengan selera Bapak," ujarnya dengan nada menyesal. "Bukan begitu. Selama ini saya tidak merasa bermasalah dengan masakan Bik Minah. Hanya saja, beberapa hari terakhir rasanya jadi berbeda. Mungkin Bik Minah butuh beristirahat selama beberapa hari." Bik Minah tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi terlihat ragu dan sedikit takut. "Maaf, Pak. Sebenarnya yang memasak untuk Bapak selama ini bukan saya, tapi Bu Ainun. Bu Ainun minta sama saya supaya jangan bilang ke Bapak kalau Ibu yang masak," ujar Bik Minah kemudian dengan hati-hati. Seketika aku berhenti mengunyah dan mengangkat wajahku. Kulihat Bik Minah yang masih memasang ekspresi takut. "Saya benar-benar minta maaf karena tidak bisa memasak seperti masakan Bu Ainun. Tolong jangan pecat saya, Pak," pinta Bik Minah dengan nada memelas. Aku menghela nafas panjang, lalu berusaha menelan nasi yang ada dalam mulutku dengan sedikit kesusahan. Nasi itu terasa seperti kerikil hingga membuat tenggorokanku terasa sangat sakit. Kuraih cangkir teh dan meneguk habis isinya. Kusudahi menyantap sarapan yang baru tiga suap masuk ke dalam mulutku. "Saya sudah selesai. Tidak usah khawatir, saya tidak akan memecat Bik Minah. Silakan dibereskan meja makannya," ujarku sembari bangkit. "Baik, Pak." Bik Minah bergegas melakukan apa yang kupinta tadi. Sedangkan aku berlalu dari meja makan untuk segera berangkat ke tempat kerja. Langkahku terhenti dengan sendirinya saat hendak melewati pintu kamar Ainun. Kupandangi pintu kamar itu selama beberapa saat. Aku pikir aku akan merasa senang saat dia sudah tak ada di rumah ini. Tapi sekarang apa yang kurasakan? Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Hatiku tiba-tiba terasa kosong dan hampa. Jauh lebih buruk daripada saat aku merasakan marah dan benci saat melihatnya. Kupikir jiwaku akan merasa bebas saat Ainun pergi dari kehidupanku. Tapi yang kurasakan justru perasaan rumit yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Dan perasaan itu jauh lebih menyiksaku. Tanpa aku sadari, aku melangkah mendekati pintu kamar Ainun dan membukanya perlahan. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadaku saat kuhirup aroma khas bayi dari dalam sana. Aku masuk dan perlahan duduk di pinggiran tempat tidur Ainun sembari mengamati sekeliling kamar. Netraku tertuju pada sepasang kaos kaki bayi yang tergeletak di ujung tempat tidur. Aku bangkit dan mengambil benda itu. "Farhan ...." Untuk pertama kalinya aku menyebut nama bayi yang dilahirkan Ainun. Nama yang diberikan Mama dan Papa untuk bayi yang mereka yakini sebagai cucu. Seperti ada yang meremas hatiku saat aku menyebutkan nama bayi itu. Bayi yang katanya sangat mirip denganku tapi tetap ku sangkal jika dia anakku. Mataku terasa panas dan seketika menumpahkan lelehan cairan hangat. Segera kuseka airmata yang tiba-tiba saja jatuh tak tertahankan. Kenapa aku menangis? Memangnya apa yang begitu membuatku bersedih hingga seorang lelaki seperti ku harus menangis? Tidak, semenjak menjadi seorang lelaki dewasa, aku tidak pernah sedikitpun menitikkan airmata, meski berada dalam keadaan paling menyedihkan sekalipun. Lalu kenapa sekarang aku begitu cengeng? Ainun, sebenarnya apa yang sudah kau lakukan padaku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN