Misi selesai begitu semua mayat beserta anggota tim yang masih hidup ditemukan. Agha setidaknya masih tertahan hingga beberapa hari bersama yang lain di Papua untuk memastikan hal itu. Begitu komplit, beberapa helikopter sudah siap untuk menerbangkan mereka. Mereka sempat tertahan karena faktor cuaca untuk mencari para mayat di dalam hutan. Agha juga ikut turun bersama tim yang lain. Tim SAR juga dikerahkan untuk membantu meski operasi ini dirahasiakan. Karena tidak boleh ada yang tahu tentang apa yang terjadi.
"Gimana keadaan Ferril?"
"Udah balik katanya hari ini."
Ia mendengar ucapan-ucapan itu. Ya abangnya sudah dilarikan ke rumah sakit beberapa hari yang lalu. Tapi karena rumah sakit di sini tidak begitu memadai, akhirnya dibawa pulang ke rumah sakit om-nya yang ada di Depok. Agha tak tahu pasti bagaimana kejadiannya dan bagaimana keadaannya karena ia tak ada di sana. Yang menyaksikan pun hanya Darren dan Adit. Ah istrinya juga. Kejadian yang begitu dramatis katanya. Ia sempat hendak menjenguk abang sepupunya tapi waktu itu sudah diterbangkan ke Jakarta kala itu. Lalu ia terperangkap di sini cukup lama bersama yang lain. Ya seperti Adit, Ardan, Husein, Darren, Aidan, dan Juna.
Kini ia sedang berada di atas helikopter. Ia hendak terbang ke landasan bandara yang pada akhirnya akan membawanya ke Jakarta hari ini. Pesawat telah menunggu. Semoga tak rusuh seperti hari-hari kemarin. Setidaknya masa suram telah lewat dengan berbagai tragedi mengerikan. Terjebak di dalam hutan sama sekali tak mengenakkan. Walau setidaknya ia memiliki para sepupu gila yang masih bisa bercanda di tengah-tengah kengerian.
Perjalanan ini menjadi misi terbaik baginya. Ya setidaknya begitu. Karena makin mempererat persaudaraan mereka. Bahwa apapun yang terjadi, mereka harus bersama. Bukan kah hal semacam itu cukup manis?
Hampir satu jam penerbangan, mereka akhirnya langsung tiba di bandara. Ya setidaknya tak perlu pergi lagi dengan mobil untuk menempuh jalan menuju bandara. Kini Agha telah naik ke dalam pesawat. Ia melihat sekeliling di mana para sepupunya juga tampak lelah dengan apa yang terjadi. Rasanya seperti lama sekali terjebak di sini.
Penerbangan menuju Jakarta setidaknya menghabiskan waktu 2 jam dengan pesawat jet. Jumlah mereka memang berkurang di dalam pesawat ini. Tapi kenangan bersama mereka yang telah tiada terus tersimpan di dalam hati. Agha juga tak pernah menyangka akan ada momen seperti ini di dalam hidupnya. Di dalam setiap misi, tak jarang, memang akan ada korban. Tapi tak pernah begini sebelumnya. Tak pernah sebanyak ini. Ia hanya tak bisa membayangkan keluarga yang ditinggalkan. Sungguh kasihan.
Tiba di Jakarta, mobil menuju Depok telah menunggu. Ia naik ke dalam mobil itu bersama Ardan, Aidan, Adit, dan Juna. Mereka berpisah dengan yang lain. Keluar dari tol bandara, mobil langsung naik ke jalur udara agar lebih cepat tiba di Depok. Semua keluarga telah menunggu di rumah opa. Ya bahkan keluarga besar mereka masih menginap di sana. Menunggu dengan sabar sampai semua urusan selesai. Mereka benar-benar disambut dengan pelukan begitu tiba. Juna juga ikut mampir karena keluarganya juga ikit berkumpul di rumah opa. Tak menyangka kalau suasananya akan cukup haru seperti ini.
"Abis bersih-bersih, kalian langsung makan di sini," tutur tantenya, Aisha. Mereka mengiyakan dan kompak masuk ke dalam kamar untuk menumpang mandi.
"Alhamdulillah," ucap opa. Beliau sudah tenang karena semua cucunya sudah kembali dengan selamat. Bahkan tak lama, mobil Fadlan juga muncul. Ia membawa istri, anak-anak, dan menantu. Farrel, Ali, dan Adrian bergerak turun untuk mengambil kursi roda dari bagasi. Lalu membantu mengangkat Ferril. Sebetulnya sudah lebih baik tapi papanya tetap ingin ia tak banyak berjalan. Padahal tak masalah kalau mau berjalan. Dan baru kali ini, Echa muncul sebagai istri Ferril. Bertemu kembali dengan keluarga besar lelaki itu secara utuh. Karena selama beberapa hari, ia memang hanya tinggal di rumah sakit. Menemani dan mengurus suaminya tentu saja.
Kedatangannya disambut. Farras sedang istirahat total. Anak pertamanya diasuh Sara. Ya selama beberapa hari belakangan memang diasuh Sara. Karena besannya agak sibuk. Hilir mudik mengurus anak bungsu yang dirawat. Farras sempat masuk rumah sakit karena gangguan kehamilan. Sempat pendarahan dan setidaknya kehamilannya masih bisa diselamatkan. Hanya saja benar-benar harus istirahat total. Malah Fasha yang baru melahirkan. Kini sudah dalam perjalanan ke rumah opa juga. Anaknya laki-laki.
Agha turun dari kamar. Ia disuruh umminya untuk makan. Umminya tampak khawatir. Benar-benar khawatir. Apalagi ia sempat hilang dan banyak yang mencarinya. Waktu itu ia hanya terpisah saja dari yang lain. Tapi setidaknya ia kembali dalam keadaan sehat tanpa kurang apapun.
"Ak! Udah full tuh charger-annya, Aidan cabut ya?"
Aidan berteriak dari atas. Ia mengangguk lantas mengatakan, "bawa ke sini hape, a'ak."
Aidan mengiyakan. Tak lama, lelaki itu muncul di sampingnya. Ikut makan usai memberikan ponselnya. Sudah berhari-hari ponsel ini tidak menyala. Ia baru membukanya hari ini. Benar saja. Banyak pesan yang masuk.
Ia sudah sempat bilang pada Amri untuk menggantikannya selama satu minggu sebelum ia masuk ke dalam hutan saat itu. Ya semoga tak ada hal darurat. Dan.....?
Tak ada. Hanya rapat-rapat biasa yang digelar. Tak ada pesan juga dari Maira. Begitu pula dari Bani. Ia juga sudah mengatakan sih kalau mungkin akan tak bisa dihubungi. Mungkin karena itu, teman-temannya tak menganggu. Tanpa tahu apa yang terjadi.
Ia kemudian mengecek akun media sosialnya. Satu-satunya mengetahui bagaimana kehidupan Maira selama beberapa hari belakangan adalah melalui media sosial. Ia tersenyum tipis saat melihat foto yang di-posting Maira belum lama. Fotonya bersama ayahnya dan Rangga di rumah. Sepertinya mereka menghabiskan waktu bersama dengan sangat baik. Ya setidaknya itu sudah membuatnya cukup tenang.
Usai makan, ia mencari Ali. Karena terakhir ia menugaskan Ali untuk mengawasi rumah Maira lalu apa katanya?
"Aman sih, ak. Beberapa tim intel juga sering datang. Ya beberapa kali lah dan gak stay lama di sana. Ali sama Adrian juga kadang ke sana. Tapi lebih banyak di sini bantuin bang Farrel."
Ia mengangguk-angguk. Ya benar juga. Adik-adiknya punya tugas lain. Tapi ya setidaknya ia cukup tenang. Kemudian ia bergabung di ruang keluarga. Biasa lah, namanya juga ada pengantin baru. Abang sepupunya dan istrinya dikerumuni para tante-tante yang kepo. Hal yang membuatnya terkekeh lantas geleng-geleng kepala.
Setelah itu mereka beristirahat hingga malam dan esok hari pun tiba. Sejak pagi, ia ikut Ferril. Sebetulnya masih tampak sakit tapi ya namanya abang sepupunya pasti memaksakan diri. Sudah sibuk mengurusi urusan kakaknya Maira. Padahal urusannya baru saja selesai kemarin. Kenapa tak istirahat dulu?
Hingga siang ia berada di sana kemudian berpamitan karena mau ke kampus. Ia belum menemui dosen pembimbingnya jadi sekarang hendak bertemu. Prof Mita tentu bertanya-tanya akan kepergiannya yang entah ke mana. Ia hanya tersenyum tipis karena tak bisa mengatakan apapun. Tak enak hati pula kalau berbohong.
Dan dosennya ini sangat berdedikasi. Meski hari libur, masih saja berada di kampus. Walau sebetulnya memang banyak yang masih berada di kampus. Ya kan hendak ada acara fakultas besok. Jadi semua orang sibuk menyiapkan. Ia sih memang tidak mengambil tanggung jawab untuk itu karena tahu akan sibuk. Meski kesibukan awalnya bukan lah soal misi.
"Kamu perbaiki saja dan baca beberapa jurnal yang saya rekomendasikan padamu."
Ia mengiyakan. Kemudian ia pamit. Dan ketika hendak berjalan menuju parkiran.....
"Buseet daaah. Lama banget gak ketemu sama lo."
Ia terkekeh kemudian bertos ria dengan Indra dan Bara. Ia memang menghilang selama beberapa hari. Ya maklum lah. Ada pekerjaan tak terduga. Mereka setidaknya sempat mengobrol dan makan bersama di kantin. Hingga akhirnya Agha berpamitan, ia berjalan menuju masjid kampus untuk solat ashar. Kemudian kembali menuju parkiran. Saat ia hampir sampai parkiran, Shiren melihatnya dari jauh. Gadis itu ada di lobi fakultas. Rasanya seperti sudah sangat lama tak melihat Agha di kampus. Agha tahu?
Tentu tidak. Cowok itu justru bergerak masuk ke dalam mobil. Ia keluar dari area kampus. Kini tujuannya ke mana? Basecamp. Seperti tadi kata Ferril, kini giliran mereka untuk fokus kembali pada urusan Rangga yang sempat terabaikan. Yah meski tak terabaikan amat. Karena masih dipegang oleh tim intel. Walau tak banyak. Karena untuk menjaga keluarga Maira juga jarang. Ya maklum lah, operasi penyelamatan istri Ferril jauh lebih penting kala itu.
Di perjalanan tahu-tahu masuk telepon dari salah satu tim intel. Apa katanya?
"Pihak kepolisian sedang dalam perjalanan untuk menangkap Rangga, pak."
Ia kaget. "Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Dia dijadikan tersangka pembunuhan Shinta."
@@@
"Setelah ini, kamu harus fokus mengejar cita-citamu. Fokus pada apa yang menjadi tujuan hidupmu. Hanya itu yang ingin ayah pinta dan kamu selalu ingat, Maira."
Maira terkekeh. Mereka sedang berjalan menuju parkiran. Setelah beberapa kali gagal ke Dufan akhirnya hari ini berangkat juga. Tubuhnya lelah hari ini namun hati sungguh bahagia. Karena jujur saja, Maira sangat mencintai momen ini. Sebab jarang-jarang mereka bisa begini.
Rangga ikut tersenyum mendengarnya. Lelaki itu juga mengelus kepalanya.
"Jangan mikirin siapa itu? Ituuu cowok yang di Spanyol?"
Maira tertawa. Ayahnya kan kepo. Ternyata tahu kalau ia sering melalukan panggilan video dengan Hanafi. Meski ada Saras juga. Yaa mereka kan hanya berbagi cerita. Ayahnya sih hanya mengingatkan untuk tak terlalu larut dalam hubungan dengan laki-laki. Untuk berteman tak masalah. Dan sebelum ada keseriusan, hindari hal-hal yang tak penting. Namun bagi Maira, berkomunikasi dengan Hanafi adalah hal terpenting. Ia ingin menjaga hal itu.
"Itu temennya Mai tauk, Yah."
Ayahnya mendengus. Ia tertawa. "Ada lagi itu yang sering ke rumah," omelnya.
Maira tertawa lagi. Ia jadi ingat beberapa hari kemarin di mana ayahnya sering ngomel karena agak-agak cemburu pada para laki-laki yang dekat dengan anaknya itu. Sebagai seorang ayah tentu saja ada rasa tak rela dan sangat ingin menjaga anak perempuannya bukan? Meski ia juga tak bisa melarang anaknya untuk tidak bergaul dengan laki-laki manapun. Ia hanya berpesan agar Maira bisa menjaga harga diri sebagai seorang muslimah dan bukan kah itu adalah hal yang wajar?
Ayahnya juga sempat berpesan soal....
"Perempuan yang menjaga diri di akhir zaman ini sudah sangat jarang ditemukan, Maira. Bahkan mungkin sangat sulit. Kita tidak bisa menilai dari pakaian mereka karena itu bisa saja menipu. Ayah bukannya mau membongkar aib orang lain. Tapi mengatakan ini sebagai sebuah pembelajaran. Kamu pasti tahu kan anaknya Pak Saleh? Tetangga kita di Jogja?"
Ia mengangguk kala itu. Tentu saja ia sangat tahu.
"Kamu mungkin tahu bagaimana penampilannya bukan?"
Maira mengangguk lagi. Ia setidaknya masih berkomunikasi dengan beberapa anak seumurannya yang tinggal di Jogja. Beberapa teman sekolah yang pernah baik padanya. Tentu saja semua itu dilakukan melalui media sosial.
"Nah, tahu apa kabarnya beberapa minggu terakhir?"
Maira menggeleng. Ia tentu tak tahu. Karena komunikasi mereka juga tak rutin.
"Baru-baru ini dia di-skors dari kampus. Ketahuan m***m di kosan laki-laki."
Maira ternganga waktu itu. Ia jelas kaget. Karena ia tahu kalau anaknya Pak Saleh itu sangat lurus. Dari akun media sosialnya, sangat aktif menyebar kebaikan. Termasuk muslimah yang sangat baik. Apalagi pakaiannya yang sungguh lebar. Kalau Maira mungkin tidak setiap kali memakai gamis. Ia lebih sering memakai rok. Tapi setidaknya ia selalu memastikan kerudungnya untuk menutupi d**a. Tapi anak Pak Soleh? Ia tahu betul bagaimana pakaiannya. Lalu apa?
"Begitu lah, nak. Tak ada jaminan penampilan seseorang yang tampak syar'i dan mengikuti syariat agama. Ayah tidak menyalahkan syariatnya tetapi menyalahkan orang yang tak bisa mengendalikan nafsunya. Bayangkan, seharusnya dia paham bagaimana agama mengatur hubungan laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan muslimah yang datang ke kos laki-laki, untuk apapun alasannya, jika bukan mahramnya tentu saja sangat tidak patut kan?"
Ia mengangguk. Itu sudah salah sejak awal.
"Jadi sebagai ayahmu, ayah ingin mengingatkan saja. Agar tak terjadi hal yang sama. Ayah tahu Mai tak mungkin melakukan itu. Tapi bukan itu inti pembicaraan ayah. Melainkan kita tidak pernah tahu kapan kita lengah terhadap bisikan setan."
Ya ayahnya benar. Dan sesungguhnya bukan hanya itu yang akhir-akhir ini kerap dikatakan oleh ayahnya. Ada banyak hal lain. Tapi mereka memang lebih sering berdiskusi tentang hidup. Terutama mengenang kepahitan ketika hidup di Jogja. Ayahnya tentu tahu kalau ia tidak nyaman tinggal di Jogja. Maka kini rencana ayahnya setelah ia lulus adalah mengajaknya tinggal di Bandung. Ada keluarga almarhum ibunya yang sangat baik hati. Neneknya masih ada. Ia bisa tinggal di sana dengan para sepupu. Dan.....
"Jangan menikah dulu. Menikah itu bisa nanti."
Itu sepenggal kalimat akhirnya yang membuat Maira tertawa. Ia tahu kalau ayahnya mengatakan itu sejak di Bandung adalah sebuah keseriusan. Ya melihat banyaknya lelaki di sekeliling Maira tentu saja membuat ayahnya was-was. Meski belum ada yang berani maju menghadapnya. Bahkan ia hapal mana saja lelaki yang menyukai anaknya ini.
Ketika masuk ke dalam mobil, suasana awalnya hening. Karena pasti lelah. Seharian ini mereka menghabiskan waktu di Dufan. Itu adalah hal yang sangat menyenangkan bagi Maira. Ia duduk di belakang dan menikmati perjalanan.
"Kata kamu ada tawaran pekerjaan dari laboratorium kamu magang itu, Mai?"
"Iya. Kan Mai udah pernah cerita sama ayah dan mas."
"Iya," sahut Rangga. "Kalau ditawarin berarti ditolak aja. Nanti insya Allah akan ada rezekinya di Bandung. Iya gak, yah?"
Ayahnya terkekeh. Yaa Maira juga sudah memikirkan hal itu. Ia tahu kakau ayahnya ingin hidup damai di Bandung. Jadi, ia yang mengalah dan akan ikut ke Bandung. Urusan tezeki kan adalah urusan Allah. Yang penting usaha dulu. Ya gak?
Hampir dua jam perjalanan menuju rumah, mereka setidaknya sempat mampir di warung Padang pinggir jalan. Rangga membeli beberapa lauk untuk makan malam nanti. Karena pasti akan sangat lelah kalau harus memasak lagi. Jadi mereka mampir sebentar kemudian kembali melanjutkan perjalanan tanpa firasat apapun.
Mobil berbelok ke kiri untuk masuk jalan menuju rumah. Awalnya ia masih bisa masuk. Namun tampak terjadi keramaian di sekitar rumahnya. Maira terbangun karena suara ketukan yang begitu kencang di jendela dekat masnya. Ya tepat di depannya. Ayahnya tampak kaget. Lelaki itu tentu saja langsung keluar untuk bertanya. Ada apa polisi mendadak datang bahkan menghampiri masnya yang bahkan belum sempat keluar dari mobil?
"Saudara Rangga, Anda kami tangkap atas kasus pembunuhan terhadap saudari Shinta. Anda berhak untuk membela diri dan mendatangkan kuasa hukum untuk membantu proses hukum Anda."
Begitu kata salah satu pihak kepolisian. Masnya langsung diborgol dan diseret begitu saja. Maira jelas langsung berlari untuk menyusul. Ia berteriak-teriak. Ayahnya juga turut berlari untuk meminta keterangan atas apa yang terjadi. Bagaimana mungkin anaknya bisa membunuh Shinta? Untuk apa? Anaknya tidak sejahat itu. Ia jelas tak percaya.
Sementara itu, Agha baru tiba di sana tapi ia terpaksa memarkirjan mobilnya agak jauh karena sulit menembus keramaian. Ia mencoba berlari untuk mengejar. Namun tetap terlambat. Karena ia bisa melihat bagaimana Rangga diborgol. Wajah Rangga tampak benar-benar bingung dengan apa yang terjadi.
"Mai!"
Ia malah berdiri di samping gadis itu. Terbata-bata Maira menceritakan kalau Rangga ditangkap polisi. Bahkan mobil polisi itu audah bergerak jauh. Ya jelas Maira kaget lah karena semua terjadi begitu cepat. Belum lama juga mereka bersenang-senang.
Lalu Agha mencoba menghubungi para intel. Ia ingin tahu perkembangannya. Beberapa kuasa hukum telah ditelepon oleh abang sepupunya untuk membantu Rangga dan mungkin sekarang dalam perjalanan menuju kantor kepolisian.
"Istirahat aja dulu, om. Biar Agha yang urus sama yang lain," ucapnya. Ia meminta agar ayahnya Maira istirahat saja dan ajak Maira untuk masuk ke dalam rumah. Percuma juga mengaduh di sini. Para tetangga juga kaget. Mereka kenal betul dengan Rangga. Tahu kebaikannya seperti apa. Kenapa mendadak menjadi tersangka.
"Gha! Gha!"
Gadis itu malah mencegatnya. Air matanya telah berlinang.
"Tolongin mas."
Ia tak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa. Agha yang memang hendak kembali ke mobil, mengangguk pelan. Ia iba melihat air mata itu.
"Ya. Istirahat lah dulu."
Maira mengangguk meski ia tak bergerak. Hingga akhirnya ayahnya mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah. Percuma juga kalau ikut ke kantor polisi sekarang. Tubuh mereka perlu istirahat. Percayakan dulu pada Agha dan yang lain. Pasti akan ada jalan dan solusinya.
@@@
Agha tiba di kantor polisi. Sayangnya, tak bisa ikut masuk. Ia menunggu di luar hingga berjam-jam sampai kuasa hukum Rangga keluar. Berharap ada kabar. Tapi hanya gelengan dan helaan nafas. Tampaknya tuduhan kasus ini sangat memberatkan Rangga. Namun Agha yakin kalau itu hanya lah perangkap.
Ia akhirnya kembali ke dalam mobil. Ia tahu kalau Maira terus meneleponnya. Gadis itu pasti ingin tahu bagaimana hasilnya bukan? Tapi ia juga bingung harus mengatakan apa padanya. Apa yang harus ia katakan?
Ia menarik nafas dalam. Ia hanya bisa mengirim pesan pada Maira.
Besok gue ke rumah. Istirahat, Mai. Insya Allah bang Rangga baik-baik aja.
Ia terpaksa mengirim pesan seperti itu. Namun Maira tak bisa tidur. Esok paginya, Agha berangkat ke rumah sakit dulu untuk menyelesaikan beberapa urusan. Setelah itu, ia baru ke kantor polisi. Ia mencoba untuk bertemu Rangga tapi tentu saja tak diizinkan. Pihak kepolisian mengatakan kalau hanya pihak kuasa hukum yang diperbolehkan untuk menemuinya. Ia menghela nafas. Terpaksa pergi.
Kemudian menyetir mobilnya menuju rumah Maira. Setidaknya gadis itu harus mendapatkan informasi. Meski hanya kabar buruk yang ia bawa.
"Nanti, Mai. Kita tak akan bisa datang juga."
Begitu kata ayahnya. Maira jelas tak tenang. Ia sampai izin dari tempat magangnya. Ia sungguh ingin menemui masnya. Ayahnya sudah mendapatkan kabar dari kuasa hukum Rangga. Sejujurnya, Rangga juga melarangnya untuk datang. Jadi apa yang mereka bisa lakukan? Tak ada.
Begitu mendengar suara mobil dari kejauhan, Maira langsung keluar. Ia melihat Agha baru saja keluar.
"Mas gimana?"
Gadis itu sudah tak sabar. Agha mengusap wajahnya.
"Gue gak bisa ketemu tadi. Gak dikasih izin."
Maira jelas kecewa mendengar itu. Keduanya duduk di teras rumah.
"Mas gak mungkin bunuh orang."
Ya Agha juga tahu. Sekarang mereka juga sedang mencoba mencari bukti untuk menyelamatkan Rangga. Tapi Agha juga tak begitu tahu perkembangannya. Itu urusan abang sepupunya dan yang lain.
"Insya Allah ada jalannya, Mai."
Ia mencoba menenangkan. Tapi percuma. Maira sama sekali tak bisa tenang. Ia berupaya menghiburnya walau tahu tak ada gunanya. Tak lama.....
"Dasar anak bawa sial!"
Agha terkaget ia menoleh dan mendapati ada perempuan yang mendadak muncul di dekat rumah Maira. Tangannya sudah terayun untuk menampar Maira yang spontan berdiri karena melihat kedatangannya. Maira juga terkaget meski familiar dengan suara itu. Saat telapak tangan itu hampir mendarat ke pipi Maira, Agha menghalanginya dengan menghadang menggunakan punggungnya. Akhirnya tamparan keras itu melayang ke punggung Agha.
Ayah Maira yang langsung berlari ke teras rumah. Ia tentu saja mendengar caci maki yang terasa amat familiar.
"Keluar kamu!" teriak si ayah. Ia jelas tak terima kalau anaknya dicaci begitu. Apa salah anaknya?
Selama ini ia telah menahannya. Tapi kini tidak lagi. Ia tak akan membiarkan perempuan ini menghina atau mencaci maki anaknya.
Agha terdiam menyimak semua itu. Ia memang ingat kejadian di hotel di mana ia mendengar kata-kata perempuan ini. Tapi tak menyangka kalau akan sejahat ini.
@@@