Tiga

1050 Kata
"Ini yang di maksud Serka Dika yang duda, kan? Selain jadi guru buat anaknya, nggak apa-apa juga kalau ngelamar jadi Emaknya!" "........... " "Itu kalau Serka Dika-nya mau." Aku mencibir Pratu tersebut, tidak di rumah tidak di sini semua menggodaku dengan kalimat serupa, yaaah, mentang-mentang Ayahnya Rafa ganteng di pikir semua cewek yang nyamperin mau deketin dia. "Ini saya bilangnya yang nyariin Mbak siapa?" Aku yang hendak melengos kembali menatap Pratu tersebut, "Hanum, Pak. Anaknya Pak Joko sama Bu Heni. Itu Ayahnya Rafa pasti tahu." Terdengar aneh memang menyebut Mas Dika dengan sebutan Rafa, berbeda dengan orang lainnya yang memanggil namanya, tapi dugaan tentang aku yang berusaha mendekati Duda tersebut membuatku ingin menegaskan jika aku datang karena anaknya, bukan karena Bapaknya. Jika tidak mengingat bagaimana manisnya Rafa kemarin, yang menatapku dengan pandangan polosnya dan sangat manut saat anak tersebut aku suapi, sama sekali tidak rewel dan terhitung dewasa untuk usianya, mungkin aku tidak akan mau di suruh Ibu datang ke sini. Ya, hanya satu pertemuan singkat, hanya mendengar anak tersebut bercerita bagaimana dia merindukan sosok Ibunya yang sudah tiada di saat melahirkannya, sosok yang tidak pernah memeluknya dan memberikan rasa hangat perhatian padanya membuatku jatuh hati pada Rafa Kusuma. Ya, anak kecil tersebut, dan caranya menyayangi Ibu yang bahkan tidak pernah di lihat dan di temuinya sukses membuatku jatuh cinta. Nenek dan Ayahnya begitu apik dalam membesarkan Rafa, begitu pintar membesarkan Rafa tanpa seorang Ibu, tapi tidak pernah kehilangan sosok Ibu di hati anak tersebut. Dan saat aku menjawab bukan saat tanyanya apa aku Mama pengganti untuk Ibundanya yang sudah di Surga, dia sama sekali tidak marah, tidak juga kecewa, sangat jauh berbeda dengan anak-anak yang akan sedih saat sesuatu yang tidak di inginkan tidak dapat dia miliki, Rafa hanya tersenyum kecil mendengarku menggeleng menampik tanyanya. Sayang sekali anak sepintar dan sebaik Rafa harus kehilangan sosok Ibunya bahkan sebelum dia bisa mengenali dunia. Tidak bisa aku bayangkan betapa pedihnya hati Mas Dika saat dia seharusnya bahagia menyambut kehadiran buah hati mereka, dia justru kehilangan Istrinya. Aku yang sama sekali bukan siapa-siapa dan tidak mengenal Mas Dika saja turut sedih saat mendengar Ibu menceritakan bagaimana asal muasal anak sahabat beliau itu mendapatkan gelar dudanya di usianya yang baru saja menginjak 30an tahun "Yang Mbak cari Serka Dika yang itu, kan?" Aku tersentak dari lamunan saat mendengar ucapan dari Pratu yang sedari tadi bersamaku, melihat ke arah mana tangan itu menunjuk dan benar saja, dari kejauhan aku melihat sosok yang kemarin membisu seperti patung berjalan ke arah kami. Sendirian, tanpa Rafa. Dan Mas Dika berjalan kaki, pantas saja lama, gumamku dalam hati. "Iya, Ayahnya Rafa yang itu." Aku bangun, berdiri menunggu sosok itu mendekat. "Mbak bukan orang pertama yang nyariin Serka Dika, beliau baru beberapa waktu di sini, tapi ada saja paket yang di titipin di pos jaga buat beliau, memang ya kalau orang ganteng, walaupun Duda penggemarnya tetap banyak, beda sama jomblo single tapi muka pas-pasan kayak saya." Aku menoleh ke arah Pratu bernama Doni ini, mengernyit heran sama seperti yang dia lakukan dari tadi terhadapku, laaah, nggak ada angin nggak ada hujan, nggak kenal sama sekali, tapi dia bisa-bisanya curhat keresahan hatinya, tidak tahu saja jika yang di curhatinya juga jomblo. Tapi memang benar apa yang di katakan oleh Pratu tersebut, walaupun hanya mengenakan kaos oblong polos, di tambah dengan celana pendek lengkap dengan sandal jepit, sosok Ayahnya Rafa ini memang harus aku akui ganteng. Dan sama seperti kemarin yang membisu tanpa suara, Mas Dika pun hanya melihatku yang ada di depannya dalam diam, raut wajahnya yang kelewat lempeng langsung bikin aku garuk-garuk kepala bingung bagaimana menghadapi orang pendiam sepertinya. Seharusnya Mas Dika menyapaku, menanyakan kenapa pagi buta aku ada di sini mencarinya, tapi dia malah diam, berdiri seperti patung dan seperti menungguku berbicara lebih dahulu, sungguh hal tidak menyenangkan ini semakin menjadi saat Pratu yang tadi menemaniku ngacir masuk ke dalam Pos, sepertinya dia juga nggak nyaman dengan sikap pendiam dari Mas Dika ini. Hingga akhirnya aku tidak tahan lagi, setengah ketus aku bersuara, "Hanum kesini di suruh sama Ibuk, Mas Dika. Di suruh buat nanyain Rafa sudah mau masuk ke tahun ajaran baru ini apa nggak? Kalau iya, Hanum urus sekalian saja di sekolah tempat Hanum bekerja." Mas Dika hanya mengangguk, hal yang membuatku semakin heran, ini maksud anggukannya itu Rafa waktunya sekolah, atau setuju mendaftarkan Rafa di sekolah tempatku bekerja. Astaga, kenapa sulit sekali berbicara dengannya, sih? Aku curiga jangan-jangan Mas Dika ini sebenarnya bisu. "Kalau Mas Dika mau daftarin Rafa ke sekolah lain yang bukan sekolah tempat Hanum kerja ya nggak apa-apa, Mas. Intinya Hanum datang di minta Ibu buat nanyain sama bantuin Rafa buat pendaftaran." Dengan tegas aku segera menjelaskan, tidak ingin Bapak Duda ini salah sangka aku datang di pagi buta ini karena hanya mencari target murid dan anaknya hanya menjadi sasaranku. "Nggak, Num." Aaahhh, akhirnya dia bersuara juga. Lega rasanya mendapati dia tidak bisu, aku kira dia hanya ama berbicara pada anak dan orang tuanya saja, "Jika kamu mau membantu buat urus pendaftaran Rafa masuk PAUD saya justru berterimakasih, saya benar-benar tidak tahu bagaimana mempersiapkan anak yang masuk sekolah." Aku mengangkat tanganku, membentuk tanda OK dengan kedua jariku, "siap, Mas. Kalau begitu bisa aku ketemu sama Rafa? Sekalian dokumennya juga, kalau bisa dan juga boleh aku mau ajak Rafa ke sekolahku." Untuk sejenak laki-laki yang ada di depanku ini tampak berpikir, aku sudah mengira jika dia akan menolak, hal yang normal mengingat aku termasuk orang asing untuk mereka berdua di Kota ini, jika bukan karena persahabatan orangtua kami, mungkin kami tidak akan mengenal. Tapi nyatanya aku keliru. "Rafa masih tidur jam segini, kamu keberatan datang ke rumah? Apa nggak ngerepotin kamu bawa Rafa ke sekolah? Saya bisa antar dia nanti kalau kamu buru-buru." Aku melongok jam tanganku, melihat jika aku masih cukup waktu untuk menyiapkan Rafa, ayolah, mendandani anak selucu dan seganteng itu adalah hal menyenangkan untukku. "Masih pagi, Mas. Hanum bawa Rafa saja sekalian, kata Ibu di sini Mas Dika sama Rafa sendirian." Dan sama seperti tadi, laki-laki ini manggut-manggut menurut pada ucapanku, dan hal yang mengherankan adalah dia yang mengulurkan tangannya padaku, mau minta apa Pak Duda ganteng dariku? Tidak mungkin kan dia minta hatiku. "Kunci motormu mana? Saya boncengin ke Barak, kasihan kalau jalan kaki." Eleeeehhh, Hanum! Salah sangka dan kegeeran, kan? Hello, menurutmu dia minta tanganmu buat di gandeng?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN