Bagian 1

1616 Kata
Kontes Menulis Innovel II -- The girl power Setiap perjalanan selalu saja ada kerikil yang menghalangi. Tapi tak peduli seberapa banyak ia menghalangi, percayalah akan selalu ada seseorang yang menemani. Hari masih pagi. Matahari masih terlihat malu-malu menampakkan diri. Tapi sinarnya sudah cukup menghangatkan tubuh dari dinginnya embun pagi. Jalanan juga masih terlihat lenggang dari padatnya transportasi di ibukota. Hari ini Kian sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya karena ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan pagi ini. Dan menghindari kemacetan adalah pilihan terbaik. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk Kian sampai dikantor dengan menggunakan bis kota. Dia benar-benar lega karena jalanan sangat lenggang sesuai harapannya. Bis berhenti tepat di halte dekat pintu masuk halaman kantor. Setelah turun dari bis Kian menatap Gedung tinggi didepannya yang memiliki hampir 15 lantai menjulang dengan gagahnya. Sedangkan ruangan Kian sendiri berada di lantai 14. Ada beberapa gedung perkantoran yang dibangun disepanjang lokasi ini. Terlihat beberapa gerobak makanan juga sudah berjejer rapi di trotoar depan gedung, menunggu pelanggan yang datang. Beberapa orang yang mungkin tidak sempat sarapan dirumah. Sambil melangkahkan kaki, Kian sempat beberapa kali menguap. Sepertinya ia masih mengantuk. Ia berniat mampir ke pantry untuk membuat secangkir kopi, menghilangkan rasa kantuk yang masih menerpanya. Diliriknya sebentar jam tangannya, masih ada waktu pikirnya. Ia memasuki lift bersamaan dengan beberapa orang yang sudah menunggu terlebih dahulu. Walaupun masih terlalu pagi, tapi sebagian orang sudah terbiasa berangkat sepagi ini. Setelah keluar dari lift, Kian berjalan melewati ruangan kerjanya menuju pantry yang terletak dipaling ujung lantai ini. Di lantai ini kurang lebih ada sepuluh ruangan yang ditempati oleh setiap departemen yang berbeda. Karena mengantuk, Kian tidak begitu fokus memperhatikan sekelilingnya. Dia tidak menyadari seseorang sedang berada di pantry. Padahal dari kaca pintu seharusnya sudah terlihat jika Kian memperhatikannya. Gadis itu justru terkejut mendapati seseorang yang ada didalamnya. "Kak Rendy." Tanpa sadar mulutnya mengucap nama orang itu dengan pelan. Kenapa dia sudah ada disini sih, sepagi ini lagi. "Ehh Kian, kamu sudah datang?" tanyanya sambil mengaduk sesuatu yang ada didalam gelasnya. Sepertinya dia sedang menyeduh kopi instan. Terlihat dari kemasan yang masih tergeletak di atas meja. "Iya Kak, ada pekerjaan yang harus aku kerjakan pagi ini," jawab Kian sedikit agak canggung. Tanpa aba-aba otaknya kembali memutar kejadian semalam, dimana Rendy mengantarkannya pulang. Awalnya pria itu hanya menawarkan tumpangan sampai di depan komplek, tapi entah kenapa dia malah mengantarkan Kian sampai didepan rumahnya. Lebih tepatnya dirumah Bibinya. "Kamu mau buat kopi?" tanya Rendy sambil mengangkat gelasnya, membuyarkan lamunan. Dengan ramah pria itu mengukir senyum di bibirnya. Membuat Kian meleleh. Tuh kan gara-gara bertemu Rendy di pantry sepagi ini membuat Kian kehilangan fokusnya, niatan untuk membuat kopi tiba-tiba menghilang begitu saja. "Hmmm iya, Kak." Kian meraih gelas yang ada disamping Rendy lalu membuka lemari mengambil sebungkus kopi sachet yang tersimpan disana. Sambil terus mengaduk kopi nya, ekor mata Kian melirik Rendy yang sedang berdiri disampingnya. Seulas senyum terpancar dibibir Kian. Pria tampan dengan tinggi diatas rata-rata ini terlihat lebih cocok menjadi seorang aktor ketimbang karyawan biasa di sebuah perusahaan. Berlama-lama memandangnya bisa membuat polusi di jiwa jomblonya yang bergejolak. Tak ingin larut dalam pikiran konyolnya, Kian melangkahkan kaki keluar menuju ruangan kerjanya. Setelah sebelumnya pamit dengan Rendy. "Semoga harimu menyenangkan," balas Rendy setelah Kian pamit undur diri dari hadapannya. Tak dipungkiri ucapan Rendy yang seperti itu saja sudah bak mantra yang menyihir Kian. Gadis itu tak hentinya tersenyum sambil membuka beberapa file di mejanya. Memulai pekerjaannya dengan wajah sumringah, hingga tumpukan file tak terasa seperti beban lagi diharinya. Bagaimana tidak, cowok keren, tampan, tinggi, memiliki lesung pipi dikanan dan kiri yang digilai banyak wanita itu mengantar Kian pulang kerumah semalam. Belum lagi hari ini, saat mereka bertemu di pantry. Tanpa Kian duga, Rendy mengucapkan mantra sihir itu padanya. Bagi Kian, ia seperti mendapatkan bonus berkali lipat dari gaji bulanannya. "Hei, kenapa senyum-senyum sendiri? Kamu habis kesambet?" Suara Dina, rekan kerja Kian tiba-tiba saja mengagetkan gadis itu dari lamunannya. "Apa sih, memang siapa yang senyum-senyum sendiri?"jawab Kian berusaha mengelak. "Lihat tuh di cermin! Muka kamu dari tadi senyum-senyum sendiri tahu. Memang ada apa sih?" tanya Dina penasaran. "Mau tahu aja deh," balas Kian dengan nada meledek. Telak membuat gadis yang dihadapannya berwajah masam. Melihat wajah sahabatnya yang berubah seperti itu, akhirnya Kian mengalah. "Semalam, Kak Rendy mengantarku pulang sampai kerumah. Dan hari ini aku bertemu dia di pantry. Kamu tahu tidak, saat aku mengingat senyumnya, aku jadi senyum-senyum sendiri," jawab Kian penuh semangat. Dari dulu ia memang mengagumi pria itu. Selain tampan, baginya Rendy penuh kehangatan. Tidak heran banyak wanita yang mengejarnya. "Serius???" tanya Dina tak percaya. Bagaimanapun dia tahu bahwa pria tampan itu sudah memiliki kekasih. Ya walaupun banyak wanita yang masih saja berusaha merebut perhatiannya. Tapi dia tidak ingin Kian berharap lebih apalagi jika ujung ujungnya akan terluka. Dina bukan hanya teman sekantor Kian tapi lebih dari itu, dia adalah sahabat terdekat Kian. "Iya serius," jawab Kian dengan mata berbinar. "Jangan baper Kian, kamu kan tahu sendiri dia sudah punya pacar. Belum lagi penggemarnya yang masih terus mengejarnya, memang kamu siap bersaing dengan mereka?" Dina mencoba mengingatkan sahabatnya. Raut sumringah mendadak hilang dari wajah Kian, kini berubah murung seketika. Gadis itu hanya menundukkan kepalanya. Ahh benar, aku seharusnya lebih tahu diri. Mungkin saja dia mengantarkanku semalam hanya karena kasian melihatku berjalan sendiri dimalam hari. Bagaimana mungkin aku berpikir dia akan menyukaiku. Matahari terus merangkak naik hingga memantulkan panas ke apa saja yang ada dibawahnya. Membuat orang-orang enggan berkeliaran diluar ruangan. Tapi tetap saja ada yang keluar sekedar mencari makan siang diluar sana. Sedangkan Kian memilih untuk menghabiskan bekal makan siangnya di ruang istirahat yang bersebelahan dengan Mushola. Kian lebih sering membawa bekal sendiri daripada beli diluar. Karena bibi selalu memasak untuk bekal paman, jadi sekalian dia membungkus untuknya sendiri. Selain itu juga menghemat pengeluaran Kian tentunya. Ada Dina disamping Kian yang terus bicara panjang lebar sambil mengunyah makanannya. Dina sendiri membawa bekal makan siang yang tadi pagi sempat dia beli di warteg dekat rumahnya. Katanya lebih murah daripada makanan yang dijual disekitaran kantor. Maklum saja bagi karyawan biasa seperti Kian dan Dina menghemat pengeluaran adalah salah satu yang wajib mereka lakukan jika ingin mempunyai tabungan. Terlebih makanan yang dijual disekitar kantor harganya bisa lebih mahal ketimbang mereka beli diluar. "Kian, kamu tahu tidak minggu depan peringatan hari ulang tahun perusahaan lho!" ujar Dina antusias. "Terus..?" tanya Kian datar. "Perusahaan bakal mengadakan gathering keluar kota untuk semua karyawan pusat. Dengar dengar sih mau ke puncak. Menurut kamu gimana?" "Ya mau kemana saja memang bisa nolak?" Kian balik bertanya. Dia tahu apapun yang diputuskan perusahaan, sebagai karyawan Kian harus patuh. Asal jangan disuruh melompat ke jurang saja, batin Kian. "Iya juga sih, tapi kan kayaknya lebih enak dipantai ya. Hitung-hitung bisa menikmati olahraga pantai gratis. Pengen tahu rasanya naik banana boat terus dijatuhin ke laut gitu" lanjutnya membayangkan. "Hmm itu sih mau nya kamu," balas Kian sambil membereskan sisa bekal makan siangnya. Lalu berjalan ke mushola meninggalkan Dina yang masih asik berkhayal. Selesai sholat dzuhur, Kian kembali ke ruang istirahat untuk mengambil tempat bekal makan siang yang tadi dia letakkan di meja. Baru saja hendak beranjak meninggalkan ruang istirahat, Kian terkejut saat seseorang memanggilnya. "Kian," panggil orang itu. Saat merasa namanya dipanggil, tentu saja dia menoleh. "Eh iya, Kak Rendy," jawabnya setelah melihat siapa yang baru saja memanggilnya. Rendy baru saja keluar dari mushola saat Kian hendak meninggalkan ruang istirahat. "Kamu istirahat disini?" tanya nya basa basi. Padahal dia sudah tahu setelah melirik tempat bekal yang dipegang Kian. "I-iya kak," jawabnya sedikit canggung. Walaupun mereka sering bertegur sapa, entah kenapa Kian masih saja merasa canggung setiap kali mereka bertemu. Dan anehnya rasa canggungnya justru membuat Rendy senang. Terbukti saat mereka bertemu Rendy seringkali tersenyum menyeringai. Membuat Kian semakin salah tingkah. Setelah acara bertegur sapa selesai, mereka berjalan memasuki ruangan kerja sambil diselingi obrolan kecil. Tempat mereka bekerja berada dalam ruangan, hanya saja dibatasi pembatas setinggi d**a disetiap bagian. Kian dan Dina berada di bagian administrasi, sedangkan Rendy berada di bagian marketing. Selesai jam makan siang, sekarang waktunya mereka kembali ke pekerjaan masing-masing. Karena tempat mereka bekerja saat ini adalah kantor pusat dari sekian banyak cabang supermarket yang tersebar di Ibukota, maka suasana kantor akan terlihat sangat sibuk di jam kerja seperti ini. Beberapa di antaranya ada yang bertemu klien, mengangkat telepon dari cabang atau supplier, atau sibuk dengan file mereka yang tertumpuk diatas meja. Mereka memiliki peran masing-masing dalam pekerjaannya. Hingga tak terasa senja sudah mulai menampakkan diri, langit pun mengeluarkan cahaya temaramnya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Kian sedang membereskan sisa file yang masih berserakan di mejanya. Hari ini pekerjaannya selesai lebih cepat sebelum jam pulang. Jadi dia tak perlu lembur seperti kemarin. Kian juga khawatir jika dia lembur justru akan bertemu dengan Rendy lagi seperti kemarin. Setelah semua beres dan rapi, Kian mengajak Dina untuk pulang bersama. Berhubung karena arah rumah mereka sama. Mereka pun turun menggunakan lift sambil sesekali tertawa disela-sela obrolan mereka. Begitu mereka keluar dari gedung, ternyata Dina sudah ditunggu oleh kekasihnya di parkiran halaman gedung. Dan itu artinya Kian akan pulang sendiri tanpa ditemani Dina "Maaf ya Ran, tidak jadi pulang bareng. Aku tidak tahu kalo Doni akan menjemputku," ucap Dina dengan nada menyesal. Padahal Dina tak perlu merasa menyesal, toh itu bukan salahnya. Tapi karena dia sahabat Kian, gadis itu merasa tak enak jika harus meninggalkan sahabatnya pulang sendiri. "Tidak apa-apa Dina, kasian Doni sudah menunggumu" balas Kian. Dina berjalan menghampiri Doni yang menunggunya diatas motor. Pria itu terlihat memakaikan helm ke kepala Dina lalu mengaitkannya. Setelah itu Doni menyalahkan mesin motornya. Sebelum pergi, Dina sempat melambaikan tangan pada Kian lalu motor pun melaju meninggalkan area parkir. Menyisakan Kian yang menatap mereka menghilang dibalik keramaian jalan. Indahnya melihat dua orang yang sedang jatuh cinta. Apalagi jika bisa merasakannya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN