"Lho Re, kamu kesini malam-malam? Nggak bilang-bilang dulu biar Mama suruh sopir buat jemput," Sarita ibu dari Renata terkejut saat tiba-tiba sang puteri sudah memeluknya dari belakang saat ia tengah mempersiapkan makan malam di dapur.
"Kan nggak niat Ma, lagian kalau nunggu di jemput kan waktu tempuhnya jadi dua kali lipat, kelamaan."
"Tapi kamu itu kan perempuan Re, Mama nggak tenang kalau kamu jalan jauh malam-malam begini sendirian."
"Jangan khawatir, aku cari jalanan yang ramai kok Ma," jawab Renata sambil mencomot satu perkedel di piring yang di sedang di siapkan ibunya untuk makan malam.
"Sudah izin sama suami?"
Renata menggeleng.
"Dia nggak lihat ini Ma."
"Ck, jangan gitu, biar nggak lihat tapi izin ke suami kalau mau pergi itu wajib lho Re. Biar dapar ridhonya, Mama aja nih mau ke pasar tadi pagi izin ke Papamu walaupun beliau lagi jauh di luar negeri."
"Iya Ma, maaf."
"Minta maafnya ke Arkan."
"Iya, nanti."
"Sana ke kamar dulu, telpon Arkan, mandi, terus turun lagi buat makan malam. Tunggu Mbak sama Masmu pulang, lagi ajak Asha pergi beli mainan."
"Siap Mam."
Renata akhirnya naik ke kamarnya setelah lebih dulu menyapa beberapa asisten rumah tangga ibunya yang ia lihat. Renata memasuki kamar tidurnya lagi setelah satu tahun tak pernah lagi ia tinggali, hanya sesekali dia beristirahat di sana di kala siang, saat ada acara di rumah orang tuanya, malam harinya ia selalu pulang dengan Arkan dan tidur di apartemen milik suaminya itu.
Kamarnya sewaktu gadis ini bisa di bilang kecil di bandingkan bangunan mewah rumah orang tuanya, Renata dulu takut tidur sendiri di kamar yang terlalu luas, sehingga di buatkan kamar yang kiranya nyaman untuk dia tempati.
Renata turun kebawah untuk ikut makan malam. Di sana sudah ada ibu, kakak laki-lakinya dan istri, juga anak perempuan mereka yang baru berusia lima tahun, bernama Ashara Raditya Putri. Nama yang dulu Renata cemooh karena terkesan memaksa untuk meletakan nama sang Kakak, juga istrinya Putri di dalam nama anak perempuan pertama mereka itu.
"Tanteeee...." Asha langsung turun dari kursi dan memeluk Renata. "Kangen."
"Samaaaaa."
"Lagi kesepian ya Re, makanya pulang," tanya sang Kakak mulai memulai aksi meledek adiknya.
"Tau aja."
"Arkan belum pulang?"
"Pulang semalem, berangkat lagi tadi siang."
"Kilat amat, ngapain? Ngecas doang?"
"Radit, mulut kamu tuh ya," omel sang ibu.
"Maaf Ma."
"Iya, emang kenapa Mas, nggak boleh?" sewot Renata.
"Ya boleh, lagian siapa si yang melarang suami bucin ke istri sendiri."
Bucin? Mungkin itu yang orang lain lihat dari hubungannya dengan Arkan.
"Kamu apa besok libur Re?" tanya Ibunya.
"Nggak Ma."
"Berangkat dari sini kejauhan dong sayang, besok di antar sopir aja ya."
"Iya Ma, pulangnya aku kesini lagi aja ya?"
"Senyamannya kamu aja, yang penting kamu kasih tahu Arkan."
Sang ibu memahami kesepian yang di rasakan puterinya, karena ia pun merasakannya, bedanya sekarang dia sudah ada anak bahkan cucu yang bisa mengusir kesepiannya sepulang bekerja, karena sering di tinggal ke luar kota bahkan luar negeri oleh sang suami. Suaminya itu tak hentinya mendalami ilmu kedokterannya hingga ke luar negaranya sendiri. Beda dengan dirinya yang hanya menguasai satu bidang ilmu kedokteran yaitu, dokter anak dan hanya praktek di rumah sakit terdekat khusus untuk ibu dan anak, bukan rumah sakit milik keluarganya. Dia memilih istirahat dan tidak bekerja lagi di Rumah sakit besar yang dulu di bangun oleh mertuanya, hingga di teruskan oleh anaknya dengan bekerjasama dengan keluarga orang tua menantunya untuk lebih membesarkan dan membuka cabang rumah sakit itu di berbagai kota, hingga sebesar sekarang. Ritme berkeluarga dengan sering berpisah seperti ini sudah menjadi hal biasa dalam keluarga besarnya.
***
Arkan menepati janjinya untuk datang makan siang di rumah keluarga Pak Indra, mantan pasiennya. Dia menyempatkan diri untuk datang kesini di tengah kesibukannya, walaupun hari minggu biasanya Arkan tetap datang ke rumah sakit jika tidak sedang pulang ke Jakarta untuk bertemu istrinya. Beberapa hari lalu istrinya memberitahu lewat pesan bahwa beberapa hari ini tengah menginap di rumah orang tuanya, jadi Arkan sedikit tenang walau akhir pekan ini dia tidak pulang kesana.
Arkan memasuki rumah yang ternyata tak sesederhana seperti sang tuan rumah ucapkan waktu itu. Arkan di antarkan oleh seorang yang sepertinya salah satu pengawal Pak Indra jika di tilik dari seragam hitamnya.
"Silahkan Mas, jalan lurus saja Bapak sudah menunggu untuk makan malam di halaman belakang."
"Baik Pak, terimakasih."
Arkan berjalan lurus seperti yang orang tadi arahkan. Saat melewati sebuah dinding kaca yang lumayan panjang dirinya terpaku dengan pemandangan wanita yang tengah asyik berenang di sebuah kolam panjang di dalamnya. Wanita yang belakangan ini terus berkeliaran di otaknya, dan saat ini tengah berenang di depan matanya menggunakan pakaian yang bisa di bilang sangat memanjakan mata laki-laki. Arkan memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan.
Tibalah ia di sebuah gazebo luas di taman belakang rumah itu, di sana sudah ada Pak Indra dan istrinya yang sudah menunggu.
"Selamat datang dok, maaf saya tidak menyambut anda di di depan. Istri saya masih melarang saya untuk terlalu banyak bergerak," ucap Pak Indra sambil menyalami Arkan dan mempersilahkan duduk.
"Tidak apa-apa Pak, terimakasih" jawab Arkan.
"Ma, tolong panggilkan Dhara, katanya mandi tapi kok lama sekali."
"Iya Pah, sebentar."
"Maaf ya Dok, tunggu anak saya sebentar."
"Iya Pak."
Yang tengah duduk di sampingnya adalah Dhara yang sudah berpakaian lengkap dan pantas, tetapi bayangan lekukan-lekukan tubuh Dhara yang tak sengaja ia lihat tadi terus menari di kepalanya. Membuat Arkan ingin segera undur diri dari tempat ini. Demi Tuhan dia bukanlah tipe pria berpikiran c***l, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dan jujur saja Arkan frustasi dengan apa yang terjadi dengan otak dan reaksi tubuhnya saat ini.
"Ehm... maaf Pak, Bu, saya tidak bisa berlama-lama di sini, karena ada urusan yang harus saya selesaikan di rumah sakit. Dan terimakasih atas jamuan makan siangnya," ucap Arkan berpamitan setelah acara makan siang mereka selesai. Tidak banyak obrolan yang mereka lakukan, sang tuan rumah lebih banyak menceritakan perihal puteri semata wayang mereka, sesuatu yang membuat Arkan semakin merasa tak nyaman.
"Iya dok, tidak apa-apa, justru saya yang mengucapkan banyak terimakasih karena sudah mau menyempatkan waktu untuk memenuhi undangan saya."
Arkan mengangguk dan menundukan kepala sebagai bentuk kesopanan karena akan meninggalkan rumah itu. Dia keluar dari rumah itu tanpa melihat Dhara sedikitpun, membuat gadis itu terlihat mengernyit bingung. Dhara tidak salah memang, kesalahan ada pada dirinya yang tak bisa menguasai hati, otak, serta tubuhnya untuk tak mengingat-ingat indahnya tubuh gadis itu.
Malamnya Arkan pergi ke suatu tempat, tempat di mana dia hendak menenangkan pikiran dan berusaha menghilangkan wajah gadis itu di kepalanya. Arkan baru saja mengirim pesan pada istrinya bahwa dia akan pulang ke Jakarta esok hari, dia perlu waktu untuk menetralkan isi kepalanya. Arkan tak mau menggauli istrinya dengan membayangkan wajah wanita lain lagi seperti waktu itu.
Sayangnya, ternyata jalan yang di tempuh Arkan salah, di tempat itu seseorang yang ingin dia lupakan justru tengah melakukan hal yang sama dengannya, bersama beberapa orang temannya.