Dua

1084 Kata
Hasil rapat yang Renata hadiri membuatnya terdiam, hatinya nelangsa, keputusan yang di ambil para petinggi rumah sakit untuk memindahkan Arkan ke rumah sakit cabang di Semarang membuat tubuhnya berasa kaku dan tak bisa bergerak. Dan yang membuat ia kecewa pada Arkan ialah, suaminya itu tak mendiskusikannya lebih dulu padanya, padahal sang suami jelas sudah tahu akan rencana itu. Walaupun dia juga berada di ruang rapat tadi untuk di mintai persetujuan, menyetujui keputusan itu atau tidak, Renata berat untuk menolak. Dia tak mungkin menentang kebijakan yang sudah di rencanakan dengan baik. Arkan jelas-jelas sangat di butuhkan rumah sakit itu saat ini. "Kenapa nggak Mas Dirga aja yang di rekomendasikan untuk pindah ke sana Mas?" tanya Renata pada suaminya setelah rapat selesai dan tinggal mereka berdua di ruangan itu. Dirga adalah Kakak ipar laki-laki dari Arkan beliau juga seorang dokter dan memegang jabatan penting rumah sakit juga. "Tadinya iya Re, cuma ternyata yang di butuhkan di sana saat ini adalah dokter jantung selain untuk menjadi direktur." "Dan kamu tega ninggalin aku di sini Mas, sendirian?" tanya Renata dengan tenggorokan tercekat. "Maaf, tapi ini sudah menjadi resiko dengan profesi seperti kita ini Re," jawab Arkan. "Oke." Renata keluar dari ruangan itu lebih dulu, dadanya sesak dan airmatanya tak bisa ia tahan lebih lama lagi. Dia lalu berjalan menuju ke ruangannya, mengunci dirinya di sana dan menumpahkan segala sesak di dadanya. Arkan menyusulnya, menenangkan dirinya, membujuknya, dengan memeluk tubuhnya saat dia menangis seperti ini. Itu hanya mimpi bagi Renata, mimpi yang tak tahu kapan bisa terwujud. Renata membatalkan rencana untuk menginap di rumah orang tuanya. Dia tidak mungkin berada di sana dalam keadaan hati sekacau ini, matanya yang bengkak pasti akan menjadi pertanyaan untuk keluarganya walaupun untuk kepindahan Arkan bulan depan mereka sudah di pastikan mengetahuinya. Di mata keluarganya tingkahnya ini akan terlihat sangat berlebihan, mengingat di keluarganya menjalani hubungan pernikahan dengan jarak jauh sudah biasa, karena kebanyakan dari mereka sama-sama mempunyai kesibukan dengan profesi masing-masing. Seandainya dia dan Arkan menjalani pernikahan normal dengan dasar saling mencintai pasti hati Renata takkan sekacau ini. Bila dengan berdekatan dan bertemu setiap hari saja Renata belum mampu menembus hati Arkan, apa kabar bila mereka saling berjauhan? Hubungan pernikahan mereka memang terlihat baik-baik saja, bahkan pertengkaran pun tak pernah terjadi di antara mereka. Untuk urusan ranjang juga sangat baik mereka melakukannya dengan rutin seperti terjadwal, tidak ada di antara mereka yang menolak bila salah satunya menginginkan. Hanya saja semuanya terasa hambar untuk Renata, saat melakukannya Arkan seperti hanya melakukannya atas dasar kewajiban saja. Bahkan Arkan enggan saat harus mencium bibir Renata terlalu lama, dia selalu mengalihkannya kebagian tubuh Renata yang lain. Terkadang timbul rasa di diri Renata untuk bisa bermanja pada Arkan, tetapi lelaki itu selalu menghindar. Bahkan setelah selesai bercinta pun tak jarang Arkan meninggalkannya di ranjang sendirian, tak pernah ada peluk hangat suaminya hingga ia tertidur. Bahkan selama ini Arkan tak pernah memeluknya secara cuma-cuma seperti pasangan suami istri pada umumnya, bercanda atau berbicara santai berdua. Pernikahan mereka ibarat sebuah ikatan bisnis, hanya ada ke formalan di dalamnya. Seharusnya Renata bisa menerimanya mengingat mereka menikah bukan karena atas dasar saling mencintai. Tapi rasanya hal itu selalu membuat Renata merasa sedih dan tersiksa, seandainya dia tak sampai jatuh cinta pada suaminya mungkin rasa sedih ini takkan pernah ada, bagaimanapun Arkan bersikap padanya hatinya padti takkan terusik. Meninggalkan Renata dan jauh darinya pasti bukan sesuatu yang sulit bagi Arkan. Setelah mengabari Arkan bahwa ia tak jadi ke rumah orang tuanya, Renata memutuskan untuk pulang, mandi dan tidur. Kepalanya sakit karena terlalu banyak menangis. *** "Re.....?" Sayup-sayup Renata mendengar sebuah suara memanggil namanya. "Kamu sakit?" Saat Renata membuka mata ternyata Arkanlah yang sedang duduk di tepi ranjang tempatnya tidur. "Nggak Mas, kenapa?" tanya Renata pada Arkan yang tengah menatapnya. "Makan dulu, saya udah masak nanti lanjut tidur lagi." "Aku nggak lapar Mas." Jawab Renata, dan tanpa berkata lagi Arkan keluar dari kamar itu. Ada banyak tanya di benak Renata, sudah berapa lama Arkan pulang. Selain dia bilang sudah memasak, suaminya itu terlihat sudah mandi dan berganti pakaian, dengan kaos dan celana pendek yang biasa di kenakan di rumah. Tak berapa lama Arkan kembali lagi ke kamar, membawa nampan berisi makanan juga air putih. "Duduk dulu, saya suapin." Ucap Arkan sambil meletakan nampan itu di atas nakas. "Aku bukannya nggak bisa makan sendiri Mas, tapi emang lagi nggak pengin." "Ck, nggak usah ngeyel. Inget kalau mag kamu sampai kambuh lagi, nggak enak kan?" tanya Arkan seraya mendudukan Renata untuk bersandar di kepala ranjang. "Aku cuci muka dulu Mas," ucap Renata beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Arkan menatap langkah kaki Renata, ada rasa bersalah di hatinya saat menatap mata bengkak istrinya sewaktu baru pulang tadi dan menemukan Renata tengah tertidur, bahkan sang istri tak menyadari kepulangannya. Tadi sebenarnya Arkan berniat segera menyusul Renata pulang begitu tahu istrinya itu pulang lebih awal siang tadi. Tetapi tiba-tiba dia kedatangan pasien dan tak bisa menolaknya karena itu masih dalam jam kerjanya. Arkan tahu Renata menangisi kepindahannya walaupun tak mengucapkannya secara gamblang. Seharusnya dia memang tidak menerima kepindahannya ini, dirinya bisa menolak. Tetapi entah mengapa dia tak mau melakukannya, kakinya tetap saja terasa ringan hendak melangkah kemanapun kendati ada seorang istri yang seharusnya tidak dia tinggalkan. Renata keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, rambutnya juga telah di sisir dan di ikat dengan rapi. Dia lalu hendak mengambil nampan di atas nakas, namun Arkan menahan tangannya. "Biar saya aja yang suapin," ucap Arkan sembari meletakan ponselnya. "Aku nggak lagi sakit Mas, dan tentu saja bisa makan sendiri." "Saya tahu, kamu emang nggak lagi sakit, tapi lagi malas makan kan? Aaa...." Renata akhirnya mengalah, menerima suapan demi suapan yang Arkan berikan. Perhatian Arkan yang seperti inilah, yang membuat Renata selalu menaruh harap cintanya akan berbalas suatu hari nanti. Bila dirinya bisa begitu mudah memberikan hatinya pada laki-laki di depannya ini sejak pertamakali tubuh mereka bersatu, kenapa Arkan tidak? Mengingat hal itu membuat Renata menertawakan dirinya sendiri. Sungguh murahan sekali hatinya, bertahun-tahun mengenal Arkan, kenapa dia baru mencintai laki-laki itu saat sudah menyentuh tubuhnya? Renata juga tak jarang bercermin, di bagian mana dari dirinya yang tak bisa membuat Arkan jatuh cinta? Dia selalu berusaha menjadi istri yang baik, tak banyak menuntut dari segi waktu maupun materi, dia juga bisa memasak, sesuatu yang orang bilang menjadi satu nilai plus bagi seorang istri. Dalam melayani Arkan di ranjang dia juga sudah banyak belajar agar suaminya itu tak kecewa. Terkadang ada rasa lelah di hati Renata saat menanti hari bahagia itu tiba, tetapi segala rasa lelah itu kalah oleh rasa cintanya pada Arkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN