Kamar itu terlihat begitu hancur, pecahan kaca tercecer di mana-mana, bahkan ada beberapa bekas darah di atas lantai porselen. Kedua manusia di dalam sana saling mengunci pandangan masing-masing, mereka diam beberapa saat dan mengatur napas yang sama-sama terengah lelah.
"Menyingkir!" ujar seorang pria dengan kasar. Ia menatap ngeri gadis yang kini duduk di atas tubuhnya.
"Rysh! Aku menginginkanmu!" ujar gadis itu agak keras. Ia tidak peduli jika para mafioso yang sedari tadi mengetuk pintu kamar akan mendengar. Ia perlu pelepasan, ia perlu kepuasan. Musim kawin yang kini ia lalui begitu berat, ia merasakan siksaan tersendiri dan itu begitu mengerikan.
"Nona Luzia! Anda gila!" ujar Rysh. Pria itu mendorong tubuh Luzia, namun gadis itu sulit untuk ia singkirkan. Ia memang mengakui jika Luzia memiliki wajah yang teramat sangat manis, namun ia tidak tahu jika saat musim tern tiba Luzia akan menjadi begitu nekat.
Luzia mendekatkan wajahnya, ia menatap manik mata Rysh lalu mengecup bibir pria itu. Luzia juga memasung tangan Rysh dan mengunci pergerakan salah satu eksekutif menengah Roulette itu dengan gampang. Pria itu mau tidak mau menerima kecupan dari bibir manis Luzia, ia bahkan membalas kecupan kecil itu lebih dalam dan ganas.
Tubuh Luzia mengeluarkan keringat, ia ingin Rsyh membuka semua benang yang ada di tubuhnya. Luzia memperdalam ciumannya, ia terlena dengan permainan yang Rysh berikan padanya. Bahkan, Luzia sempat berpikir jika Rysh sama saja seperti pria lain, pria yang akan memanfaatkannya untuk bercinta saja.
Di saat pertahanannya lemah, Luzia tidak menyadari satu hal. Rysh sudah membalik posisi mereka, membaringkan tubuh mungil Luzia di bawah tubuhnya. Pria itu melepas kecupan lembutnya, ia menatap Luzia yang terlihat kecewa.
"Nona Muda, apa yang Anda inginkan?" tanya Rysh dengan suara serak. Pria itu menatap peluh yang mengucur dari pori-pori kulit Luzia.
"Tubuhmu!" jawab Luzia tegas.
"Baiklah," ujar Rysh. Ia membuka satu persatu kancing kemeja putih yang menutupi tubuhnya, matanya masih menatap Luzia yang menelan ludahnya beberapa kali. Kemeja itu terbuka, namun belum Rysh tanggalkan dari tubuhnya. Tangan Luzia meraba tubuh mulus pria yang kini duduk di atas tubuhnya, ia begitu menyukai setiap inci dari fisik sempurna milik Rysh.
Hangat, Luzia menatap berbinar tubuh Rysh yang ada di depan matanya, "Rysh! Aku benar-benar menginginkanmu!" ujar Luzia dengan suara serak.
"Benarkah? Coba ungkapkan semua perasaanmu padaku." pinta Rysh.
"A-aku, Rsyh! Aku mohon, ini sangat menyiksa." Luzia hampir menangis, tubuhnya memang begitu sakit, ia ingin disentuh dan berikan kepuasan saat ini juga.
Dengan terpaksa, Rysh mendekatkan wajahnya. Pria itu menjilat leher Luzia, bahkan beberapa kali mengecupnya. Ia akui, tubuh anak dari eksekutif tinggi milik Roulette begitu menggiurkan.
"Emmm ahh ... R-ysh! Ahh ..." Luzia memejamkan matanya, tangannya meremas sprei putih yang menjadi alas pembaringannya.
"Nona ... ungkapkan perasaanmu, atau aku akan berhenti." Rysh berbisik, pria itu bahkan menyeringai.
"Rysh, aku menyukaimu." jawab Luzia.
"Hanya itu saja?" tanya Rysh. Tangannya kini berada di atas buah d**a Luzia, ia meremas sedikit dan kembali menjilat leher Luzia.
"Rysh, aku mencintaimu." jawab Luzia.
Rysh hanya bisa terdiam, cinta? Apa dia bisa menjadi bagian dari perasaan itu? Nasib yang ia miliki tidak memungkinkannya bersama Luzia, belum lagi kenyataan jika Nona Muda di bawah tubuhnya memerlukan seseorang yang bisa menyelamatkannya di saat musim kawin seperti saat ini.
"Maafkan aku, Nona Luzia. Aku tidak tertarik padamu, aku tidak bisa melayanimu." Rysh mengikat kedua tangan Luzia, ia bahkan menahan kaki gadis itu dengan duduk di paha Luzia. Ditatapnya mata Luzia, ia melihat gadis itu begitu tersiksa bahkan Luzia menangis dalam diam. Luzia yang ia kenal memang gadis manja, ia juga tidak menyangka musim kawin para ular begitu menyiksa ular itu sendiri.
Brak!
Suara pintu terbuka dengan kasar, begitu membisingkan. Seorang pria dengan rambut putih dan merahnya masuk dengan terburu, ia menatap Luzia yang kini menangis dalam diam sedangkan Rysh yang duduk di paha gadis itu mengenakan kemeja yang tidak di kancing.
"Kau merusak pintu kamarku, Riyuma!" ujar Rysh agak kasar. Ia memang tidak memiliki hubungan yang baik dengan Riyuma, salah satu bawahan Cancri sekaligus pengawal pribadi Luzia.
"Kau melukai, Nona Luzia!" ujar Riyuma tak kalah kasar. Ia kembali menatap Luzia, rasanya begitu sakit saat Luzia membuang muka darinya.
"Pergilah, aku menunggu Tuan Cancri untuk menjemput, Nona Muda Luzia."
"Aku yang akan mengantarnya pulang!"
Rysh menyeringai, ia tentu tahu banyak tentang perasaan Riyuma kepada Luzia. Semua anggota Roulette juga tentu tahu hal itu, sejak kecil Riyuma sudah menyukai bahkan mencintai Luzia.
"Tidak! Aku ingin bersama-" ucapan Luzia terhenti, matanya menatap seorang pria yang kini menatapnya kesal, ia juga tahu sebentar lagi akan ada banyak nasehat yang keluar dari bibir pria di depan pintu. Luzia menelan ludahnya kasar, ia mulai takut dan memilih diam.
Suara langkah kaki terdengar begitu tenang, bahkan para mafioso yang sedari tadi terdengar ribut mendadak sunyi.
"Luzia ..." orang itu berdiri di samping Riyuma, sedangkan Rysh hanya diam. Ia menyingkir dari tubuh Luzia dan berdiri di belakang orang itu.
"Apa yang kau lakukan, sayang?" tanya orang itu kepada Luzia.
"D-daddy, bu-bukannya Daddy sedang-"
"Diam!" ujar White.
Luzia menelan ludahnya kasar, selain menahan tubuhnya yang begitu panas ia juga menahan rasa takut akan kemarahan sang ayah. Gadis itu duduk, ia menundukan kepalanya. Ikatan yang ada pada kedua tangannya begitu erat, ia bahkan meringis saat mencoba untuk lepas dari ikatan itu.
"Daddy!?" dua orang pria berucap secara serentak. Mereka menatap keadaan kamar yang super berantakan, mata mereka kemudian menatap Rysh yang kini berdiri di belakang ayah mereka.
Cancri memilih untuk maju, sedangkan Lauye langsung menghampiri Luzia dan menatap adiknya tajam. Pria itu mengangkat tubuh Luzia, ia membawa Luzia keluar.
"Kakak! Kakak menggendongku seperti karung beras. Lepaskan Kak, lepas ... Salazar, tolong aku!" teriakan itu menggema, Luzia berteriak kesal pada Lauye yang membawanya pergi dan menjauh dari Rysh. Ia merasa kesal, semuanya begitu menyebalkan untuknya.
Sepeninggalan Luzia dan Lauye, Cancri menarik napasnya pelan. Ia menatap Rysh, "Maafkan kelakuan adikku, Rysh."
"Saya tidak masalah, Tuan. Hanya saja, saya merasa tidak enak hati dengan kejadian ini. Maafkan saya, Tuan." Rysh menunduk, ia merasa ngeri saat White datang dan menatap tajam Luzia. Ia tidak tahu hukuman apa yang akan Luzia dapatkan dari White yang terkenal sangat kejam.
"Cancri, kau tidak mengawasi adikmu dengan baik." White menatap Cancri yang kini hanya menatap dirinya. Pria itu kembali menatap Salazar yang baru saja masuk, tentu ia tahu jika Salazar cukup berteman baik dengan anak sulungnya. White mengembuskan napasnya kasar, ia tidak sempat menatap Rysh. Sebagai seorang ayah, ia malu dengan kelakuan anak gadisnya.
"Daddy, sebaiknya kita urus masalah ini di rumah. Dan untuk kau, Riyuma. Kembalilah ke markas Golden Snake."
"Tapi, tugas saya menjaga Nona Luzia, Tuan." jawab Riyuma.
"Kau telah gagal! Pergi berlatih, dan jangan kembali sebelum aku memanggilmu. Ini perintah!" Cancri menahan emosinya, ia menarik napas panjang. Pria itu menatap Salazar, ia merasakan sahabatnya memijat pundaknya dan itu membuatnya semakin jengkel.
"Kakak Cancri yang baik hati," ujar Salazar, ia tersenyum lebar, "Tidak baik untuk seorang pemimpin jika terlalu sering memarahi bawahannya." lanjut pria bersurai putih itu.
White hanya menggeleng, ia bergegas pergi. Pria bernama Riyuma juga melakukan hal yang sama, ia pergi dan menjalankan perintah pemimpin organisasi tempat ia bernaung.
Sepeninggalan ayah dan bawahannya, Cancri menatap Salazar. Rasa jengkel pada pria itu perlahan memudar dan itu cukup membuatnya merasa lebih senang.
"Rysh, sebaiknya bereskan kamarmu. Aku akan pergi, dan untukmu." Cancri menatap Salazar, "Terima kasih, Salazar."
"Ayo pergi, aku tahu emosimu masih sedikit tinggi," ujar Salazar.
Kedua pria itu pergi, mereka meninggalkan Rysh lalu mengusir para mafioso yang terlalu menyibukan diri dengan kejadian beberapa Waktu lalu.
...
Suasana terasa begitu sunyi, kamar dengan cat berwarna hitam terlihat lebih menyeramkan dari kuburan tua. Ada beberapa buku di atas meja, ada pula beberapa botol obat yang tersimpan rapi di sana.
"Panggil Rebecca, aku perlu bantuannya!" titah seorang pria bersurai putih. Ia melangkah masuk kedalam kamar, lalu meletakkan tubuh seorang gadis manis di atas ranjang dengan sprei berwarna hitam.
"Kau selalu bodoh untuk segala hal, Luzia," ujarnya pelan. Lauye, dialah pria itu. Kakak kedua dari Luzia, pria gila yang selalu melindungi adiknya. Ia mengingat dengan jelas, bagaimana setiap tahun ia harus membunuh pria-pria yang ingin menikmati tubuh adiknya. Bagi Lauye, Luzia tidak perlu menjadi seorang gadis rendah hanya untuk memuaskan hasratnya kala musim tern tiba. Ia tidak ingin adiknya menjadi bahan pemuas nafsu, Luzia harus selalu suci, Luzia harus mendapat pria terbaik bagi hidupnya.
Lauye duduk di atas ranjang. Walau ia tergoda dengan tubuh adiknya sendiri namun ia tidak akan menjadikan Luzia sebagai pemuas nafsu. Ia masih bisa menahan hasrat musim tern yang menjadi neraka untuknya, ia masih bisa bertahan dengan obat-obatan yang ibu dan kakak angkatnya berikan.
Tidak berapa lama, ketukan pintu terdengar. Pria itu menatap seorang wanita yang kini mengenakan jas putih, mata wanita itu menatap ke arah ranjang, ia cukup kaget.
"Luzia? Musim itu datang lagi?"
"Rebecca, biasakan bekerja dari pada bicara!"
"Maaf, Lauye. Aku akan melakukannya seperti biasa." jawab Rebecca.
Rebecca, wanita berumur tiga puluh dua tahun. Ia adalah anak angkat Chaeri dan White, gadis kecil yang pernah menyelamatkan nyawa Luzia. Rebecca segera meraih beberapa botol obat di dalam kotak yang ia bawa, ada dua jenis cairan yang ia masukan ke dalam jarum suntik. Tidak berapa lama, Rebecca menyuntikkan cairan itu ke dalam tubuh Luzia, ia menatap Lauye yang kini semakin gelisah.
"Tunggu, aku akan mengobatimu juga," ujar Rebecca. Wanita itu kembali melakukan hal yang sama, ia menggunakan obat yang sama dengan milik Luzia.
"Terima kasih." jawab Lauye.
"Aku adalah saudara angkat kalian. Itu bukan masalah bagiku." Rebecca menyuntikan cairan itu kedalam tubuh Lauye. Ia memang sudah terbiasa dengan obat-obatan, bahkan ia sering mengobati Lauye yang selalu pulang dengan keadaan mengenaskan.
"Dimana, Mommy?" tanya Lauye.
"Mommy, baru saja masuk ke dalam kamar. Daddy datang bersama Cancri beberapa menit lalu." jawab Rebecca.
"Pergilah!" titah Lauye.
Setelah mendapat pengusiran, Rebecca memilih pergi. Ia hanya sempat menatap Luzia yang kini bernapas dengan tenang, cukup baik dan dia senang.
"Luzia," ujar Lauye pelan. Pria itu berbaring, dan memeluk adiknya. Ia hanya ingin tertidur dengan tenang, rasa lelah mulai menggerogoti tubuhnya. Perlahan, mata Lauye tertutup rapat, pria itu tertidur dan berlayar ke alam mimpi begitu cepat.
...
Cancri memilih masuk ke dalam kamarnya, ia berbaring, menatap istri dan kedua anaknya yang kini sudah terlelap. Ada rasa bersalah saat ini, belum lagi tubuhnya begitu sakit sekarang.
"Lizzy ..." Cancri memanggil nama istrinya. Berharap wanita itu membuka mata lalu tersenyum padanya.
"Aku menginginkanmu, sayang." Cancri sudah tidak bisa menahan dirinya, ia hampir kehilangan akal sehat jika saja tidak ada kedua anak kembarnya. Pria itu kembali duduk, dia berdiri dan mengangkat tubuh Lizzy ke ruangan lain. Sesekali, ia mengecup lembut kening istri cantiknya itu.
Lizzy yang merasa terganggu membuka mata, ia menatap wajah pucat suaminya dengan beberapa garis hitam di wajah tampan sang suami. Mata Cancri bahkan terlihat berwarna putih, dengan satu titik hitam kecil yang dihiasi lingkaran biru laut melingkar kecil mengelilingi bintik hitam itu.
"Cancri, apa waktu itu datang lagi?" tanya Lizzy.
"Ya. Maafkan aku, Lizzy."
Lizzy menelan ludahnya kasar, ia sangat ingat bagaimana kejadian saat pertama Cancri menyentuhnya. Pria itu benar-benar membuatnya hampir mati, bahkan Cancri tidak peduli pada keadaannya saat itu.
"Aku hanya ingin menyentuhmu malam ini, Lizzy," ujar Cancri pelan. Pria itu membawa Lizzy masuk ke kamar tamu, ia tidak ingin membangunkan kedua putrinya yang masih tidur.
"Puaskan dirimu, aku tahu itu begitu menyakitkan untukmu, Suamiku." jawab Lizzy.
"Maaf, jika aku akan berlaku kasar padamu, Lizzy." Cancri meletakan tubuh istrinya di atas ranjang, ia menatap mata Lizzy, "Aku mencintaimu, Istriku." lanjut Cancri.
"Aku lebih mencintaimu, Suamiku." jawab Lizzy.