Tangannya mengepal kuat dan tidak menyangka takdir mempermainkan dirinya begitu hebat. Hati Safa semakin tak terima jika yang menjadi suaminya sekarang adalah Azril.
"Mengapa harus kamu yang menjadi suamiku?” batin Safa menjerit, tubuhnya tidak tergerak sedikit pun. Bahkan ia mengabaikan perkataan Marlan hingga sentuhan lembut terasa di bahunya membuat Safa tersadar.
“Dia sudah menjadi suamimu, Nak, beri hormat padanya!” Marlan kembali mengingatkan.
Safa menghela napas panjang dan terpaksa meraih tangan Azril seraya mengecup punggung tangannya dengan takzim. Rasanya ingin mencengkeram keras tangan itu, tetapi dirinya tak mampu dan memilih melepaskan tangannya.
“Maafkan saya Safa, saya tidak bermaksud menyakitimu." Azril mendekat dan berbicara pelan tepat di depan wajah Safa sebelum menyentuh keningnya.
Safa tidak peduli dan segera menjauhkan tubuhnya dari Azril. Netranya pun menoleh ke arah pria paruh baya yang tersenyum padanya. Terlihat wajah sang ayah tampak senang melihat putrinya berhasil menikah.
"Maafkan Ayah, Nak, semoga kamu bahagia," lirih Marlan merengkuh sang putri. Ia tahu jika tak mudah untuk putrinya, tetapi semua sudah menjadi takdir yang sudah Allah tetapkan.
Senyum getir pun terukir di bibir Safa, ingin sekali berteriak. Namun, bibirnya sangat kelu dan hanya tertahan dalam d**a membuat air matanya kembali berjatuhan.
Hati dan pikirannya sangat tidak sinkron sampai acara selesai membuat Safa tak banyak berbicara. Bahkan, ia menjadi boneka di atas pelaminan dengan ukiran senyum terbaik atas ucapan selamat dari para tamu.
Tidak hanya itu, banyak doa dan harapan pun ia telan yang mengira pernikahannya adalah yang diharapkan. Padahal, sangat tidak Safa inginkan.
"Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Kalian istirahat, ya!” Marlan sangat berterima kasih dan tersenyum kepada kedua pengantin. “Safa, ajak suamimu ke kamar."
Safa menghela napas malas, tidak mungkin membawa Azril masuk ke dalam kamarnya. Ia tahu jika Azril suaminya sekarang, tetapi hati Safa belum sepenuhnya menerima. Namun, hanya karena tidak ingin melihat ayahnya kecewa. Safa pun melangkah tanpa berbicara yang dipastikan Azril akan mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di kamar, Safa masih diam. Ia memilih duduk di depan meja rias untuk melepaskan semua aksesoris di atas kepalanya.
Sedangkan Azril yang berhasil masuk ke dalam kamar Safa membuat tubuhnya begitu kaku dan gugup. Netranya memerhatikan isi ruangan hingga berhenti ke arah Safa yang masih saja bersikap dingin.
“Safa,” kata Azril memecah keheningan.
Wanita itu tak bergeming. Ia masih sibuk dengan banyak jarum di kepalanya, tetapi emosinya sudah tak tertahan hingga membalikkan badan memandang Azril tak suka.
"Bagaimana bisa kamu menerima tawaran Ayah?"
Azril menghela napas saat melihat tatapan Safa yang membenci. Ia tahu jika Safa pasti akan marah, tetapi tidak ada alasan lagi untuk menolaknya. “Aku hanya ingin membantu ayahmu, Safa. Aku tidak bermaksud merebut kebahagiaanmu."
Hati Safa meringis dan menggerutu tak karuan. "Membantu katamu? Apa tidak ada bantuan lain atau memang kamu sengaja mengambil kesempatan yang ada?"
"Apa maksudmu, Safa?" Azril mengernyit tak mengerti.
Safa mengembuskan napas sembari mengusap air matanya yang sudah berderai. "Luka darimu masih membekas, Ril. Aku harap kamu tidak lupa akan hal itu dan sesungguhnya aku sudah melupakanmu, tetapi mengapa kamu harus datang seolah menjadi pahlawan!"
Suara keras menggema di dalam kamar, ia tidak peduli akan ucapannya yang terdengar oleh ayah. Bahkan jika sejak awal Safa tahu ayah meminta Azril sebagai calon pengganti, tanpa segan ia pun menolaknya dengan tegas.
"Aku harap pernikahan ini hanya sementara setelah Mas Faqih ditemukan. Kamu bisa pergi dan tidak perlu tanggung jawab apa pun atas diriku lagi, meski Ayah sangat berterima kasih padamu karena sudah menolong."
Wanita itu pergi meninggalkan dan hatinya masih egois tentang luka yang membekas juga rasa cintanya pada Faqih. Ia tidak memedulikan pria yang sudah menjadi suaminya dan justru berharap kekasihnya dapat hadir untuk menjemputnya.
"Tunggu, Safa!" Seketika langkah Safa pun terhenti. "Mengapa kamu mempermainkan pernikahan dengan seenaknya. Padahal kamu sangat paham agama bahkan tahu betul akan dalil mengenai hukum pernikahan."
Hati Safa menjerit. Ia memang bukan orang awam atau orang yang baru belajar agama kemarin, tetapi hatinya amat tidak terima dengan pernikahan tersebut apalagi bersama orang yang pernah melukai hatinya.
"Tidak usah berbicara hukum, Ril. Aku tidak akan berbicara begitu jika bukan kamu yang ada di hadapanku sekarang." Safa menegaskan tanpa menoleh. Dalam dadanya sudah ingin berteriak melepaskan emosi yang terbelenggu.
"Aku tahu kesalahanku, Safa, tetapi itu semua masa lalu. Apa kamu belum bisa memaafkanku?" Azril masih berdiri berharap hati Safa luluh dan tekadnya begitu kuat untuk kembali padanya.
Safa memejamkan matanya dengan buliran yang menetes. Semua memang sudah berlalu dan Safa juga sudah memaafkan, tetapi kepingan hati yang sudah hancur tidak akan bisa kembali menyatu bukan? Dan itulah hati Safa yang sebenarnya.
Tanpa menjawab, Safa memegangi dadanya yang berpacu tak karuan. Hatinya semakin nyeri mendengar kalimat Azril dan memilih pergi dari hadapannya.
"Aku tidak akan melepaskan kamu begitu saja, Safa. Aku hadir justru ingin memperbaiki semuanya. Aku berjanji akan menebus semua kesalahanku dan membahagiakanmu semampuku." Azril berbicara di saat Safa telah menghilang dari pandangan. Ia paham jika keadaannya sekarang tidak tepat, tetapi suatu saat nanti dapat kembali merebut hati Safa.
Sementara Safa mengamuk di kamar tamu. Ia mengacak semua barang di sekitarnya untuk meluapkan emosi, sama sekali tidak terima. Bagaimana bisa menjalani hidup bersama orang yang pernah menyakiti hatinya.
Safa sendiri tidak berniat mempermainkan pernikahan, tetapi hatinya tidak mungkin berbohong. Lebih baik dirinya gagal menikah daripada harus bersanding bersama Azril.
"Argh." Safa menangis tersedu, tubuhnya tidak berdaya kala mengingat kesalahan Azril juga kehilangan kekasihnya di hari pernikahan.
"Semua gara-gara kamu, Mas, andai kamu hadir aku tidak mungkin menikah dengan Azril. Di mana kamu, Mas? Kenapa kamu tega menghilang begitu saja!" Safa masih tidak terima dan terus meracau seolah keadaan bisa menariknya kembali.
"Ya Allah Neng Safa! Apa yang Neng Safa lakukan?"
Safa tertegun saat ada yang melihatnya. Ia pun menoleh dan beranjak dari ruangan tersebut. Kemudian mendekap wanita paruh baya di hadapannya yang dianggap seperti keluarga. Semenjak peninggalan ibu, Bi Inah selaku pembantu rumahnya selalu menjadi teman curhat Safa. Kini, ia kembali mengadu apa yang dirasakan.
"Neng Safa sabar, ya. Bibi tahu ini berat buat Neng Safa, tetapi Bibi yakin jika Tuan tidak bermaksud buruk sudah menikahkan Neng dengan Mas Azril. Neng Safa harus ikhlas, mungkin ini sudah jalan Allah." Bi Inah layaknya seorang ibu, ia mengusap lembut punggung Safa dan menenangkan hatinya.
Safa semakin tersedu dan berat menjalani hari yang terpaksa. Ia membayangkan jika ibu masih berada di sini apa mungkin memiliki pemikiran yang sama seperti Bi Inah?
Bahkan, kata demi kata yang keluar dari mulut Bi Inah membuat Safa terdiam. Ia tak mampu berkomentar hingga air mata terus menetes di pipinya.
“Neng Safa harus kuat, tidak boleh menyalahkan takdir.” Bi Inah semakin mengeratkan pelukannya. "Takdir Allah tidak pernah salah. Bibi akan terus mendoakan yang terbaik buat Neng Safa!"
Hati Safa sedikit tenang, ia menguraikan dekapan dan memandang wajah Bi Inah yang sudah tersenyum ke arahnya.
“Loh, Safa, ngapain kamu di sini?”
Deg!
Safa meneguk saliva kala melihat cinta pertamanya berada di ambang pintu. Ia menggigit bibirnya kuat semoga tidak menjadi masalah baru.