Livy bolak balik di depan pintu kamar dengan gelisah. Ingin keluar, tapi tidak memiliki kuncinya. Ingin mengambil kunci, tapi ia takut diterkam di dalam kamar mandi. Jadilah ia sekarang, yang hanya bolak balik saja di depan pintu kamar. Pintu kamar mandi terbuka dan Livy langsung melonjak kaget. Dilihatnya lelaki, yang hanya menggunakan selembar handuk, untuk menutupi sebagian tubuhnya saja dan tengah tersenyum menyeringai, menatap ke arah Livy yang tengah membuka kelopak matanya lebar-lebar.
Langkah perlahan ia buat dan Livy langsung menempelkan tubuhnya pada pintu. Kepalanya tertunduk dan kedua matanya terpejam, saat lelaki yang masih tersenyum ini semakin mendekati dirinya. Bahkan, ia menempelkan tangan kanannya pada pintu dan menahan Livy untuk berpindah dari hadapannya.
"Ka-kamu mau apa??" tanya Livy tanpa menatap Samuel sedikitpun.
"Apa ya? Biasanya, apa yang dilakukan, oleh pria dan wanita, bila berduaan di dalam kamar begini hm?" pertanyaan yang terdengar cukup horor bagi Livy sampai membuatnya membeliak panik.
"Kamu jangan macam-macam, nanti aku laporkan kepada ayahku!" cetus Livy yang seketika malah membuat Samuel cengengesan. Benar-benar. Ia jadi digertak terus begini. Tidak takut dengan ayah dari gadis ini. Tetapi, ia lebih takut, bila ayah dari gadis ini mengatakan kepada ayahnya. Maka habislah ia, bisa-bisa, ia dipukuli sampai cacat nanti dan diambil segala fasilitas yang telah ia dapatkan dari orang tuanya itu.
"Hah... Benar-benar. Kenapa sedikit-sedikit kamu suka sekali mengadu??"
"Karena itu pesan Mom dan Dad! Mereka bilang, aku harus selalu mengatakan, saat kamu menyakiti ku!" seru Livy.
"Siapa yang ingin menyakiti hm?? Hal itu hanya sakit diawal saja. Sekarang, pasti sudah tidak," ucap Samuel, yang kembali membuat Livy merasa horor.
"Kalau begitu, aku akan teriak!" seru Livy yang kini langsung dibekap oleh Samuel.
"Coba saja teriak," ucap Samuel sembari kembali menyeringai lagi.
Livy membeliak. Ia coba turunkan tangan Samuel sedikit lalu mulai menggigit.
"Aw!!" seru Samuel sembari menarik tangannya kembali.
"Kenapa aku digigit??" tanya Samuel.
"Kamu duluan yang mulai. Aku mau kunci kamar sekarang! Aku mau keluar!" seru Livy.
"Ck! Ini," ucap Samuel sembari mengulurkan tangannya. Tapi langsung ia acungkan ke atas, saat Livy hendak mengambil kunci dari tangannya.
"Ih! Berikan kuncinya!" rengek Livy sembari berusaha menggapai tangan Samuel. Tetapi tidak tergapai, karena ia juga yang terlalu tinggi.
Livy mencoba berpegangan pada pinggang Samuel dan berusaha meraih kunci yang menjulang tinggi itu lagi. Akan tetapi, kuncinya tidak didapat, malah handuk yang tadinya melilit di pinggang Samuel lah yang terlepas.
Keduanya seketika diam mematung. Kemudian perlahan-lahan, bola mata Livy maupun Samuel sama-sama melirik ke bawah.
"Kyaaaaaaaaaaa!!! Mommy!!!" suara pekikan yang mengundang kedatangan Grizelle, yang berada tidak jauh dari kamar Samuel.
"Sam?? Samuel!? Ada apa??" tanya Grizelle dibarengi ketukan pintu.
Samuel menarik handuknya dari bawah dan melilitkannya lagi, lalu membuka pintu kamar dan melihat sang ibu dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
"Ada apa, Sam?? Mommy seperti mendengar suara teriakan tadi," tanya Grizelle.
"Tidak apa-apa, Mom. Biasalah," ucap Samuel sembari memamerkan susunan giginya yang putih.
"Mana Livy??" tanya Grizelle.
"Ada kok," ucap Samuel sembari melirik orang yang sedang berjongkok di balik pintu dan tengah menunduk, serta menyembunyikan wajahnya pada lutut.
"Hey, ayo bangun. Mommy menanyakan kamu," ucap Livy yang mengangkat kepalanya perlahan dan melihat Samuel yang sudah mengenakan handuknya lagi.
Livy cepat-cepat bangkit dari bawah dan datang ke ambang pintu, lalu melihat wanita yang merupakan ibu mertuanya di sana.
"Kamu tidak apa-apa??" tanya Grizelle.
Livy mengangguk dan datang ke sisi Grizelle. Ia melirik kepada Samuel dulu dan kemudian berkata kepada Grizelle lagi.
"Tadi lihat kecoak di dalam," ucap Livy yang berbohong dengan terpaksa. Karena malu juga, bila harus mengatakan apa yang dilihatnya tadi.
"Yang benar?? Sudah kamu buang kecoak-nya, Sam??" tanya Grizelle.
"Belum, Mom. Tidak tahu lari kemana tadi," balas Samuel dengan cukup kooperatif.
"Ya sudah. Kamu buang dulu. Ayo, kita pergi ke bawah saja," ajak Grizelle sembari merangkul pinggang Livy dan membawanya.
Samuel menggaruk-garuk kepalanya dan menutup pintu kamar, lalu mulai bergumam sendiri. "Dasar. Seperti tidak pernah lihat saja. Pakai disebut kecoa juga lagi. Memangnya 'milikku' sekecil itu??"
Malam harinya.
Livy tetap berada di ruang tamu. Meskipun semua orang, sudah masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. Apalagi Griffin, yang sudah sangat bersemangat untuk menarik istrinya ke dalam kamar. Kalau Samantha, ia tetap asyik mengurung diri di dalam kamar, karena tugas skripsi yang sedang ia kerjakan.
Lupa. Setelah dicecar dengan banyaknya pertanyaan dari mertua maupun ipar. Ia sampai melupakan, untuk meminta kamar lain. Jadi bingung harus bagaimana sekarang. Bila meminta kepada lelaki itu, pasti dia tidak akan memberikannya. Tetapi, ia juga tidak mau, bila harus tidur satu kamar apalagi satu ranjang dengannya. Bagaimana kalau nanti malam, ia malah dijamah saat sedang tidur?
Sudahlah. Tidur di sini saja. Di atas sofa. Sudah paling aman di sini. Tidak akan ada yang berani macam-macam juga pastinya. Livy merebahkan tubuhnya di atas sofa dan memejamkan mata dengan posisi tubuh yang menyamping. Baru akan menjelajah di alam mimpi. Seseorang nampak membangunkan dirinya, dengan cara mengguncangkan bahu.
"Hey, kenapa tidur di sini??" tanya orang yang seharusnya berada di satu kamar dengan Livy.
Livy buka matanya dan perlahan-lahan duduk kembali di atas sofa, sembari mengumpulkan nyawa, yang sudah sempat melayang tadi.
"Ayo, pindah ke kamar," ajak Samuel.
"Tidak mau. Aku mau tidur di sini saja," tolak Livy.
"Ck! Jangan membuatku dalam masalah! Kalau orang tuaku tahu, aku bisa dihajar nanti!" cetus Samuel.
"Ayo," ucap Samuel sembari mencekal lengan Livy.
"Aku tidak mau!" tolaknya lagi.
"Ck! Kenapa tidak mau sih??" ucap Samuel bersungut-sungut.
"Nanti kamu berbuat macam-macam! Aku tidak mau pokoknya!"
"Astaga! Aku tidak akan macam-macam!"
"Tadi sore??" ucap Livy.
"Ya itu aku hanya sedang menggoda mu saja! Tidak benar-benar serius. Ya sudah. Ayo, kita ke kamar."
"Tapi kamu tidak akan apa-apakan aku kan??" ucap Livy lagi untuk memastikan.
"Ck! Tidak! Aku sedang tidak bernafsu! Ayo cepatlah, kita naik ke atas!" ajak Samuel lagi.
Livy mengembuskan napas dan akhirnya bangkit juga dari sofa. Ia berjalan duluan dan naik ke lantai atas, lalu masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar.
Livy menumpuk bantal di tengah-tengah, sebagai upaya untuk membatasi agar mereka tidak saling bersentuhan nanti.
"Hah dasar kekanakan," gumam Samuel sembari naik ke atas tempat tidur yang sama dengan Livy.
Tubuh sudah sama-sama direbahkan. Tetapi, sepasang mata mereka masih sama-sama terbuka. Livy lirik sekilas, lelaki yang sedang terdiam itu, lalu mulai mengajaknya berbicara.
"Kita mau bagaimana?" tanya Livy, yang merebahkan tubuhnya di sisi paling ujung tempat tidur.
"Bagaimana apanya??" tanya Samuel keheranan. Tapi masih dengan mata yang hanya tertuju ke atas.
"Hubungan ini, mau sampai kapan hubungan ini berlangsung?"
Samuel terlihat menghela napas. "Kapan ya? Aku pun bingung. Sebenarnya, aku sama sekali belum dan memang benar-benar tidak siap untuk menikah."
"Lalu, kenapa malah menikah?" tanya Livy.
"Ya karena, kalau aku tidak melakukan itu, ayahmu pasti menjebloskan ku ke dalam penjara. Aku hanya mencari aman saja. Padahal, Aku juga sudah memiliki kekasih."
"Benarkah?" tanya Livy.
"Tentu saja. Tapi aku belum memberitahukan kepadanya tentang pernikahan ini. Bagaimana denganmu sendiri? Apa kekasihmu, sudah kamu beritahu??"
"Tidak ada. Aku tidak punya kekasih."
Samuel menyunggingkan senyumnya. "Pantas saja."
"Pantas saja apa??"
"Ya pantas saja, bila tidak ada yang menyentuhmu. Bukankah, aku yang pertama kali??" ucap Samuel yang kini baru menoleh untuk menatap Livy.
Livy memalingkan wajahnya dan menelan salivanya sendiri, lalu menjawab dengan suara yang pelan. "Iya."
Samuel mengembuskan napas. "Aku rasa, kita tidak memiliki alasan untuk terus bersama. Benar kan? Jadi, bagaimana, kalau situasi sudah kondusif. Kita bercerai saja?"
"Cerai??" ucap Livy sembari melirik kepada Samuel.
"Iya. Untuk apa terus menerus dijalani, kalau kita saja, tidak merasa nyaman satu sama lain. Aku rasa, berpisah sudah jadi jalan yang terbaik. Kita bisa kembali ke kehidupan kita masing-masing. Tidak perlu lagi merasa tertekan juga."
"Lalu bayinya?" ucap Livy sembari meletakkan tangannya di atas perutnya sendiri.
"Ya kamu bisa mengurusnya. Aku tidak ingin direpotkan dengan seorang anak. Lagipula, orang tuamu pasti bisa mencukupi kebutuhannya. Jadi, kamu bebas membawanya."
"Terus, kapan kita pisah?" tanya Livy lagi.
"Kapan ya?? Jangan terlalu sebentar dan jangan terlalu lama juga. Satu tahun, sepertinya terlalu lama. Bagaimana, kalau enam bulan saja?? Tidak terlalu sebentar dan tidak terlalu lama juga. Tunggu sebentar," ucap Samuel yang kini mengambil kalender yang berada di atas meja, serta bolpoin dari laci nakas dan duduk bersandar di atas tempat tidur.
"Sekarang tanggal lima belas bulan Juni. Berarti, enam bulan dari sekarang itu tanggal lima belas bulan Desember. Nah, jadi kita akan berpisah di pertengahan bulan Desember ya?" ucap Samuel sembari membuat penandaan, dengan memberikan bulatan pada angka lima belas di bulan Desember dan juga menghitamkan angka tersebut, dengan arsiran bolpoin hitam.
"Bagaimana??" tanya Samuel.
"Iya. Atur saja," ucap Livy yang sudah mulai kembali mengantuk dan berguling ke samping, lalu memejamkan matanya.
Sementara Samuel menyimpan kalender beserta bolpoinnya lagi pada tempatnya tadi dan ikut merebahkan tubuhnya juga di sisi Livy, meski dengan jarak yang lumayan. Samuel terdiam sejenak, sembari mengembuskan napas, lalu menoleh kepada Livy yang berada di sisinya. Masih seperti mimpi saja, bila ia telah menikah dengan seorang wanita, yang tidak sengaja terlibat malam panas dengannya gara-gara salah sangka. Hanya menikmati sesaat. Tetapi malah jadi tanggung jawab seumur hidup. Oh iya, tidak sampai seumur hidup. Hanya enam bulan saja dan setelahnya, ia akan merasakan kebebasan lagi. Tidak perlu lagi berurusan dengan orang tua dari gadis ini dan tidak harus menjalani hari-hari yang berat, seperti satu pekan kemarin. Tidak apa-apa. Enam bulan adalah waktu yang sebentar. Ia pasti bisa melaluinya dengan aman. Samuel pun mulai memejamkan matanya juga dan ikut terlelap bersama dengan Livy.