"Mak, anakmu pulang,"
Teriak Feby dari depan pintu rumah sambil membuka sepatu talinya yang berwarna hitam.
Kenapa berwarna hitam? Karena Feby malas mencuci sepatu. Itu alasannya.
"Yasudah, kalau pulang ya masuk, susah kali hidup kau."
Sahut mamanya sambil menjahit baju dengan fokus.
Feby mencebik dengan kesal dan protes.
"Coba lah mak, samperin kek anak baru pulang, sapa kek, peluk kek, cium kek, romantis lah sikit,"
Tapi mamanya malah lebih galak darinya.
"Bosan mamak lihat muka kau terus, bolak-balik muka kau terus. Enak kau masuk dari pada mamak kunci pintu itu."
Cepat-cepatlah Feby masuk, jika hari mulai menjelang sore sampai maghrib mamanya selalu membuka pintu, karena menerima orderan menjahit dan juga berjualam baju.
Padahal mamanya pun sudah kerja di kelurahan.
Tapi masih saja bekerja lebih.
Dan itu semua untuk Feby.
Sejujurnya, sakit hati feby melihat ibunya sedang menjahit baju orang lain itu.
Ketika ibunya harus bekerja keras dan meneteskan air keringat untuknya.
Ini lah alasannya untuk cepat-cepat mengambil sambilan pekerjaan dan ingin menikah dengan orang kaya.
"Mulai tanggal satu, jadwal Feby full mak, ini terakhir hari rabu Feby bisa balek cepat."
Beritahu Feby yang tak dijawab apapun dengan mamaknya yang judes itu.
"Tak capek kau? Mamak cuma nyuruh kau sekolah, bukan nyuruh kau jadi guru private."
Kata mamanya Feby, Hotma.
"Ngapo dak mamak nanyo hal tu ke diri mamak dewek? Mamak dak capek?"
(Kenapa mama tidak menanyakan hal itu ke diri mama sendiri? Mama tidak lelah?)
Feby mulai menaikkan nada nya satu oktaf lebih tinggi.
Biasalah orang sumatera.
Jika bersuara besar bukan berarti mereka marah.
Hotma hanya hening, tidak menjawab pertanyaan Feby.
"Dak payah lah aku dengar mamak ngomong, la tau aku jawabannyo,"
(Tidak perlu lagi aku dengar mama ngomong, aku sudah tau jawabannya,)
Lalu Feby pun masuk ke dalam kamarnya.
Ia menangis dalam diam, tangannya pelan-pelan menghapus air mata yang ada.
Papa, Feby kangen..
Ucap Feby dalam batinnya.
Ayahandanya sudah berpulang kepada yang maha kuasa saat ia masih duduk di bangku 2 SMP.
Sejak saat itu ibunya lah yang bekerja sendirian.
Uang tabungan tak cukup banyak.
Feby memang tak punya adik.
Kakak perempuannya pun sudah menikah.
Ia tak mau meminta uang kepada Kakaknya, bukan soal apa.
Tapi ia sendiri pun tahu bahwa kakaknya pun sudah punya anak.
Dan lebih baik uang yang kakak dan suaminya punya disimpan untuk anak mereka kelak.
Agar semua sudah terpenuhi sampai nanti.
Pikiran Feby terlalu panjang.
Mungkin ini yang dinamakan kehidupan Disney.
Para princess harus kehilangan sosok yang ia sayang agar ia berubah menjadi dewasa.
Itulah alasan para princess hanya memiliki satu orang tua saja.
Karena mereka dituntut lebih dewasa dari yang di perkirakan.
Tapi Feby hanya ingin keluarganya seperti dulu lagi.
Tidak ada yang menjadi beban, dan tidak ada yang harus berkorban.
Hanya itu.
.....
Sayup-sayup Feby merasakan elusan di rambutnya, tapi ia masih berpura-pura tidur, ia tahu siapa yang mengelus rambutnya.
"Mamak sayang samo kau, nak. Cukup itu be la yang harus kau tau. Mamak dak pacak larang kau nak ini nak itu lagi. La besak kau tu, la punya KTP. Kalo dikasi lanang la biso punyo anak. Tapi tetep bae mesti sekolah, jangan nak enaknyo bae. Gek diinjak-injak lanang baru tau raso. Kau pikir kalo kau nikah enak apo? Banyak la gawe, banyak yang mesti dipikirin kage tu."
(Mama sayang sama kamu, cukup itu saja yang harus kamu tahu, mama ga bisa larang kamu untuk ini dan itu lagi. Kamu itu sudah besar, sudah punya KTP, kalau dikasih pria (pasangan) sudah bisa punya anak, tapi tetap saja harus sekolah, jangan mau enaknya saja. Nanti direndahkan sama pria baru tahu rasa. Kamu pikir kalau nikah itu enak? Banyak kerjaan, banyak yang harus dipikirin nanti.)
Feby tersenyum lembut mendengar suara mamanya.
Lalu begitu mendengar suara pintu tertutup Feby langsung mendudukkan tubuhnya.
Ia paham betul kenapa Ibunya menasehati seperti itu.
Ya...walaupun dalam keadaan tidur.
Ia ingat kemarin sempat berdebat dengan ibunya karena ingin dijodohkan dengan teman papanya yang kaya raya.
Punya ladang sawit berhektar-hektar katanya.
Jadi dengan begitu, Feby tidak harus sekolah dan capek bekerja lagi.
Begitu juga dengan ibunya.
Feby sudah berpikir panjang soal itu semua.
Tapi ia tak tega, ibunya sudah tua.
Ibunya butuh istirahat yang tenang saja dirumah.
Tidak seharusnya wanita yang sudah berumur setengah abad lebih itu tetap pontang-panting bekerja.
Tidak seharusnya.
Feby melihat jam dinding yang berdetik di kamarnya.
Sudah malam rupanya.
Sudah pukul tujuh malam.
Tidak ada salahnya jika Feby beli es krim di minimarket.
Lalu ia pun mengambil jaket, masker dan sarung tangannya yang ia gantung.
"Mak, Feby pergi makan es krim dulu la yo,"
Teriak Feby kepada mamanya yang entah dimana.
"Sekalian titip pembalut la yo! Tibo-tibo mamak halangan lagi, awet mudo nah mamak!"
Balas mamaknya yang teriak pada Feby.
Langsung saja Feby geleng-geleng, padahal mamanya sudah menopause.
Hormon dalam tubuh itu bisa berubah-ubah.
"Woke!"
Sahut Feby lalu pergi menuju minimarket.
Setelah sampai di minimarket Feby masuk ke dalam dengan masih tetap memakai masker hitam dengan cap merah muda hello kitty di bawah kecil.
Ia mengambil es krim terlebih dahulu baru setelah itu mengambil pembalut.
Tapi saat mengambil pembalut yang biasanya ibunya pakai.
Entah mengapa pembalut itu ditaruh ditempat yang palibg tinggi di rak.
Dan itu menjadi sulit digapai.
Sejak kapan ada aturan pembalut itu di taruh di tempat yang paling tinggi! Sial!
Batin Feby mengomel-omel sendiri.
Sambil menjinjit-jinjit tetap saja ia tidak bisa mengambil pembalut itu.
Tapi tiba-tiba ada orang yang berada di belakang Feby, insting Feby merasa ada orang yang menghimpitnya.
Reflek saja Feby langsung menyikut perut orang itu dan ingin mengunci tangan orang tersebut.
Tapi tangan pria itu memegang pembalut yang dia inginkan.
Feby menjadi diam, lalu mulai melonggarkan cengkeramannya.
Langsung saja pria itu memutar balikkan badannya.
"Saya cuma bantu kamu, kamu mau ambil ini kan?"
Tanya pria itu pada Feby sambil memegang perut yang disikut tadi.
Tapi Feby malah terpesona dengan pria itu.
Aroma maskulin dari tubuh pria yang gagah itu menguar.
Ketampanan yang hakiki
Adalah kepemilikan dari wajah pria itu.
Alis tebal, mata cukup sipit, hidung mancung, bibir yang tak tebal dan tak tipis berwarna merah muda.
Menandakan sang pria bukan perokok seperti yang Feby benci.
Langsung saja Feby mengambil pembalut yang ada di tangan Pria itu tanpa mengucapkan terima kasih, dan membayarnya dikasir.
Lalu kembali ke rumah dengan selamat.
Ini semua gara-gara pembalut mamak! Jadi malu nah aku!
Feby menghentak-hentakkan kakinya sambil menutup matanya sendiri.