DELAPAN : Reunion

1688 Kata
“Hah gimana maksud lo?” Candra yang kini terlihat di salah satu kotak kecil di layar, memajukkan wajahnya. “Ya begitu.” Kataku setelah bercerita tentang Zoe dan Ben tunangannya pada Candra, Mila, dan Tio. Tio santai dengan menikmati minuman di cangkirnya yang ku rasa berisi kopi panas. Sementara Mila hanya diam, dan hanya Candra yang bersemangat mendengarkan ceritaku tentang Zoe. “Masa lo nemu yang kayak Mila di sana? Ya kali aja.” Kata Candra sambil tertawa, “tapi lo nekad banget sih bisa sampe nyiram tuh orang. Gue kira yang kayak gitu cuma ada di sinetron doang, zoom in zoom out juga nggak lo?” tanya Candra mengejek. “Diem lo!” balasku kesal. “Lagi lo ada-ada aja sih nyiram bule di depan umum. Coba kalo lo dihajar wah, Rendi murkanya kayak apaan itu. Gue sih jadi Rendi udah gue maki-maki lo ikut campur urusan orang. Okelah lo niat bantuin, tapi cara lo bar-bar banget gila!” balas Candra sementara yang lain hanya diam menyimak. “Emosi gue, Can! Gue udah muak liat cowok kayak gitu yang cuma modal bacot aja. Coba lo bayangin itu cewek kalo beneran jadi nikah sama cowok itu, gimana coba masa depannya nanti? Mending kalau dia masih sendiri, masih belum ada tanggungan anak. Kalau dia udah punya anak, hartanya dikuras, trus ditinggalin. Wah gila sih, mending gue kasih tau sebelum nasi udah jadi bubur, kan?” “Tapi bener deh, lo gila sih.” Kata Tio tiba-tiba. “Brutal banget lo sampe nyiram orang dan mempermalukan dia di depan umum. Untung rame, dan lo nggak diapa-apain. Nyali lo gue akuin sih gede, tapi risikonya juga gede, loh, Cha.” “Tapi gue kalo ada di posisinya si Chaca, mungkin laki itu udah gue hajar sih malahan.” Kata Mila dengan sinis. “Elo sih dendam kesumat, paham lah. Tapi brutal juga ya cewek-cewek ini. Nggak kebayang sih gue ini anak-anak kalo ketemu itu laki pas lagi berudaan, abis kali ya tuh muka. Yang satu jago boxing, yang satu lagi mulutnya udah ngalahin parang, bonyok deh.” Balas Candra. Kami semua tertawa mendengar bercandaan Candra. benar juga katanya, kalau saat itu yang bertemu bukan hanya aku tapi juga Mila, wah entah berbentuk apa si Ben jadinya. Dan mungkin orang-orang di café tempo hari sudah langsung lompat dari tempat duduk mereka dan melerai aku dan Mila yang sudah kesetanan. Meski di bayangan terdengar lucu, namun kalau benar-benar sampai kejadian mungkin tidak akan terdengar lucu lagi karena kami pasti akan berada di kantor polisi pada akhirnya. “Kenapa stok cowok kayak gitu banyak banget ya? Heran gue.” Kata Mila. “Selama masih banyak orang baik, orang jahat juga pasti akan ada banyak stoknya. Hidup itu kan seimbang.” Kata Tio. “Ya udah lah ya, intinya mah kita jadi orang harus aware sama sekitar. Paling nggak, lo nggak dihajar balik sama itu bule, alhamdullilah.” Ujar Candra. “Eh ngomong-ngomong, gimana kabar lo pada? Katanya lo lagi berantem sama Danielle, Can?” tanyaku yang membuat Candra memundurkan wajahnya dari layar. “Wah! Mulut-mulut jahil emang ya. Temen gue kenapa pada bacot semua coba?” Mila tertawa dan bertepuk tangan, “bacot-bacot sayang loh, Can.” “Iya, terserah lo deh, Mils. Nih, ya, sekalian gue pengumuman. Pertama, gue ini nggak pacaran sama Danielle, kami cuma temenan aja. Kedua, dia itu udah punya gebetan dan gue kenal, kebetulan gebetannya itu temennya temen gue. Ya nggak kenal sih, cuma tau aja orangnya kayak gimana. Dan ketiga, jelas ya kalau gue ini nggak pacaran jadi berantem-berantem kali ya berantem ala temen yang nggak lama baikan lagi. Udah itu aja, end of the story jadi kalian nggak perlu rumpi lagi soal gue sama Danielle. Bikin risih tau nggak, cewek yang gue puji di dunia ini tuh cuma dua. Nyokap gue sama Anya Taylor-Joy. Sisanya figuran doang yang numpang lewat.” Aku dan Mila sontak protes dengan berseru kencang pada Candra karena tidak terima dibulang hanya figuran yang numpang lewat saja. “Gila lo ya! Enak aja gue dibilang figuran! Udah sering gue jajanin minum juga, malah ngelunjak nih anak gue cuma dibilang figuran aja!” protes Mila kesal dan membuat Tio tertawa. “Kesian banget ya adek lo nggak dianggap juga kayak gue sama Mila. Padahal dia yang selalu cover elo di mata keluarga lo yang mau anak laki-lakinya ini nikah, buntingin cewek, dan punya anak banyak sampai bisa diajak naik roller coaster full satu keluarga.” Aku membayangkan bagaimana murkanya Tania adik Candra yang selama ini rela menjadi tameng kakaknya tentang preferensi tambatan hati. “Astaga! Lo nggak ikhlas selama ini traktir gue, Mils?” tanya Candra pura-pura syok. “Mampus deh lo nanti mules-mules gue nggak ikhlas.” Aku dan Tio pun tertawa mendengar perdebatan dua orang ini. “Si Tania gitu-gitu juga gue back up, ya! Minta duit mulu itu anak, heran banget gue gajinya abis mulu buat belanja barang branded. Bukannya ditabung, malah diabisin terus.” Keluh Candra setengah curhat. “Lah, bukannya sama aja kayak elo ya? Kan duit lo juga buat jajan doang dulu, baru sekarang lo tau yang namanya tabungan itu bermanfaat.” Protes Tio yang ingin ikut dalam kericuhan. “Iya! Bully aja gue bully! Puas lo semua? Untung pada jauhan ini ngobrol, kalo nggak udah gue siram lo pada sama air.” Aku hanya bisa tertawa menanggapi semua teman-temanku yang aku rindukan ini. Rasanya aku seperti kembali ke Jakarta dan mengobrol di sela makan siang mengenai hal apa pun yang bisa dibicarakan. “Gue kangen banget sama kalian, loh. Kapan main ke sini?” aku menatap semua layar kecil yang terbagi empat di depan. “Lo yang bayarin kami ke sana gitu?” tanya Candra, “Iya, nanti gue reimburse ke elo abis gue yang bayarin tiketnya, ya?” “Bodo amat ah!” jawab Candra. Obrolan kami pun berlanjut sampai sore menjelang dan aku harus menyiapkan makan malam. Rendi dari tadi berada di kamar karena harus mengerjakan pekerjaan yang ia bawa ke rumah, dan mengecek hasil pekerjaanku yang pekerjaannya mengecek manajemen dan alur transaksi bisnis sayurannya. Aku sudah puas mengobrol dengan teman-teman seperjuanganku ini. Dan kini giliran aku menghabiskan waktu dengan Rendi setelah aku menyuruhnya untuk berhenti bekerja sejenak.   ***   Sejak kejadian aku bertemu dengan Zoe tempo hari. Kemarin Zoe meneleponku untuk mengajakku makan siang bersama setelah kami sempat bertukar kontak sebelum Zoe pulang dari apartemenku. Kami bertemu di salah satu restoran rekomendasinya di Harbourside, Rashays namanya, tempat makan yang menghidangkan makanan western. Zoe mengangkat tangan kirinya ke atas ketika melihatku yang sudah ia lihat sejak aku masuk restoran tadi. Ia memilih untuk duduk di sofa untuk empat orang. Ia telihat lebih baik dari terakhir aku melihatnya. Wajahnya berseri meski agak tirus. “Hai, Bianca.” Sapanya yang mempersilakanku untuk duduk di seberang dan tersenyum ramah seperti kami sudah kenal sangat lama. “Hai, Zoe. Apa kabarmu?” sapaku setelah duduk. “Jauh lebih baik dari pertama aku tahu kalau tunanganku berselingkuh dan hanya ingin mendapatkan uangku dan berniat menceraikanku ketika idenya itu sudah terealisasi.” Katanya yang terdengar mirip sekali dengan Mila. Inilah kelakuan yang pantas dilakukan oleh orang-orang bertampang angkuh dan arogan karena memang sifat dasarnya sepert itu namun tidak ada yang salah dengan itu. “Senang mendengarnya.” Balasku. “Ayo kita pesanan makanan, ini sudah jam makan siang. Makanan di sini enak, teman Pakistanku yang merekomendasikan tempat ini untukku. Ia muslim, sama seperti dirimu.” Jelasnya. Ia memberikanku buku menu dan menyuruku untuk segera memesan makanan yang aku inginkan. “Silakan kau mau makan apa? Aku yang bayar sebagai rasa terima aksihku meski aku tahu kalau terima kasih dan traktiran makan siang saja rasanya kurang cukup.” Aku tertawa kecil menanggapi apa yang dikatakan oleh Zoe, “tak perlu sampai seperti itu. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan banyak orang.” Jawabku merendah. “Tidak, tidak. Kau sungguh baik sekali. Kau tahu? Setelah aku pulang dengan muka bengkak dan menceritakannya pada Ibuku, ia langsung tertawa dan memeluku dan mengatakan rasa terima kasih yang teramat sangat untukmu. Katanya karena kau telah membuat anak perempuannya ini berpisah dnegan orang yang dari awal tidak pantas bersamaku.” Damn. Inilah bagaimana keluarga para old money berbicara. Merendah, namun sedikit sombong dan meletakkan orang di level-level khusus seperti apa yang mereka lakukan adalah hal yang sudah biasa dan tidak masalah. “Dan akhirnya kau benar-benar berpisah dnegan pria kurang ajar itu?” tanyaku seakan meyakinkan tebakan yang ada di benakku.            “Ya, tentu saja. Dia dan mantannya kini bisa hidup bersama dengan uang pas-pasan yang kalau ingin mendapatkannya harus dengan bersusah payah terlebih dahulu.” Aku benar-benar tidak bisa membalas perkataan Zoe. “Oke.” Kataku pada akhirnya, “mari kita pesan makan. Terima kasih sudah mentraktirku, kebetulan aku sangat lapar.” “Pesanlah yang kau inginkan. Yang banyak.” Katanya dengan senyum senang terkembang lebar. Aku meneliti setiap menu yang sangat beragam. Kebetulan hari ini aku ingin menikmati salmon setelah menonton Discovery Channel tentang imigrasi ikan salmon ketka mereka ingin bertelur. Namun ketika sedang meneliti buku menu, aku malah tertarik dengan menu Barramundi. Akhirnya pilihanku jatuh pada Barramundi panggang dengan jagung, kentang goreng dan tambahan salad. Sedangkan Zoe hanya memesan salad alpukat saja. Feeling-ku ia sedang diet, namun aku memberanikan diri untuk bertanya agar ia tidak menanggapku terlalu cuek. “Kau hanya memesan itu?” tanyaku. “Iya. Salad saja cukup bagiku.” “Kau diet?” tanyaku memberanikan diri. Agak kurang sopan aku tahu, tapi aku sudah bingung ingin mengobrolkan apa lagi. “Aku masih terbawa kebiasaan untuk makan sedikit dan hanya berupa salad. Ketakutan akan badanku melebar ketika mengenakan gaun pengantin masih terasa sangat jelas.” Katanya tersenyum getir. Aku menghela napas dan memanggil pelayan dengan mengangkat tangan kananku ke udara. Si pelayan yang kebetulan langsung melihat ke arahku, datang dengan cekatan dnegan buku kecil dan pulpen yang tentengnya untuk mencatat pesanan kami. “Aku ingin pesan Grilled Salmon, Seafood basket dan Margherita Pizza dan rose wine untuk kami.” Kataku. Zoe memandangku agak ragu, “kau makan sebanyak itu? Kau yakin?” tanyanya. “Kita. Kita yang akan makan sebanyak itu.” Aku tersenyum. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN