LIMA : Let it Flow

1692 Kata
Aku sedang membuka semua paket yang datang. Setengah furnitur yang ku pesan sudah datang, dan kini aku harus merapikan semuanya karena terlalu banyak barang yang berserakan dan membuat apartemen yang tidak terlalu besar ini jadi kelihatan sempit. Kardus-kardus kosong sudah berserakan disekitarku, begitu pula dengan tumpukan kayu maple untuk merakit sendiri rak buku yang ku pesan tempo hari. Bagus, menjadi pengangguran membuatku jadi bisa melakukan banyak hal sendirian. Dari merapikan berbagai sayuran dan menempatkannya pada kotak-kotak plastik agar tidak mudah busuk, membersihkan apartemen sampai memasang wallpaper untuk kamar, sampai merakit rak buku. Mungkin kalau lebih lama aku menganggur, aku bahkan bisa membenarkan mobil yang turun mesin. Sayangnya saat ini kami tidak memiliki mobil, karena kami belum memerlukannya. Aku masih mengenakan piyama dengan rambut yang kugelung dengan pensil. Aku bahkan belum mandi dan masih bermuka bantal. Semua kayu yang ada di dalam kardus telah aku keluarkan, kini aku sedang membaca buku instruksi yang menjelaskan tentang bagaimana caranya untuk bisa membuat rak itu berdiri kokoh dan kuat untuk ditumpuki semua buku-buku milikku. Sebagian hardcover dan tentunya lebih berat dari edisi paperback atau mass market. “Lumayan ini kalo gagal. Udah mahal, berat lagi bawanya sampai ke sini.” Kataku lebih ke diriku sendiri. Waktu semua barang ini sampai dan Rendi sedang berada di kamar mandi, aku yang membawanya sendiri ke apartemen dengan modal troli barang yang berada di setiap lantai.  Dan saat ia keluar dari kamar mandi dan sudah dengan pakaian lengkapnya, ia kaget mendapatiku sedang mengangkut semua barang dan meletakkannya di ruang tengah. “Kamu ngapain?” katanya yang buru-buru langusung membantuku menggotong beberapa kardus yang belum dipindahkan dari pintu masuk. “Ini barang-barang yang udah sampe yang aku pesen dari Amazon.” Kataku setelah menaruh kardus yang ku seret itu. “Sebanyak ini?” Rendi menatap sekeliling ruangan yang dipenuhi tumpukan kardus yang sudah datang. Melihat Rendi yang wajahnya keheranan, aku enggan mengatakan kalau masih ada setengah paket lagi yang masih dalam perjalanan meski semua itu yang ku beli dengan uangku sendiri. Rendi tidak pernah mempermasalahkan tentang uang. Mungkin memang perempuan yang memiliki naluri alamiah tentang keuangan dibandingkan laki-laki. Tapi, kalau melihatku yang berbelanja sekali banyak begini, ku pikir ia juga pasti akan heran. Sebelumnya, ia sudah menawarkan kartu kredit miliknya, tapi aku menolak karena semua barang yang ku beli harganya tidak terlalu mahal. Meski setelah aku hitung-hitung, tidak terlalu mahal namun barangnya banyak, jatuhnya malah jadi mahal. Aku salah perhitungan. Dan sekarang, merapikan semua barang yang tadi sudah ku bawa sebelum Rendi pulang adalah tantangan tersendiri. Mungkin karena kami baru berkeluarga, aku masih belum bisa terlalu terbuka pada Rendi. Aku masih malu menunjukkan sisi pribadi diriku dan kekurangan-kekurangan kecil seperti contohnya, berantakan. Rasanya hanya ingin cepat-cepat dibereskan saja agar begitu suami pulang, rumah sudah kembali rapi. Aku gengsi, sama seperti Mila tempo hari. Dan ketika aku sedang merakit lemari dengan modal buku panduan, ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Aku mengecek w******p, dan Rendi mengirimkan beberapa pesan di sana.             Hubby - Hon, aku pulang agak telat ya Hubby - Ada temen yang ulang tahun Hubby - Kamu mau titip apa?              Aku meninggalkan kesibukanku, dan senang karena memiliki waktu lebih lama karena Rendi akan pulang telat. Jadi aku bisa merapikan semua barang ini dengan tenang tepat waktu. Wah, ternyata aku masih memiliki sisa-sisa keberuntungan di saat-saat yang diperlukan seperti ini.             Wifey - Aku titip telur satu kotak sm s**u dua kotak ifey - Tiati kamu Hubby - Ok siap! Love you! Wifey - Muach! Wifey - (Kisses gif) Aku meletakkan kembali ponsel di atas meja, dan kembali meraki rak buku ini. Ini akan jadi pe-er yang luar biasa merepotkan.             ***   Rendi sedang duduk di balkon ditemani kopi panas ketika aku bangun agak telat karena datang bulan yang membuat perut dan punggungku seperti diratakan eskavator tanpa ampun. Aku berjalan menuju balkon dan memandang Rendi yang tengah menikmati pemandangan kota Sydney yang sudah sibuk sejak pagi. Rendi merangkul pinggangku dan menggiringku untuk duduk dipangkuannya.  “Gagal deh.” Kataku dengan suara sedikit serak karena baru bangun tidur.  “Nggak pa-pa, bisa dicoba lagi.” jawab Rendi yang memeluk perutku, dan mengcup tengkukku lama.  Kami memang tidak memiliki program hamil dekat-dekat ini, namun kami juga tidak menolak jika diberikan lebih awal. Let it flow, kalau bisa ku kutip dari apa yang dikatakan oleh suamiku ini meski di hati aku agak sedikit kecewa karena aku datang bulan. Ini bukan tentang bagaimana nantinya perkataan orang-orang yang usil mempertanyakan kehamilan padahal baru saja kami menikah, bukan juga tentang gengsi dan iri pada orang-orang di luar sana yang sudah menimang anak meski pernikahan mereka masih seumur jagung. Ini hanya tentang aku yang kecewa. “Kamu subur, kan kita udah pernah periksa.” Katanya yang kini menopangkan dagunya di bahuku sembari melihat lurus ke pemandangan yang tersaji indah di apartemen mahal hasil mengeruk kocek dan tabungan. “Aku tahu.” Jawabku pelan, “tapi aku agak kecewa aja.” “Nggak perlu kecewa, aku masih seneng kita berduaan begini. Kalau nanti kamu udah hamil dan punya anak, aku jadi nggak bisa tenang berdua sambil duduk pangkuan gini.” Alasannya yang membuatku tersenyum kecil. “Aku hamil bisa tetep kamu pangku.” Kataku. “Nggak mau, pasti berat mangku dua orang.” Jawabnya bercanda. Aku hanya tertawa dengan bahu yang naik turun secara teratur. “Ren, kamu punya temen cowok yang sekiranya top bachelor nggak?” aku menolehkan kepala ke arah kiri dan memandang Rendi. “Hm? Kenapa tiba-tiba kamu nanyain itu? Mau ngapain?” Aku mengelus-elus pipi kiri Rendi yang rahangnya terasa tegas dan keras. Aku juga bisa merasakan bulu-bulu halus yang belum dicukur menggelitik telapak tanganku. Satu momen yang kini sudah biasa terasa setiap harinya. “Mila kasian soalnya, dia di suruh nyokapnya buat ikut dia ke satu arisan ke arisan lain demi mempromosikan Mila yang masih single. Aku kasian sama dia, mana adeknya mikir jangan-jangan dia trauma sama cowok sampai nggak mau deket lagi sama cowok. Makanya aku bilang aja ke Mila, coba aku tanya kamu dulu. Kamu punya temen cowok yang high quality, top notch bachelor, nggak? Ada, dong pasti. Yang masih single gitu, kan?” “Kamu mau jadi kayak Mak Comblang buat Mila?” “Aku cuma pengen biar dia nggak stress aja sih karena dituntut begitu. Ya siapa tau beneran dapet jodoh. Kalo sekarang sih kenalin aja dulu, jadi temen jalan kayak kamu dulu. Kan jodoh nggak ada yang tahu.” “Hmm…” Rendi kelihatan menimbang-nimbang. “Paling nggak kan, kalau keluarganya tahu dia ada temen jalan, Mila jadi nggak terlalu terbebani sama keluarganya itu. Tapi jangan yang freak atau bucin, ya. Nanti kalo nggak cocok, Mila kena stalking lagi.”      Rendi tertawa lama, “aduh, udah minta cariin, kriterianya banyak banget. Mau yang gajinya berapa? Tinggi? Kulitnya gimana? Dia--- aduh!” aku mencubit pahanya gemas karena senang sekali bercanda ketika aku sedang bicara serius seperti ini. “Ih! Aku serius, loh!” Kataku gemas. “Iya, iya, aku bercanda. Coba nanti aku pikir dulu Kira-kira siapa yang kayaknya akan cocok sama Mila. Rata-rata temenku udah punya pacar sama udah nikah soalnya. Tapi kayaknya ada beberapa kandidat yang cocok.” “Temen main futsal kamu?” aku ingat rombongan teman Rendi yang dulu pernah dikenalkan padaku saat mereka taruhan main futsal demi ikut menemani bos main golf dengan klien di akhir pekan. Waktu itu tim Rendi yang menang, ia jadi tak perlu bekerja tambahan diakhir pekan dengan menjadi yes-man dengan mengikuti main golf dan memuji klien agar dapat tender bagus. “Temen-temen aku yang itu pada gila, loh.” “Nggak ada yang waras satu pun emang? Soalnya mereka keliatannya seru, bisa buat Mila ketawa pasti.” Rendi kelihatan kembali berpikir, dan diam serius. “Siapa, ya? Bayu, Harris, Abi yang masih single. Yang paling kalem sih Bayu, coba nanti aku tanyain anak-anak deh siapa yang masih single dan kira-kira bisa dijadiin temen jalan.” “Pokoknya jangan yang bucinan orangnya.” Kataku mengingatkan Rendi dengan mengelus pipinya lagi. Iya, temenku nggak bucin. Tapi kalo Milanya yang bucin gimana?” Aku tertawa membayangkan Mila yang menyukai seorang pria sampai membuat otaknya hanya dipenuhi orang itu dan nyaris membuatnya gila. Oh, aku tidak pernah membayangkan versi Mila yang seperti itu. Tapi aku kan tidak pernah tahu versi lain dari Mila yang bahkan bisa menangis karena seorang pria yang dulu pernah mengisi hatinya. Aku menggeleng, menghilangkan sosok Mila yang tiba-tiba mengejar pria. “Kenapa?” tanya Rendi bingung karena istrinya ini jadi seperti orang gila dengan menggeleng-geleng tidak jelas. “Nggak pa-pa.” Kataku, “masuk, yuk. Sarapan dulu. Sereal aja ya, kalo mau roti kamu panggang sendiri ya perutku lagi nggak bisa diajak kompromi soalnya. Ini pain killer-nya belum efektif.” Rendi pun tersenyum, dan menggendongku dengan tangan yang berada paha dan punggungku. Aku yang kaget sedikit menerit, namun kemudain tertawa dan memukul pelan lengannya yang dilapisi kaus putih tipis andalannya ketika tidur. “Aku yang buat sarapan. Kamu duduk aja di kursi pantry, gantian. Setiap hari kamu udah buatin aku sarapan sama bekal makan siang. Bangun pagi-pagi buta buat masak. Udah beresin rumah juga, dan beresin semua belanjaan kamu yang segunung itu.” “Kan lemarinya udah kokoh bediri, semua potnya juga udah kerisi sama tanaman. Kamu juga suka ngopi di deket coffee table yang aku beli, karpet di ruang TV juga kamu bilang lembut, enak.” Balasku dnegan berbagai barang yang bermanfaat ketika sudah kubeli itu. “Iya, oke. Ya udah, tuan putri duduk disini. Biar hamba yang buat sarapan. Mau s**u hangat juga buat perutnya yang sakit?” Aku mengangguk dengan tertawa kecil atas perbuatan manis Rendi di pagi akhir pekan ini. “Oke, nanti siang kita makan di luar aja, ya. Ada restoran India yang enak banget di deket Seven Eleven.” Katanya yang mulai menyiapkan sarapan dengan memasukkan dua lembar roti ke toaster. Ia menunggu beberapa saat sampai roti itu terpental sedikit dan mesin berdenting, kemudian ia memasukan kembali dual embar roti lain dan menunggunya sampai terpanggang dnegan sempurna. “Oke, udah lama aku nggak makan masakan India.” “Deal.” Ia tersenyum dan menyiapkan s**u di panci kecil dan merejangnya sampai mendidih. Sungguh akhir pekan yang sangat menyenangkan. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN