Aku bangun dengan selimut membungkus tubuhku yang hanya berbalut kaus tipis. Rendi sedang tidur sembari memeluk perutku, ia terihat sangat pulas dengan dengkur pelannya yang teratur. Aku bangun lebih awal dengan mengambil bathrobe di lengan kursi dan membungkus tubuhku dengan itu. Pelan, aku bejalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan mengosok gigi. Ini hari terakhir kami di Raja Ampat, dan aku tidak ingin melewatkan waktu dengan menikmati air laut di pinggir pantai meski kami harus segera jalan ke Bandara jam tujuh pagi.
Hari masih gelap, jam di atas nakas masih menunjukkan pukul empat pagi. Biasanya di jam delapan pagi aku sudah jalan ke pantai untuk snorkeling bersama Rendi. Setelah sebelumnya Yoga bersama beberapa penghuni di penginapan dan pemiliknya. Setelah puas snorkeling selama satu jam, baru aku akan pergi sarapan, mandi dan kembali berenang sebelum jam dua belas siang atau nanti kulitku bisa terbakar matahari dan iritasi. Biasanya di siang bolong, aku dan Rendi akan menghabiskan waktu di dalam penginapan dengan membaca buku atau jalan-jalan di sekitar.
Kemarin kami sudah bertualang dengan speedboat ke pulau-pulau kecil di sekitar. Sudah diving juga dengan banyak beberapa orang yang juga ikut dalam rombongan. Pengalaman diving ditemani ratusan ikan cantik dan terumbu karang yang beraneka jenis, adalah satu pengalaman yang tidak akan bisa aku lupakan. Dan kalau tidak diingatkan oleh Rendi untuk naik ke permukaan, mungkin aku akan menghabiskan banyak waktu mengeksplor bawah laut sampai oksigenku habis. Itu menyeramkan, untungnya Rendi menarik lembut tanganku, dan kami kembali ke speed boat di mana ada beberapa orang yang juga ikut menyewa jasa diving sudah kembali ke permukaan. Aku dan Rendi yang terakhir naik. Dan karena ini hari terakhir kami di sini, paling tidak aku ingin menghabiskan waktu selama beberapa jam di pantai.
Begitu aku keluar dari kamar mandi, Rendi sudah terbangun dengan duduk dengan masih mengantuk dan nyawanya belum terkumpul semua.
“Kamu bangun pagi banget.” Katanya dengan mata yang disipitkan.
“Hari terakhir kita di sini. Aku mau puas-puasin ke pantai liat sunrise sebelum mandi dan jalan ke airport.” Kataku masih berdiri di ambang pintu kamar mandi.
“Mau ke pantai?” tanya Rendi.
Aku menangguk, “iya.”
“Ya, udah. Aku temani, masih gelap soalnya. Aku cuci muka dulu.” Katanya yang kemudian mengambil celana panjang dari pinggir kasur. Aku menyingkir sedikit ketika Rendi lewat, dan tanpa melewatkan kesempatan, ia mencium bibirku dengan lembut, baru mencuci mukanya dan mengosok gigi.
Selagi menunggu Rendi, aku duduk di kasur dan melihat koper kami yang sudah rapi. Kemarin aku dan Rendi sudah packing meski rasanya enggan. Tak terasa lima hari kami berada di sini sudah lewat. Sebentar lagi kami akan kembali ke realita dan aku harus mencari pekerjaan karena sampai sekarang belum juga ada balasan dari semua CV yang sudah ku sebar. Rendi sih tidak masalah, tapi aku yang merasa ada yang salah. Bagaimana aku harus menghabiskan hari tanpa melakukan apa pun, yang biasanya pergi dari satu meeting ke meeting yang lain, deal dengan klien sampai ratusan juta, memantau IHSG sampai mata jereng, dang kini aku dihadapkan pada tak ada apa pun yang perlu dikerjakan. Memikirkannya saja sudah membuat perutku mulas.
Rendi keluar dari kamar mandi, dan mengenakan bathrobe sebelum kami keluar dari kamar. Jalanan menuju pantai di terangi lampu jalan, namun ketika kami sudah sampai di pantai, keadaanya jauh berbeda. Untungnya Rendi membawa ponselnya untuk penerangan tambahan. Kami duduk di batang kayu yang berada di pinggir pantai, dan memandang laut yang ombaknya bergemuruh dan bertabrakan satu sama lain.
“Nggak terasa ya udah selesai aja liburannya.” Kataku memandang lurus ke arah laut yang gelap
“Iya, meski aku harus selalu nyuruh kamu buat naik ke permukaan pas snorkeling atau diving, tapi semuanya seru.” Kata Rendi yang membuatku tertawa kecil karena malu.
“Nggak usah ngambek dong.” Kataku menyenggol bahu Rendi dengan bahuku sendiri.
“Iya kalo kamu kenapa-napa gimana? Baru nikah loh kita ini.”
Aku tertawa sambil memegang kepala Rendi dengan kedua tanganku.
“Ih, ngambek.” Kataku. Rendi hanya diam dan pasrah pipinya aku tekan dan membuat bibirnya jadi sedikit maju. “Kapan lagi aku ke pantai dan kita liburan kayak gini? Raja Ampat loh ini! yang ke sini aja perlu effort tenaga sama biaya. Balik kerja pasti udah susah deh kamu liburan.” Kataku.
“Dari apartemen kita nanti bisa kelihatan Pelabuhan sama taman kok.”
“Masa?”
Rendi mengangguk, “pemandangannya indah. Kamu pasti bakalan suka, kan kata kamu, kamu itu pengen kantor deket sama taman kota. Dari apartemen ke Hyde Park tinggal jalan juga bisa. Mau ke Pelabuhan juga deket, mall ada di belakang apartemen, ma uke mana lagi? Starbucks tinggal nyebrang jalan sedikit, ke Sea World tinggal naik bus lima menit sampai, mau ke pasar ikan? Museum? Stasiun? Deket semua. Tinggal jalan bisa.” Kata Rendi menyebutkan beberapa fasilitas yang dekat dengan apartemen kami.
“Emang apartemen kamu di tengah kota banget?” tanyaku sangsi. “Kayakya pas aku liat foto-fotonya dulu, apartemen kamu nggak terlalu deket sama gedung-gedung tinggi.”
“Ya, kamu liat dulu lah langsung. Liat aja belum, kan?” katanya.
Aku bersandar ke d**a Rendi sembari kami menunggu mata hari terbit di hari terakhir serangkaian liburan untuk bulan madu ini.
“Aku antara sabar sama nggak sabar deh pengen liat tempat tinggal baru aku nanti.”
“Kenapa emang?”
“Hmm… masih agak aneh aja sih aku beneran tinggal di negara orang setelah berkeluarga. It feels surreal, kayak cuma mimpi.”
“Kan kamu pernah tinggal di Malaysia waktu kuliah dulu.”
Aku menghela napas, “itu kan cuma sebentar dan aku tahu aku pasti pulang. Kalau ini, kayaknya kita akan menetap lama mungkin bahkan akan tinggal di sana selamanya kalau kerjaan kamu dan kerjaan baru aku nanti, entah apa itu, udah beneran settle dan buat nyaman.”
“Nggak usah terlalu dipikirin. Kita jalanin aja sekarang gimana maunya takdir. Nanti kalau aku libur lagi, kita bisa cari dokter psikiatri buat kamu juga. Aku tahu kamu masih bisa kontak dokter Hanifah, tapi mungkin kamu mau yang bisa langsung tatap muka sebagai opsi kedua.”
Aku mengangguk dengan rambut yang mengelus d**a Rendi, “oke, makasih banyak ya, Ren.”
“Itu kewajiban aku yang udah jadi suami kamu. Nothing to thank for.”
Aku tersenyum simpul meski Rendi tidak bisa melihatnya.
“Aku juga kepikiran soal aku belum juga dapat undangan interview. Padahal aku udah sebar CV, udah tanya-tanya soal cabang perusahaan yang aku tahu mungkin ada di Sydney, tapi masih nihil aja belum ada hasilnya. Aku nggak mau nganggur lama-lama.”
“Nggak pa-pa. Nanti juga dapet. Siapa tahu kamu dapet pekerjaan yang nggak berhubungan sama saham. Mila bilang kan kamu itu cocok jadi Event organizer.”
Aku memang sering mendengar tentang omongan itu dari banyak orang hanya karena aku suka membuat suatu acara untuk orang-orang. Tapi kalau aku benar-benar bekerja di luar bidang studi dan kemampuan basic seperti pekerjaanku kemarin, aku masih agak sangsi. Apa aku bisa? Kemarin kan aku melakukannya karena aku suka dan aku ingin orang-orang terdekatku jadi senang. Membahagiakan orang terdekat dan orang asing itu kan beda skalanya.
“Hmm… aku masih belum yakin kalau di luar dari saham.” Rendi menecup puncak kepalaku lama.
“Mau apa pun kerjaan kamu nanti, aku akan dukung kamu, kok. Mau kamu memilih untuk nggak kerja pun aku akan dukung. Dan karena sekarang kamu masih belum dapat undnagan interview, kamu bisa menjelajah Sydney dulu nanti.” Kata Rendi.
“Sementara sih nggak masalah, tapi aku juga nggak mau lama-lama, aku mau kerja. Kalo nggak, nanti kamu impulsive beli ini-itu dan kita nggak punya duit.”
Rendi tertawa mendengarku mempermasalahkan sifatnya yang satu itu. Sejak tahu dari Ibu Rendi kalau anaknya ini membeli apartemen tanpa sepengetahuan ibunya dan enggan menyewakan apartemen di Jakarta itu sementara ia bekerja di Sydney, aku jadi paham bagaimana peringai Rendi sedikit banyak.
Perlahan, terlihat sinar samar yang muncul dari ujung laut yang terpantul seakan hanya sebatas garis tanpa ujung. Matahari perlahan naik dengan pelan dan membuatku terkesiap. Pemandangan indah ini, yang hanya bisa aku lihat di sini, membuatku tak bisa berkata-kata. Rendi memeluk tubuhku dari belakang. Kami menghabiskan sisa waktu yang kami miliki dengan memandang takjub akan pemandangan mahal yang hanya terjadi beberapa saat saja. Dan karena teralu serius memandang matahari terbit, senter di ponsel Rendi saja sampai lupa ia matikan. Padahal, hari sudah tidak segelap saat kami pertama keluar tadi. Suasana hening yang tadi menemani kami pun sudah hilang. Beberapa turis seperti kami sudah mulai bangun dan melakukan aktivitas mereka, beberapa juga sedang memandang matahari terbit dari sisi lain pantai dengan kamera mereka.
“Kapan-kapan kita harus ke sini lagi. Aku nggak peduli lamanya perjalanan yang harus kita tempuh buat sampai ke sini. All was worth.” Kataku pelan.
-Continue-