Aku masih ingat saat dulu melihat berita tentang kematian Princess Diana karena kecelakaan. Ada footage yang diputar tentang penikahannya dengan gaun yang ekornya sangat panjang sampai menutup beberapa bagian tangga ketika ia ingin masuk ke gereja saat pernikahannya. Ia terlihat sangat cantik, bahkan aku berlagak dengan mengenakan baju terbaikku dan selendang milik Mama yang pura-pura kujadikan sebagai veil di kepala. Dan waktu kecil, ketika ditanya seperti apa gaun pernikahan yang aku inginkan, aku dengan bangganya ku bilang gaun seperti milik Princess Diana.
Dan setelah melihat gaun yang ada di hadapanku ini, meski ia masih ada di gantungan baju setelah plastik beningnya telah dibuka dan dilipat di atas meja oleh sang pegawai di butik gaun ini.
Seorang perempuan dengan rambut pirang ikal yang panjang terlihat memerhatikan gaun yang diberikan oleh sang pegawai padanya. Ia memegang gaun tersebut dengan serius dan merasakan bahannya. Ia mengangguk dua kali, kemudian mereka masuk ke ruang ganti.
“Aku merasa canggung.” Kataku pelan pada Anne sementara Deby melihat-lihat gaun yang lain
“Kenapa begitu?” Tanya Anne yang mendekatkan diri padaku agar kami bisa mengobrol dan tidak terdengar dengan sang calon pengantin pria yang sedang duduk di sofa dan sibuk dengan laptopnya. Sedari tadi ia hanya di sana dan bekerja sementara si pasangan sibuk memilih gaun pengantin.
“Kau lihat sang mempelai pria yang dari tadi sibuk? Aku tidak merasa kalau ia excited melihat gaun apa yang akan dikenakan oleh pasangannya. How come?” tanyaku semakin pelan.
“Dia sibuk. Tapi perkataanmu ada benarnya. Dari tadi Josephine si mempelai wanita sampai kesal dan membuat hampir setengah gaun yang ada di sini dicobanya. Inilah hidup sebagai Wedding Planner, kau harus bersabar.” Jawab Anne yang tersenyum simpul dengan suara yang sangat pelan.
“Sangat. Aku sampai kasihan.” Kataku.
“Tapi jangan sampai kau mengomentari hal pribadi apa pun. Dan jangan sampai kau mengatakan kalau kau sudah menikah,” Anne melirik jariku yang polos dengan cincin, “Kebanyakan para klien tidak terlalu menyukai jika kita sudah menikah. Kebanyakan dari mereka menganggap kalau orang yang sudah menikah akan sangat sok tau tentang banyak hal mengenai pernikahan dan malas mendengarkan masukan-masukan yang sebenarnya baik. Tapi Zoe memang sudah gila menyuruhmu untuk berbohong kalau kau sudah menikah. Bahkan ia menyuruhmu menanggalkan cincin pernikahanmu tapi memperbolehkan Tres mengenakan cincin pernikahannya.”
“Karena Tres tidak pernah secara langsung bekerja dengan klien. Kecuali saat urusan keuangan.” Jawabku.
“Aku kasihan padamu.” Kata Anne sambil menggeleng.
Aku sebenarnya agak tersinggung karena aku merasa tidak perlu untuk dikasihani. Ketika aku memberi tahu Rendi tentang permintaan Zoe ini pun, Rendi tidak kebaratan meski ia agak murung. Namun pada akhirnya ia memperbolehkanku untuk melepas cincin pernikahan asal akujangan sampai digoda oleh pria mana pun.
“Kemu boleh-boleh aja sih nggak pake cincinnya. Tapi aku jadi kurang nyaman dan was-was.” Katanya waktu itu.
Mengingat hal itu kembali, dan terngiang aka napa yang dikatakan oleh Rendi membuat aku senang. Jujur saja, siapa sih yang tak senang kalau ternyata pasangannya memiliki rasa cemburu yang artinya si pasangan itu memang mencintai pasangannya seutuhnya.
Aku senang, dan kadang malah menjadikan hal itu untuk menggoda Rendi yang nantinya akan kembali menggodaku dan kami tertawa berdua. Ah, kalau memikirkan hal ini jadi membuatku ingin cepat-cepat selesai bekerja dan kembali ke rumah kemudian mengobrol dengan Rendi di depan televisi sambil menikmati makanan kecil. Tapi nyatanya, kini aku sedang berusaha ramah dan tersenyum untuk memberikan masukan untuk gaun lain yang ingin dicoba oleh Josephine karena ternyata gaun yang barusan ia kenakan tidak cocok dengan seleranya. Padahal gaun itu sangat bagus! Kalau aku bisa mengadakan resepsi kedua dengan Rendi, mungkin gaun itu yang ingin aku kenakan disbanding gaun-gaun lainnya di sini, meski gaun yang lain pun tak kalah cantik.
“Gaun tadi membuatku terlihat gendut. Aku tidak mau di hari bahagiaku nanti aku akan terlihat tak menarik dan kalah dari para undangan yang hadir.” Katanya dengan pandagan mata yang agak terlalu berambisi.
“Kita bisa pilih yang lain, mungkin ini?” kata Deby yang memberikan satu gaun dengan model yang pas di badan namun mekar di bagian lutut ke bawah. Model mermaid wedding dress yang populer dan selalu ada di setiap wedding expo atau wedding fashion week mana pun.
“Apa tidak membuat perutku terlihat gendut dan terlihat besar?” tanya Josephine lagi.
“Kita coba dulu, siapa tahu kau akan menyukainya.” Kata Anne yang mendampingi Josephine dengan senyum sangat manis, seakan membujuknya untuk mencoba dan berharap kalau pilihan kali ini bisa diterima.
“Apakah masih lama?” tanya si calon mempelai pria yang kini mengangkat wajahnya dari laptop, “kasihan para ladies ini yang mendampingimu dari pagi dan sampai jam sekarang kau belum menentukan pilihan juga.”
Kami semua otomatis menatap sang calon mempelai pria dan bersiap kalau akan ada perang dunia. Namun ternyata, dugaanku salah. Josephine yang ku pikir akan membalas omongan dari Peter, malah beralih kepada kami dan tersenyum.
“Peter benar, maaf kalau aku sudah menyita waktu kalian. Sepertinya aku akan sekaligus mencoba banyak dan yang paling cocok dan pas di badanku, akan aku pilih. Tolong pilihkan beberapa dan taruh ke ruang ganti.” Katanya, yang kini berjalan masuk ke ruang ganti ditemanioleh staff butik dan Anne.
Aku dan Deby yang kemudian saling pandang, lantas memilih dua gaun yang menurut kami cocok di badan dan sekiranya pas untuk Josephine yang tinggi namun agak berisi. Aku memilih gaun dengan potongan simpel namun memiliki aksen penuh di area pinggang. Rasanya ini akan membuat samar pada bagian perut yang tidak disukai oleh Josephine sebelumnya. Dan satu lagi adalah gaun dengan potongan classic tanpa motif dengan bahu sabrina.
Aku memberikan pilihanku pada Deby dan Deby pun masuk ke ruang ganti untuk memberikan empat gaun super berat itu pada Josephine. Semoga diantara semua gaun yang kami pilih, ada satu yang membuatnya tertarik. Aku masih harus mengecek kembali contoh undangan yang kata Matt baru saja datang padahal satu jm lagi jam kantor selesai.
Aku tahu kalau menyiapkan resepsi pernikahan itu memakan banyak waktu dan tenaga, namun mengurus untuk orang lain ternyata jauh lebih memakan waktu dan tenaga. Waktu itu aku tak sampai mencoba hampir setengah gaun yang ada di butik. Pilihanku hanya jatuh pada dua gaun, dan setelah mencobanya aku langsung memilih salah satunya. Mudah dan tidak membutuhkan banyak waktu.
Sudah bisa dipastikan kalau hari ini aku akn pulang telat karena harus lembur. Ddulu ku pikir tidak masalah pulang lembur sampai jam berapa pun, namun ternyata lembur membuat pikiran bercabang. Antara tidak bisa makan malam bersama dan kehilangan waktu untuk mengobrol sampai harus menyelesaikan pekerjaan hari ini agar pekerjaan esok hari dapat dikerjakan dan tidak menjadi bertumpuk. Josephine dan Peter hanyalah satu pasangan dari banyaknya klien yang ada. Beberapa ada yang waktu resepsinya berdekatan, sisanya di waktu dengan jarak yang lumayan jauh namun dengan keinginan yang beberapa agak eksentrik dan ‘menyusahkan’.
Tapi sejauh ini, banyak ilmu yang aku dapatkan dari semua staff yang bekerja di Louloúdi, kantor di mana sekarang aku bekerja. Mana pernah aku membayangkan akan mengukur tinggi tangga untuk pijakan antara tanah dan bangunan? Aku tidak akan peduli hal-hal seperti itu karena dulu aku menganggap kalau hal itu hanya dipandang oleh arsitek dan tukang bangunan, terkadang mungkin diperhatikan juga oleh si pemilik rumah. Namun sisanya? Aku tidak pernah mengira aka nada orang yang peduli, padahal kalau dilihat sekilas tingginya normal, dan biasa-biasa saja.
Tersadar dari semua pikiran yang berkumpul di otak, Anne dan Josephine serta staff dari butik yang akhirnya terlihat tersenyum lebar membuat perasaanku sedikit lega.
“Rasanya ini yang akan aku pilih.” Kata Josephine pada kami semua, terlebih pada Peter dengan pandangan lurus padanya dan senyumnya yang sangat manis.
“Kau terlihat cantik.” Pujiku tulus setelah aku melihat akhirnya ia memutusan pilihannya pada gaun yang aku pilih. Gaun dengan kerah sabrina dengan potongan klasik yang polos namun terlihat anggun dan elegan.
“Benar, kah? Aku merasa kalau aku terlihat lebih langsing dan elegan.” Katanya riang.
“Ya, kau terlihat cantik.” Peter, yang tadinya terlihat bosan setengah mati dan malah sibuk dengan pekerjaannya, kini berdiri dan menghampiri Josephine untuk menghadiahi calon istrinya itu dengan ciuman singkat dan pelukan hangat.
Akhirnya, apa yang aku lihat di depanku ini membuat perasaanku lega. Bukan hanya aku saja yang berpikiran demikian, namun Anne dan Deby pun begitu. Kami senang karena sebentar lagi kami bisa kembali ke kantor dan mengerjakan pekerjaan yang tersisa dan tak jadi pulang sangat larut. Aku segera mengirimkan pesan pada Matt sebelum pria itu pulang.
Bianca - Matt, jangan pulang dulu! Bantu aku mengecek undangan.
Matt - Why?
Bianca - Aku tidak mau lembur.
Matt - Belikan aku makan malam.
Bianca - Pizza?
Matt - Ok! Cepatlah kembali kalau sudah selesai.
Bianca - Ok
Untunglah Matt mau tidak pulang on time. Anne bilang tadi ia harus menjemput keponakannya dari tempat les karena kakaknya pulang lembur. Anne tinggal di apatemen keluarga kakaknya selama ia mencari apartemen baru karena apartemennya yang lama kebakaran. Untungnya, tempatnya tinggal tidak terbakar, namun setengah gedungnya sudah terbakar habis dan flat miliknya basah kuyup karena hydrant pipe yang ada di langit-langit terbuka dan mengeluarkan air deras seperti hujan.
“Kau lembur?” tanya Deby ketika kami sudah berjalan menuju tempat parkir. Kami naik mobil kantor yang disediakan oleh Zoe, Anne yang menyetir.
“Iya, aku harus mengecek undangan. Kau ikut kan?” tanyaku dengan sedikit tekanan karena aku tak mau kalau Deby juga ikut kabur seperti Anne.
“Apa harus?” tanyanya.
“Tentu saja, Matt sudah ku paksa membantu dengan sogokan Pizza. Kau pun harus membantuku. Itu kan juga pekerjaanmu.” Balasku.
“Ku pikir awalnya kau ini bukan orang yang tegas dan bisa diajak untuk bernegosiasi karena kau ini broker kan dulu?” Deby memandangku.
“Broker itu lebih tegas dan nekat dari yang bisa kau bayangkan, Gab.” Kata Anne yang ternyata sedari tadi mendengar pembicaraan kami.
“Ah! Ternyata aku akan selalu menjadi si junior yang harus mengikuti kemauan kalian wahai senior.” Katanya setengah bercanda dan setengah jujur dari hati.
Aku dan Anne pun tertawa, kami memasuki mobil akhirnya dan pulang menuju kantor.
-Continue-