Semua hubungan pasti pernah ada pertengkaran di dalamnya. Entah itu hubungan yang baru saja seumur jagung, atau pun yang sudah melewati umur setengah abad. Tidak ada pasangan yang setiap hari hanya diliputi oleh hal-hal indah, Pelangi, dan berbagai macam hal manis seperti gula yang membuat gigi sakit sampai diabetes. Dan hari ini aku dan Rendi sudah membuktikannya.
Semalam ia pulang jam dua pagi dan kemudian berangkat seperti biasa dengan terburu-buru. Di apartemen ia selalu sibuk menelepon dan berjalan ke sekeliling ruangan seperti tidak bisa duduk karena ambeien. Laptop selalu menyala, begitu pula dengan tumpukan kertas di atas meja ruang televisi yang tiap hari terasa semakin tinggi. Kantung matanya besar dan hitam, aku sudah seperti melihat penuan dini pada diri Rendi.
“Ren, kamu duduk coba jangan mondar-mandir gitu aku pusing litanya.” Kataku pada Rendi yang tengah sibuk melihat ponselnya dan berjalan dari ruang televisi ke depan kamar tamu kemudian berbelok ke pantry.
“Aku lagi pusing, lagi banyak banget kerjaan yang harus diurus dan ini lagi ada yang bermasalah. Kenapa pada bego banget sih sampai kecolongan begini!” katanya dengan suara yang kencang.
Aku tahu kalau kesabaran Rendi sudah mulai menipis, ia pun jadi sering mengomel tak jelas dengan kerutan di dahinya yang melebihi kerutan di dahiku sendiri. Dan terlebih, ada satu nama yang selalu muncul di ponselnya dan melakukan panggilan tak kenal waktu. Gillian, nama yang sering tertera di ponsel dan sering menjadi pemicu kerutan di dahi Rendi.
“Iya, aku paham. Tapi kamu duduk aja coba, muka kamu udah serem begitu.” Kataku.
“Kamu nggak paham, jangan ganggu aku dulu.” Katanya dengan wajah yang tidak bersahabat.
Tidak paham, aku tidak paham katanya. Baiklah, aku memang tidak tahu permasalahan apa yang Rendi hadapi karena ia tidak pernah benar-benar mengatakan dan menceritakan apa yang sedang terjadi di pekerjaannya. Rahasia, confidential, aku paham sekali. Dan sekarang ketika aku sedikit protes karena suamiku sendiri sudah terasa seperti orang asing yang kerjanya marah-marah, aku jadi kena imbasnya begini.
“Oke aku nggak tau kerjaan kamu lagi kenapa, kantor kamu gimana, temen-temen di kantor kamu lagi sibuk kayak kamu entah kaena persoalan apa. Tapi tolong kamu jangan yang marah-marah terus dan kayak gini. Duduk.”
Rendi melepaskan pandangannya dari ponsel dan memandangku sejenak kemudian masuk ke kamar. Aku hanya duduk dan menunggu hal apa lagi yang akan dilakukan Rendi setelah tadi ia membentakku dengan suara yang lumayan keras. Aku kanget? Sangat, ini kali pertama Rendi bertindak tidak rasional dan emosional seperti ini. Rasanya seperti melihat orang lain, bukan suami sendiri yang biasanya super protektif dan khawatir.
Tak beberapa lama ia keluar kamar dengan menggunakan jaket dan menenteng tas. Dimasukkannya laptop yang terbuka ke dalam tas dan tumpukan kertas serta map yang berjubel di dalam tas hitamnya dengan cepat.
“Aku kerja di luar.” Katanya cepat dan pergi meninggalkan apartemen tanpa ciuman singat di pipi seperti biasanya.
Ah, aku mengela napas panjang dan jatuh bersandar pada sofa. Aku memejamkan mata, lelah dengan tingkah laku pertama Rendi yang menyebalkan, yang berbeda dari biasanya. Kalau Rendi bersikap protektif dan khawatir terus menerus aku masih bisa bersabar, kalau ia dengan sangat impulsive membeli apa pun yang tidak penting pun aku masih bisa mengalah. Tapi ini, yang omongannya saja sudah naik nadanya beberapa oktaf, aku jengkel bukan main.
Aku lelah, mungkin Rendi pun begitu. Tapi kelakuannya yang asal pergi seperti itu membuatku memiliki alasan untuk mendiaminya sampai ia mau menegurku terlebih dahulu.
***
Hari ini aku ada janji bertemu kembali dengan Louis dan Tiffany. Namun Deby tidak bisa menemaniku karena ia harus mengecek vendor dan Anne sedang tidak enak badan jadi ia hanya di kantor seharian untuk membuat rancangan resepsi dari klien yang lain. Kami membuat janji di salah satu restoran karena meeting kali ini sekalian makan siang dan aku sebenarnya sedang malas untuk berbaik hari dan tersenyum meski senyuman yang aku keluarkan nanti hanyalah bersifat artifisial. Sudah tiga hari aku diam-diaman dengan Rendi meski semua kegiatan kami kerjakan bersama. Aku malas menegur, Rendi masih tetap sibuk dan tidak sadar akalu aku sedang kesal dengannya. Tapi, ajug juga sebenarnya tidak tahu apakah dia tidak sadar atau memang ia tidak mau menegurku juga. Yang mana saja terserahlah, intinya kami sedang perang dingin karena tidak ada satu orang pun yang mau berbicara terlebih dahulu kecuali menanyakan keberadaan barang-barang.
Dan sekarang aku harus bertemu dengan Tiffany yang sikapnya tempo hari sedikit arogan dan terasa menyepelekan dan tidak peduli dnegan apa yang aku dan Deby kerjakan. Semoga saja nanti aku tidak mengeluarkan kata-kata pedas dan kami akan kehilangan klien yang potensial. Semoga saja ia tidak menyebalkan dan mood-ku tidak seburuk itu. Aku menghela napas sebelum memasuki restoran yang menjadi tempat meeting kami. Dan saat aku masuk, aku melihat Louis yang menaikkan sebelah tangannya untuk memberikan tanda di mana aku harus duduk.
“Kau hanya sendirian?” tanyaku sambil menarik kursi untukku duduk di hadapannya.
“Iya, Tiffany sedang tidak enak badan.” Katanya sambil tersenyum sopan.
“Oh, semoga ia lekas sembuh.”
Sebenarnya aku sedikit lega karena Tiffany tidak ada. Setidaknya kelakuannya tempo hari tidak bisa membuat mood-ku jadi lebih buruk lagi. Tapi kini, aku malah jadi agak bingung karena Louis yang harus memutuskan semuanya sendirian. Aku sudah membawa kembali beberapa file dalam place holder besar. Dan juga aku sudah membawa hasil rapatku, Anne, dan Deby soal resepsi pernikahan sederhana yang diinginkan oleh Louis dan Tiffany. Tapi sebagai cadangan, aku membawa semua bundel file lain karena perempuan itu kan sukanya memiliki banyak opsi, dan biasanya kalau melihat alternatif lain yang sekiranya lebih menarik, mereka akan berubah pikiran. Dari pada semua perubahan itu datangnya ketika sudah mepet dengan hari H, lebih baik semuanya diersiapkan jauh-jauh hari saja agar tidak ada yang jadi keteteran dan malah membuat pusing.
“Aku membawa portofolio resepsi sesuai denga napa yang kalian mau tempo hari. Simpel dan intimate.” Ku keluarkan portofolio itu dan memberikannya pada Louis yang terlihat rapi dengan setelan jas berwarna cokelat.
“Terima kasih, boleh aku melihatnya terlebih dahulu?” tanyanya meminta izin yang langsung aku balas dengan anggukan kepala.
“Tentu saja, silakan.” Kataku kemudian.
“Silahkan pesan minuman terlebih dahulu, mari kita selesaikan semua ini kemudian kita pesan makan siang.” Katanya lagi.
“Terima kasih.”
Aku memanggil pelayan dan memesan Flat White sementara Louis meneliti semua berkas yang ada. Mulai dari sketsa rancangan, jenis makanan, aksesoris venue, model kartu undangan di meja, beragam buket bunga hiasan, sampai playlist lagu yang dipersiapkan oleh Matt. Aku cukup senang dengan hasilnya, namun semua keputusan kembali lagi berada di tangan kedua belah mempelai yang kini hanya ada satu saja yang datang.
“Aku suka konsepnya.” Kata Louis yang meletakan portofolio yang ku berikan tadi ke atas meja. “Tapi boleh aku bawa untuk ku tunjukkan ke Tiffany?” tanyanya.
“Tentu saja, kami juga ingin kedua mempelai setuju sebelum mengeksekusi semuanya agar bisa berjalan dengan cepat.”
“Baiklah, terima kasih banyak, Bianca.”
“Sama-sama, sudah menjadi pekerjaanku membantu dirimu dan Tiffany.”
Melihat Louis yang sendirian begini aku jadi teringat dengan Mila. Bagaimana kabarnya Mila dengan Emil ya? Apakah semuanya berjalan dengan baik atau malah tidak jelas karena Emil dan Mila terlihat tidak begitu antusias kalau dari semua obrolanku dengan Mila beberapa hari yang lalu. Andaikan Louis single, mungkin dia jjuga akan aku kenalkan dengan Mila. Yang di depanku ini sudah bisa dipastikan high quality, premium, dan sabar. Bisa bertahan dengan jenis orang seperti Tiffany yang bisa membuat mood orang jadi berantakan padahal sedang mendiskusikan soal resepsi, mudah sekali untuk bisa diambil kesimpulan judgmental seperti itu, kan?
Aku bukannya jahat, tapi memang faktanya seperti itu. Sayangnya Louis sudah memiliki tunangan dan akan menikah, harapanku untuk memperkenalkan Mila pada orang satu ini pun hanya bisa jadi pengandaian yang kurang ajar.
“Kalau begitu mari kita pesan makan siang saja.” Katanya tiba-tiba yang membuatku melongo kaget.
Kami baru juga bertemu, aku baru saja sampai dan bahkan pesanan kopiku baru saja datang. Dari tadi aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri, dan kini Louis mengatakan kalau meeting sudah selesai dan kami bebas memesan makan siang. Pekerjaan macam apa ini yang tidak ada diskusi lebih lanjut?
“Apa kau tidak mau melihat alternatif lain? Makanannya mungkin, atau dekorasinya? Bunganya apakah susah oke begitu saja?” tanyaku yang memilih untuk memberikan beberapa opsi untuk dijadikan pertimbangannya lebih lanjut. Tapi Louis malah menggeleng dan tertawa kecil.
“Tidak perlu, ku rasa semuanya sudah cukup. Nanti biar Tiffany yang memutuskan lebih lanjut. Tapi kalau untukku, semuanya sudah bagus karena semuanya sudah sesuai dengan keinginan kami yang simpel dan intim. Tidak salah aku mendengarkan temanku yang mengatakan kalau jasa Wedding Organizer kalian ini yang paling baik di Australia.” Ia menyesap kopinya semudah mengeluarkan semua pujian itu dari mulutnya.
Wah, kalau yang ada dihadapannya itu Mila bukan aku, pasti dia sudah memuji Louis habis-habisan ketika aku, Candra dan Tio sedang kumpul di depan laptop masing-masing untuk bergosip via Skype.
“Baik kalau begitu.” Aku pun menurut saja karena Louis ada klien, klien adalah raja. Jangan sampai ketika hari resepsi sudah dekat semuanya jadi berantakan tidak jelas karena konsep ada yang ingin diganti. Tidak, jangan sampai, itu mimpi buruk.
“Silakankan dipesan apa pun yang kau inginkan, aku yang akan membayarnya karena aku yang memintamu untuk datang tapi ternyata Tiffany tidak bisa datang dan kau jadi sia-sia membawa semua dokumen karena semuanya belum final.”
Aku tersenyum, “tidak apa-apa.”
Obrolan di jam makan siang kali ini pun tidak lagi membahas tentang resepsi pernikahan. Hal-hal random yang kami bahas berupa budaya, makanan, dan berbagai hal dari negara masing-masing dari kami menjadi bahan ringan yang membuat mood-ku jadi sedikit membaik. Andaikan pekerjaanku bertemu dengan klien-klien lain semulus ini, mungkin stressyang ku bawa ke rumah tidak akan membuatku jadi mudah marah dan tersingung pada Rendi.
Sekarang, aku jadi menyesal.