Getaran ponsel yang Khatrine letakan di nakas membangunkannya dari mimpi indah. Setelah menyingkirkan tangan Raveno dari perutnya, ia lantas meraba nakas, mengambil ponsel dan tanpa melihat nama pemanggil, ia langsung menjawab panggilan itu. "Halo?" ucapnya dengan mata setengah tertutup.
"Maaf, ini siapa?"
Kening Khatrine mengernyit saat mendengar suara perempuan dari seberang sana. Ia menjauhkan ponsel dari telinga, berniat melihat siapa yang menelpon. Tapi ia malah tersadar akan suatu hal. Si*al! Ini ponsel Raveno. Dan yang menelpon adalah Sabrina.
Khatrine langsung terduduk, mulai berpikir untuk menjawab telpon Sabrina. Untungnya sebuah ide langsung muncul dikepala Khatrine. "Maaf Nyonya, Saya sekertaris Tuan Raveno, dia menitipkan ponselnya pada saya karena harus meeting." Ya Tuhan semoga ia percaya! Batin Khatrine berharap. Ia menggigit bibirnya cemas, sambil menunggu balasan dari Sabrina.
"Oh begitu," suara Sabrina tampak memelan. "Tolong sampaikan padanya untuk tidak terlalu lelah bekerja. Dan tolong katakan padanya juga, jika aku menunggunya di rumah."
“Baik, Nyonya.” Helaan nafas lega keluar dari Khatrine saat Sabrina mempercayai ucapannya. Dan sambungan langsung di putus begitu saja oleh Sabrina. Khatrine langsung meletakkan kembali ponsel Raveno di nakas. Ia kemudian turun dari ranjang dan bersiap untuk mandi. Kemudian menyiapkan sarapan untuk Raveno.
****
"Raveno, bangun." Khatrine mengguncang pelan tubuh Raveno agar pria itu segera bangun. Ia juga menyempatkan diri memeriksa suhu tubuh Raveno, ternyata demamnya sudah sedikit mendingan dari pada kemarin.
Ia kemudian melihat mata Raveno perlahan terbuka. Pria itu duduk sambil menguap lebar dengan tangan yang ia rentangkan. "Jam berapa sekarang?"
Khatrine melirik jam dinding, lalu kembali melihat Raveno. "Jam sepuluh."
Raveno langsung terduduk. "Jam sepuluh?!"
"Iya,"
"Kenapa tidak membangunkanku dari tadi?" Raveno menyenderkan kepalanya dibahu Khatrine. Sepertinya ia masih sedikit mengantuk.
"Kau baru saja sembuh, jadi tidak ada salahnya membiarkanmu tidur lebih lama." ucap Khatrine sambil mengusap belakang kepala Raveno. "Ayo bangun. Kau harus segera sarapan dan setelah itu minum obat."
Raveno menghela nafas. Ia menampilkan wajah memelasnya. "Aku sudah sembuh, Khat. Kenapa harus minum obat lagi?"
"Terserah jika kau tidak ingin minum obat," Khatrine mengerdikan bahu lalu berbalik hendak pergi. Tapi sebelum hal itu terjadi, Raveno sudah lebih dulu menarik tangannya.
"Baiklah aku akan minum obat. Asal kau menemaniku seharian ini,"
Khatrine tersenyum. "Iya. Sekarang cepat mandi sana."
"Oke," Raveno turun dari ranjang laku masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Khatrine yang hanya bisa terkekeh pelan.
****
Selesai dengan mandi, Raveno sudah tak menemukan Khatrine di dalam kamar. Ia hanya menemukan baju diatas ranjang—yang sudah disiapkan Khatrine untuknya. Raveno lantas tersenyum sambil memakai baju pilihan Khatrine itu.
Setelah itu ia berjalan keluar kamar, menemukan Khatrine yang sedang menyiapkan sarapan untuknya. Hah! Benar-benar pemandangan yang indah.
"Kau memasak apa, Khat?"
Khatrine melirik sekilas. "Hanya omelet," ia menyuguhkan cemilan di depan Raveno. "Selagi aku membuat omelet, kau makan itu saja dulu."
"Oke," Raveno memilih untuk duduk dikursi bar, menatap Khatrine yang berjalan mondar-mandir di depannya. Dengan rambut sedikit basah yang diikat asal-asalan, lalu tanpa polesan make up apapun, Khatrine berhasil membuat Raveno tersenyum geli.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
Raveno tersadar. Ia lantas menggeleng meski senyum tipis menghiasi bibirnya. "Tidak ada,"
Khatrine berdecih sebelum menata dua piring omelet buatannya di depan Raveno, lalu ikut duduk disebelah pria itu. "Makanlah,"
"Terima kasih." Raveno tersenyum manis, membuat Khatrine seketika merona. Wanita itu buru-buru mengalihkan pandangannya.
"Waw! Rasanya enak sekali," puji Raveno yang membuat senyum Khatrine muncul.
"Jangan berlebihan! Itu hanya omelet,"
"Aku serius, Khat. Ini benar-benar enak," Raveno menyodorkan omlet miliknya didepan mulut Khatrine. "Coba saja jika kau tidak percaya,"
Khatrine menatap wajah Raveno, lalu beralih menatap omelet tadi. Ia membuka mulutnya untuk menerima suapan Raveno, tapi sayangnya pria itu menjauhkan sendoknya.
"Rav!" Khatrine mendengus kesal, apa lagi saat melihat Raveno malah tersenyum tak bersalah. "Berhenti tertawa!"
Raveno berusaha menahan tawanya. "Baiklah, maafkan aku. Aku hanya merindukanmu. Dari kemarin kau terus mendiamkanku," ia menggenggam tangan Khatrine. "Apa kau masih marah padaku?"
"Untuk apa aku marah?" Khatrine menaikan satu alisnya. "Bahkan untuk marah pun aku tidak berhak."
"Khat jangan bilang seperti itu. Kau berhak untuk marah. Berhak—"
"Pada siapa aku harus marah? Padamu atau pada takdir?"
Raveno terkejut. Ia tidak menyangka Khatrine akan berbicara seperti itu. Genggaman tangannya pada Khatrine mengendur, membuat wanita itu dengan mudah menjauhkan tangannya.
"Tadi pagi Sabrina menelpon, dan aku tidak sengaja mengangkatnya." Khatrine menggenggam erat sendok ditangannya saat mengatakan itu.
Mendengar itu Raveno tentu saja langsung menatap Khatrine terkejut. "Dia tahu—"
"Kau tenang saja. Dia tidak tahu yang sebenarnya."
Raveno menghela nafas lega, hal kecil yang justru membuat Khatrine merasa sesak. "Sabrina bilang apa padamu?"
"Dia menunggumu dirumah. Hanya itu yang dia katakan." Khatrine menaikan kedua alisnya. "Apa kau akan pulang?"
"Aku-—”
"Pergilah," Khatrine menyenderkan tubuhnya dikursi. Ia bersedekap memandang Raveno, sambil berusaha menahan sesak yang semakin mendera.
Raveno menghela nafas. Ia menunduk sejenak sebelum menatap Khatrine menyesal. "Maaf tidak bisa menemanimu hari ini,"
Khatrine mengalihkan pandangan. "Tidak apa-apa. Lagi pula, bukankah sudah biasa seperti ini?" ia terkekeh miris lalu membereskan bekas sarapannya. Meski ia baru memakannya sedikit, Khatrine tetap membuang semuanya.
"Jangan seperti ini, Khat."
"Aku bilang pergilah, Rav!" ucap Khatrine tanpa menoleh. Ia berdiri membelakangi Raveno. "Pergilah, sebelum aku bersikap egois dengan menahanmu di sini," ia meremas pinggiran wastafel sekuat tenaga.
"Baiklah, aku akan pergi." ucap Raveno pada akhirnya. Pria itu berjalan mendekat, mengecup belakang kepala Khatrine sebelum benar-benar pergi dari sana.
Menyadari Raveno sudah benar-benar pergi, tubuh Khatrine langsung merosot kelantai. Ia duduk di sana, melipat kakinya dan mulai menangis.
Ia menangis kencang, melepaskan semua sesak yang ia rasakan sejak kemarin. Tapi mau seberapa banyak air mata yang ia keluarkan, perasaannya tidak juga membaik. Hatinya malah semakin sakit. Ia memukul dadanya, berharap dapat mengurangi rasa sakitnya, tapi hasilnya sama saja. Ia...hampir gila karena semua yang terjadi.
Ya Tuhan! Kenapa rasanya sakit sekali?
****
Jejak air mata masih terlihat jelas dimata wanita itu, Thomas yang melihatnya hanya bisa menghela nafas. Ia kemudian menggendong Khatrine yang tertidur di lantai dapur, lalu memindahkannya ke kamar.
Dengan hati-hati ia membaringkan Khatrine diranjang. Ia bernafas lega karena Khatrine tidak terbangun.
Thomas kemudian duduk dipinggir ranjang, menatap wajah lelap Khatrine nanar. "Apa yang terjadi denganmu, Khat?" tanyanya pelan. Ia sempat terkejut ketika menemukan Khatrine tergeletak dilantai, ia pikir terjadi sesuatu pada wanita itu, ternyata Khatrine hanya tertidur.
"Aku tidak pernah melihatmu sekacau ini," ia menggeleng. "Apa selama ini kau menyembunyikan semuanya dariku? Termasuk kesedihanmu?" Thomas mendengus saat sadar apa yang baru saja ia lakukan. Bodoh! Untuk apa ia bertanya pada orang yang tidur!
"Jangan pergi," gumam Khatrine didalam tidurnya. Air mata juga kembali menetes dari matanya. "Aku mohon jangan pergi. Aku membutuhkanmu,"
"Bahkan dalam tidur pun kau menangis, Khat." Thomas mengusap pelan air mata Khatrine dan berbisik ditelinga wanita itu. "Tidurlah, Khat. Jangan pikirkan apapun. Aku tidak akan pergi,"
Thomas tersenyum ketika Khatrine tak lagi mengigau, wanita itu bahkan memeluk tangan Thomas dan menjadikannya bantal. Tapi satu hal yang tidak diketahui Thomas, jika Khatrine tersenyum karena melihat Raveno dimimpinya, dan bukan Thomas.