Pertanyaanku membuat suasana di dalam mobil antara aku dan Andin menjadi hening. Kami menjadi cukup canggung karena Andin tak kunjung menjawab pertanyaanku. Aku jadi merasa sedikit bersalah, seharusnya aku tidak menanyakan hal itu kepada Andin. Karena jika memang ia mengetahuiya, mungkin Andin akan semakin yakin kalau rumor itu benar. Aku hanya berharap Andin tidak mengetahui tentang hal itu, sama seperti yang coba ia katakan di pagi tadi. Tapi entah kenapa, Andin tak kunjung menjawab.
“Jika kau tak ingin menjawab itu, gak papa kok Di-“ ucapku memecah keheningan dan kecanggungan diantara kami namun tiba-tiba Andin memotong pembicaraanku dan berkata. “Nggak Kill. Aku mau jawab kok”.
“Aku tahu rumor yang beredar tentang dirimu. Bahkan semua mahasiswa baru di kelompok kita tahu akan hal itu. Tapi kami memilih untuk diam dan tak membicarakannya kepadamu. Karena kami tahu, kau bukan orang seperti itu kan kill?” seperti masuk ke dalam minimarket yang memiliki AC sangat dingin. Aku begitu lega dan senang saat Andin berkata seperti itu kepadaku. Aku bisa meyakini, bahwa Andin memanglah seorang gadis yang baik dan sangat tulus. Dia tidak mungkin memiliki maksud jahat kepadaku.
“Nggak Din. Rumor itu memang tidak benar” terangku mencobanya tetap tenang.
“Lalu apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Andin lagi mencoba untuk mencari tahu dan penasaran. Semua orang sudah tahu cerita itu dari sisi Ketua Hima dan komplotannya, namun mereka pasti tidak tahu bagaimana cerita itu sebenarnya dari sudut pandangku. Tapi, aku menolak untuk mengisahkan kisah sebenarnya kepada Andin. Aku tidak bermaksud takut kalau Andin akan membocorkannya kepada orang lain, hanya saja kejadian itu masih membekas dan melukai pikiranku sampai sekarang. Aku tak bisa mengatakannya kepada seseorang, bahkan diriku sendiri masih tak mempercayainya. Aku hanya berpikir biarkan orang-orang yang berada di sana dan melihatnya sendirilah tahu akan kejadian yang sebenarnya.
“Tidak ada yang terjadi Din. Semuanya hanyalah karangan Ketua Hima itu kepadaku. Dia sengaja mencoba untuk menyeretku ke dalam masalahnya, hanya karena masa laluku” aku menceritakan kepada Andin apa yang bisa aku ceritakan. Aku tidak bisa menceritakan semuanya kepada dirinya. Meskipun hanya ada kami berdua di mobil mewah ini.
“Ketua Hima? Apa memang dia sejahat itu kepadamu? Lalu, masa lalu apa yang maksud?” jawab Andin. Aku lupa, Andin memang menyukai ketua Hima. Aku tidak bisa mengatakan hal-hal yang jelek tentang ketua Hima di hadapannya. Karena kami baru kenal dan menjadi sahabat. Jika dia menerima kenyataan pahit yang harus kukatakan di depannya, hanya ada dua pilihan. Dia mempercayaiku dan membenci ketua Hima, atau sebaliknya. Aku hanya bisa mengatakan sesuatu secukupnya kepada Andin.
“Mungkin kau tidak percaya, namun aku dulunya adalah seorang berandalan yang sering sekali berantem. Ketua Hima yang tahu akan masa laluku mencoba mengetesku untuk melakukannya. Tapi, hanya sekedar itu, aku atau dia bahkan tidak pernah saling bersentuhan” jawabku dengan kalimat se politis mungkin menghindari untuk membuat hati Andin terluka.
“Tidak mungkin, kau dulunya benar-benar seorang berandalan? Gadis cantik sepertimu? Ayolah, kau pasti bercanda” sahut Andin sampai menengok ke belakang tak percaya dengan ceritaku. Untung saja dia lebih tertarik dengan kisah itu timbang kisah tentang apa yang terjadi antara aku dan ketua Hima. Karena jika itu menyangkut dengan masa laluku, aku bisa menjawabnya dengan mudah.
“Apakah kau ingin mengetesnya? Aku bisa menunjukkan bekas luka di lengan kiri bagian belakangku sekarang kepadamu” aku menyingkap lengan kaos bagian kiri yang kupakai dan memperlihatkannya kepada Andin. Ada sebuah jahitan dan beaks luka yang cukup parah di sana, Andin bisa melihatnya dengan jelas. Bekas luka itu merupakan bekas saat pertarunganku melawan segerombolan anak smp. Mereka merupakan sekelompok geng yang sangat pengecut sampai-sampai harus membawa senjata untuk melawan kami. Kami yang hanya bermodalkan tangan kosong benar-benar dengan membabi buta melawannya, sebuah pertarungan yang mengesankan memang. Aku terkena sebuah cutter yang merobek lengan belakangku ini sekarang sampai meninggalkan sebuah tanda. Untung saja serangan itu ada di bagian belakang, sehingga tak bisa dilihat dengan mudah.
Setelah pertarungan itu, aku langsung dibawah ke klinik oleh Namira. Itu adalah kali pertama aku dibawa ke klinik gara-gara pertarungan. Dan juga mematahkan rekorku sebagai seseorang yang tak pernah dikalahkan. Walaupun sebenarnya itu tidak dihitung sebagai kekalahan, namun aku merasa malu terhadap teman-teman di gengku saat itu karena harus memabwa luka tanda itu kemana-mana saat aku pergi
“Wahh... mengerikan,” Nada Andin terlihat terkesan saat aku menunjukkannya kepadanya, “Apakah itu sakit saat dipegang?”
“Tentu saja tidak” Andin memegang bekas lukaku. Dia benar-benar terkesan, dan jahitan itu sebenarnya sudah kering menjadi daging. Sebenarnya, saat itu aku tidak memerlukan jahitan agar luka itu bisa sembuh, namun Namira menyarankanku untuk ke klinik karena lukanya yang lebar dan sangat dalam. Tapi aku tak merasa kesakitan saat itu, entah karena adrenalin yang berpacu terlalu tinggi, atau memang luka itu mengenai sarafku sehingga tak bisa merasakan sakit lagi.
“Aku bener-bener gak mengira kalau cewek kayak kamu ternyata dulunya berandalan loh Kill. Tunggu, panggilan Killa itu juga panggilan saat kamu jadi anggota gengan bukan? Karena menurutku cocok sih terdengar sama-sama mengerikan” tanya Andin kepadaku.
“Hmm... ya semacam itu. Sebenarnya mamakulah yang pertama kali memanggilku dengan Killa. Alasannya agar mudah dieja dan dipanggil oleh nenek dan kakek, tapi aku merasa kurang nyaman saat dipanggil seperti itu. Karena terdengar menakutkan dan berbda dengan karakter asliku yang terasa sangat imut dan menggemaskan dahulu. Namun, sepeninggal kedua orang tuaku, aku menjadi rindu dengan nama itu, aku menggunakan nama itu kembali untuk mengenang mereka” jawabku, yang jujur saja membuatku kembali sedih karena mengenang kedua orang tuaku kembali.
“Tunggu, Kill. Kedua orang tuamu sudah meninggal?” tanya Andin memastikan. Aku pun mengangguk mengisyaratkan kalau ucapannya memang benar.
“Ya ampun, maaf ya Kill sudah mengingatkanmu tentang hal buruk. Aku sendiri gak bisa bayangin bagaimana jadinya kalau orang tuaku meninggal sekarang. Aku nggak akan siap menerimanya” balas Andin lagi bersimpati kepadaku.
“Gak masalah kok Din. Kamu gak salah. Lagian orang tuaku meninggal saat aku masih SMP, itu terjadi cukup lama. Dan juga, tidak ada anak yang siap untuk menerima kehilangan orang tuanya secara tiba-tiba Kill. Percayalah kepadaku akan hal itu” sahutku kepada Andin menasihatinya tentang hal itu.
Kami berdua kembali terdiam. Ngobrol tentang orang Tua memang membuat kami sedikit emosional. Karena siapa juga yang ingin atau berpikir kalau orang Tua mereka meninggal secara tiba-tiba? Anak-anak yang tidak memiliki kompas moral sepertiku pun juga sepertinya akan menolak untuk berkata dan menyumpahi agar orang tua mereka cepat mati.
Aku kemudian melihat sekeliling mobil Andin ini. Aku bisa melihat banyak sekali ornamen-ornamen di interior mobil masih terbungkus rapi dengan plastik. AC yang menyejukkan di dalam mobil juga terasa sangat dingin, berbeda dengan ac kendaraan umum yang tak memiliki kesejukan yang bagus hanya sekedar hawa angin terasa di dalamnya. Ini bukanlah mobil lama, ini mobil baru.
“Kamu beli mobil kayak gini berapaan Din?” tanyaku penasaran kepada Andin. Dia kemudian tertawa malu dan meringis. Aku tak tahu apa yang lucu dari ucapanku tadi sampai membuatnya tertawa seperti itu.
“Ya ampun Kill, bukan aku yang beli mobil ini. Yang beli orang tuaku. Aku mana tahu berapa harganya” Jawab Andin. Dia memang orang kaya, karena biasanya anak orang kaya tidak akan tahu seberapa berharga barang atau harta yang mereka punya. Aku menduga kalau mobil seperti ini dia anggap sebagai mobil normal bukan mobil mewah.
“Saat aku masuk kuliah, ayahku bilang kalau aku akan dibeliin mobil. Cuman dengan satu syarat, kalau aku harus menyetir sendiri mobilnya tanpa harus menggunakan supir. Dan berarti satu hal, aku harus dapat Surat izin mengemudi mobilku sendiri” Jawab Andin. Aku pun berandai-andai jika saja orang tuaku masih ada, mungkin nasibku tidak akan jauh berbeda dengan Andin. Hidup bergelimang harta dan juga tidak memikirkan akan makan apa besok.
“Latihan mengemudi mobil ternyata sudah banget loh Kill. Aku harus latihan sampai 3 bulan agar bisa mendapatkannya! Untung saja aku nemu instruktur yang sangat hebat mau untuk mengajariku menyetir sampai mahir. Awalnya memang aku sangat ceroboh untuk mengemudi sampai menabrak beberapa kali. Tapi pada akhirnya aku bisa lulus dan mendapatkan surat izin mengemudi ku sendiri!” Ujar Andin dengan rasa bahagia. Aku memang tahu kalau mendapat surat izin mengemudi memang sangatlah sulit. Aku yang sejak kecil tidak terbiasa mengendarai apapun merasa kalau itu adalah tugas yang sangat mustahil, dan joki surat izin adalah satu-satunya cara bagiku agar bisa lolos dengan mudah.
“Ah yang bener?” sangkalku mencoba menggoda Andin.
“Beneran!” Andin berusaha meyakinkanku. Sampai-sampai dia membuka dompet dan mengeluarkan surat izinnya kepadaku. Namun ada satu hal aneh yang menyita perhatianku saat ia menunjukkan kartu miliknya kepadaku. Wajah yang ada di sana benar-benar aneh. Tidak mirip dengan Andin, pipinya besar seperti sedang memakan bakpao jumbo.
“Din... ini beneran kamu?” tanyaku gak percaya. Andin kemudian membalik surat izin miliknya, dan melihatnya sendiri. “Ini memang aku kok! Hmm... kayaknya aku paham kenapa aku bingung”
“Jadi, aku bikin sim itu satu tahun yang lalu saat selesai lulus sekolah. Dan saat aku SMA, tubuhku benar-benar gemuk. Mirip seperti atlit sumo dengan rambut terurai. Berat badanku mencapai 100 kilo saat itu, tidak ada yang mau berteman atau bahkan naksir denganku saat itu. Masa-masa sekolahku benar-benar kelam. Namun saat libur menunggu untuk masuk universitas. Aku memutuskan untuk diet. Dan berhasil, hanya dalam waktu satu tahun setengah, berat badanku yang awalnya menjadi 100 kilo menjadi 60 kilo sekarang” sebuah fakta yang sangat mengerikan. Tapi itu juga menjelaskan begitu banyak hal mengapa Andin bisa berhati sangat tulus seperti sekarang ini.
Untung saja, diriku dari kecil hingga tumbuh dewasa selalu memiliki berat badan yang ideal, aku tidak bisa membayangkan apa latihan dan juga diet yang dijalankan oleh Andin sampai-sampai dia mendapatkan berat badannya seperti sekarang ini. Saat masa-masa sekolah, aku yakin Andin juga sudah menempa mentalnya dengan sangat kuat menahan bullyan dari teman-temannya
“Wah kamu keren banget Din. Aku gak yakin bisa diet seketat kamu begitu sih. Pasti aku akan langsung merasa tersiksa di minggu pertama“ jawabku kepada Andin yang sangat salut. Beberapa orang di dunia ini mungkin tidak percaya diri dengan fisik yang mereka punya. Namun jika mereka bisa melawan ketidak percayaan diri tersebut, aku yakin suatu saat itu akan menyusahkan dirinya sendiri. Aku memiliki pesan kepada kalian yang selalu mengkhawatirkan itu, jangan hiraukan perkataan itu. Jadilah dirimu sendiri asal kalian bisa menjaga kesehatan kalian.
“Justru aku iri denganmu Kill. Kayaknya kamu orang yang selalu kurus dari kecil sampai gede. Andai saja aku bisa mempunyai metabolisme yang baik kayak kamu. Mungkin aku gak akan perlu menjalani diet ketat yang menyiksa diriku sendiri tahun itu. Untungnya, perjuanganku yang melelahkan tidak berakhir sia-sia”
“Iya Din. Aku juga bersyukur karena Tuhan sudah ngasih aku-“ sebelum aku menyelesaikan ucapanku. Aku mendengar dan melihat sebuah mobil keluarga menyalakan mesinnya dengan keras. Bahkan sangat keras sampai-sampai membuat kami yang seharusnya berada di dalam mobil dan kedap suara bisa mendengarnya dengan jelas. Aku tidak tahu maksud dari pemilik mobil tersebut memang ingin memanaskan mobilnya atau hanya ada maksud lain.
“Eh... Kill, itu bukannya dua cewe songong dari kantin tadi ya” Ucap Andin menunjuk seseorang yang keluar dari mobil. Dan benar saja, mereka berdua adalah Rosaline dan juga Lizbeth. Mereka terlihat kebingungan akan mobil mereka yang tampak tak bisa berjalan dengan lancar.
Tapi kemudian, mesinnya berjalan dengan lancar lagi. Dan mereka akan masuk ke dalam mobil untuk kemudian pergi. Aku memiliki sebuah ide, yang hanya bisa dilakukan oleh Andin jika memang ia memiliki Surat Izin Mengemudi, “Din, aku punya ide. Bagaimana kalau kita balik jailin mereka?”
“Jahilin? Apa yang akau kau lakukan?” tanya Andin masih bingung dengan rencana yang akan ku katakan.
“Pokoknya kamu ikutin saja mereka kemanapun mereka pergi. Aku akan ngasih tahu saat kita di jalan” ucapku tidak memberitahukan semuanya kepada Andin. Mobil milik Lizbeth dan Andin itu kemudian pergi, aku memegang pundak Andin memberitahukannya agar tidak buru-buru mengikutinya dari belakang. Karena akan berpotensi kalau mereka berdua tahu kalau kita mengekor mereka.
“Jadi kapan kita harus pergi untuk menyusul mereka dari belakang?” tanya Andin penasaran. Aku pun menunggu momentum yang tepat untuk kami pergi. Aku menyuruh Andin untuk mulai menyalakan mesinnya dan bersiap-siap. Jarak dan ketepatan waktu adalah hal yang penting di sini, dan aku tidak boleh melewatkannya,
Aku pun langsung menyuruh Andin berjalan melewati parkiran dan segera menguntit Rose dan Liz dari belakang. “Kill, rencana kamu ini beneran aman kan?”