Chapter 19

2072 Kata
“Dasar b******n lo. Berani-beraninya mukul gue hah!” terpukul mundur sampai menabrak beberapa meja. Wajah ketua Hima sampai harus kotor karena tertumpah piring masih berisi makanan penuh. Dia mencoba bangun untuk membalas pukulan yang diterima oleh Beno. Dengan wajah serius, aku tak bisa menahan tawsaat melihat mukanya penuh dengan makanan. Kepalanya sekarang lebih mirip seperti talena restoran all you can eat. Tapi setelah semua kegaduhan itu, orang-orang di sana langsung saja beraksi dengan mencoba menahan baik Beno maupun Ketua Hima agar tidak terjadi konflik yang terlalu serius. Aku juga yang merupakan salah satu saksi di sana mencoba untuk membawa Kaila pergi dari huru=hara ini. Aku mempelajarinya saat masih menjadi seorang berandalan, orang paling lemah akan aku singkirkan terlebih dahulu agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Aku langsung berlari menuju Kaila. Tamparan yang ketua Hima berikan kepadanya membekas di pipinya dengan sebuah tanda merah dan cap lima jari. Dia terlihat masih syok dan tak bisa memroses apa yang sedang terjadi. Mirip seperti apa yang terjadi denganku dulu, aku pun langsung saja menyeretnya keluar dari gedung, dibantu oleh para wanita lain yang kasihan dengan nasibnya. Mbak-mbak pelayan salah satu gerai ikut mendatangi Kaila. Dia memberinya sebotol air putih untuk Kaila minum. Wajah Kaila yang sangat cantik benar-benar terlihat kasihan sekarang ini. Aku masih belum sempat berpikir kenapa ada orang setega itu untuk menamparnya. Aku yakin bahkan ayah dari Kaila sendiri tidak akan berani untuk menampar anaknya. “Kamu tidak kenapa-napa?” tanyaku kepada Kaila. Dia langsung menengok ke arahku, ekspresinya berubah menjadi normal, seperti baru saja melihatku ada di sampingnya padahal sejak tadi aku bersamanya dengan yang lain. Kaila hanya mengangguk, aku tak bisa berharap jawaban lebih darinya. Sementara di dalam gedung, aku bisa mendengar suara teriakan dan juga beberapa ornamen tergeser. Sepertinya Beno dan ketua Hima masih bertengkar soal ini. Aku mencoba untuk melupakan urusan pria-pria bodoh itu. Untuk sekarang aku benar-benar khawatir dengan nasib dan keadaan Kaila. Kaila meminum botol yang diberi oleh pelayan tadi sampai habis. Aku tak merasa kalau dia sedang haus hanya saja aku merasa dia masih syok dan tak tahu harus melakukan apa. Dia hanya melakukan apa yang ada di depan matanya sekarang, sebuah botol dingin penuh dan berembun. “Ada apa dengan kalian? Kenapa dia tadi menamparmu?” tanya salah satu orang yang mengerumuni kami. Tak beradab, bisa-bisanya dalam kondisi seperti ini seseorang malah menanyakan seperti itu. seharusnya pertanyaan itu tak muncul untuk seseorang yang sedang mengalami syok. Tapi terlihat tak ada yang menghentikan wanita itu saat bertanya, mereka semua sepertinya juga penasaran apa yang terjadi antara Kaila dan juga ketua Hima. “Jika kau tidak ingin menjawabnya. Maka tidak usah kau jawab. Kau berhak untuk mengabaikan pertanyaan mereka” bisikku kepada Kaila. Dia pun menengok kembali ke arahku, dan berkata dengan sangat pelan sampai-sampai mungkin hanya aku yang bisa mendengar ucapannya saat itu, “Terima kasih” “Kau ingin apa? Pulang? Aku akan mengantarmu sampai ke rumah jika kau ingin” tawarku kepada Kaila. Dia pun langsung berdiri, menghampiri sebuah mobil dan mengambil kunci dari kantong celananya. Aku pikir mungkin Kaila akan pulang sendirian. Aku tidak tahu itu aman baginya atau tidak tapi yang jelas itu lebih baik daripada dia terus berada di tempat ini. Kaila masuk ke dalam mobilnya, dia menyalakan mobilnya dengan keras dan berjalan mundur. Aku pun menghampirinya. Mencoba untuk menolongnya bernavigasi dalam situasi yang penting seperti ini, aku takut pikirannya masih kacau dan tak bisa menyetir dengan benar. Saat aku menghampirinya, tepat depannya. Dia membuka jendela mobilnya. Melambai-lambaikan tangan kanannya ke arahku, seperti mencoba untuk memanggilku. Aku pun langsung berjalan menuju samping mobilnya. “Maaf bila aku membuat semua keributan di tempat ini. Tapi terima kasih sudah menolongku. Namaku Kaila” ucapnya sambil menjulurkan tangan padaku. Aku pun menggenggam uluran tanganku dan berkata “Ya sama-sama, Namaku Killa. Ternyata nama kita mirip yah, tak kusangka kita akan berkenalan dalam kondisi seperti ini”. “Yah, aku juga tidak menyangka. Mungkin di lain waktu kita bisa bertemu kembali dalam kondisi yang lebih baik oke?” Kaila tersenyum manis padaku. Meskipun dalam keadaan stress, dia masih bisa mengeluarkan sedikit senyumannya kepadaku. “Ya, tentu saja. Tapi Kaila, apa kau yakin bisa menyetir mobil ini sendirian?” tanyaku khawatir. “Aku bisa kok. Tenang saja. Kalau begitu kita aku balik dulu ya. Sampai ketemu lagi nanti” Kaila melambaikan tangannya padaku seraya pergi meninggalkan parkiran gedung ini. Gerombolan orang di sana pun bubar sendiri-sendiri karena objek perhatian mereka sudah pergi. Sementara itu di dalam gedung, aku mengintip kondisi Beno dan Ketua Hima sudah tidak tertolong lagi. Mereka benar-benar bertengkar sampai-sampai berniat untuk menghancurkan furnitur gedung. Orang-orang di sana yang berusaha untuk menghentikan mereka pun percuma saja. Karena mereka tak bisa menghentikan Beno maupun ketua Hima. Tapi tiba-tiba Ketua Hima berhenti menyerang Beno. Dia kemudian pergi dari gedung sambil merapikan baju yang sudah acak-acakan tak teratur. Beno yang dalam posisi siaga itu kemudian juga tidak memiliki niat untuk mengejar ketua Hima. Tanpa adanya kata-kata perpisahan atau saling mengutuk, mereka berdua berhenti bertengkar. Aku yang masih berada di depan gedung melihat Ketua Hima melewatiku. Kami saling lirik satu sama lain, lirikannya yang begitu tajam membuatku ingin menyolok kedua matanya sampai berdarah untuk kujadikan sate. Tapi konfrontasi sudah cukup, aku tidak ingin ada keributan lagi di sini. Aku melihat Ketua Hima berada di parkiran sampai dia menghampiri sepeda motor miliknya. Dia pun langsung saja pergi tanpa mengatakan minta maaf kepada siapapun di sana. Benar-benar sifat seorang ketua yang teladan. Akibat dari insiden ini, aku yakin para mahasiswa universitasku tidak akan memandang Ketua Hima sama lagi seperti sebelumnya. Aku yakin mereka akan menganggap dia sebagai seseorang yang sangat tak beraturan dan tidak memiliki etika. Entah kenapa meskipun terdengar jahat, aku memang senang bila melihatnya terpuruk dengan perlahan-lahan seperti itu. Suasana gedung sudah mulai mereda, aku pun langsung saja menghampiri Beno. Tidak ada luka terlihat di sekujur tubuhnya, namun dia hanya mengeluh sakit di bagian sendi-sendinya. Seperti orang tua. Berada di hadapannya, Aku pun langsung menampar Beno. “Jangan seret aku ke masalah loe lagi. Ini adalah terakhir kalinya. Dan kalo loe ngelakuin hal semacam ini lagi, gue akan nganggep loe sebagai pecundang” aku bingung harus mengancam apa kepada Beno. Aku tidak memiliki kekuasaan sebesar siapapun di sini. Hanya itu yang bisa kukatakan kepadanya. “Ga masalah. Aku memang pecundang sedari awal” jawab Beno sambil tersenyum meskipun kesakitan. Tamparanku yang keras membuat perhatian orang-orang kembali tertuju kepada kami. Tidak ingin membuat kegaduhan lagi, aku pun kembali ke parkiran untuk meredakan pikiran. Aku menelepon Andin. Memintanya untuk menjemputku. Aku sudah meminta nomornya saat kami makan bersama di dalam mobil. Dan seharusnya Andin mudah untuk aku hubungi karena sedari tadi dia pasti sedang menungguku. Dan ternyata benar saja, Andin langsung mengangkat telfon yang aku minta. “Halo, iya kenapa Kill” tanya Andin kebingungan. Ini baru pertama kalinya aku meneleponnya. “Kamu bisa jemput aku nggak? aku mau pulang. Tapi kalo kamu mau sih, kalo nggak juga gapapa. Jaraknya juga ga begitu jauh dari kampus kita. Jadi seharusnya sih aman-aman saja” ucapku meminta tolong kepada Andin. Aku merasa kalau aku terlalu meminta hal banyak kepada Andin. Aku merasa kalau aku memanfaatkannya, tapi yang membuatku percaya diri adalah Andin tidak mungkin mengabaikan permintaanku. “Oh oke. Santai. Nanti kamu share loc ya. Aku bentar lagi ke sana” jawab Andin “Oke, aku Share loc ini” jawabku sambil memutuskan telepon. Aku pun mencoba untuk memberikan lokasiku via gps kepada Andin. Ini cukup akurat untuk membuatnya datang kepadaku dan menghampiriku dengan mobilnya *** Tak lama kemudian, Andin datang dengan mobilnya. Dia langsung saja menurunkan jendelanya dan menyapaku agar segera masuk ke dalam mobil. Saat melihat mobil Andin datang, mana mungkin aku bisa tidak tahu kalau itu mobilnya. Merek mobil Andin benar-benar berbeda dari mobil kebanyakan. Aku langsung saja masuk ke dalamnya. Tapi tiba-tiba Beno berteriak kepadaku. Aku pun menoleh, dia terlihat kebingungan kenapa aku bisa dengan mudahnya memanggil mobil ini agar bisa pulang. “Kill, kamu mau kemana?” tanya Beno. “Bukan urusanmu” rajukku kepada Beno. Aku pun langsung saja membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Duduk di bagian depan mobil tepat di samping Andin setelah sebelumnya duduk di bagian belakang. Andin tak kunjung menyalakan mobilnya. Dia diam saja memandangi kami berdua. Benar-benar terlihat kebingungan. “Kill, dia siapa? Dia anak yang ada di gazebo tadi kan” tanyanya keheranan. “Sebelum aku menjawabnya. Sebaiknya kau menggas pedal di mobilmu itu agar kita bisa keluar dari tempat ini” benar-benar menuruti permintaanku, Andin langsung saja membuat kami berdua pergi dari tempat ini. “Tadi itu pacarmu? Apa kalian bertengkar akan sesuatu, ah maaf bila aku terlalu mencampuri hubungan kalian berdua” tanyanya mencoba untuk bersikap sopan kepadaku. “Tidak dia bukan pacarku. Bahkan aku tidak mengenalnya. Dia hanya sebatas kenalan, dan kami terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan tadi” jawabku dengan jutek. Aku benar-benar merasa dalam mood yang buruk sekarang. “Ah oke, tapi dia benar-benar tampan. Apa kau yakin dia bukan pacarmu?” aku tak tahu apa sebenarnya konsep seorang kekasih dan pacar di kepala Andin. Dia terus saja mendengungkan nama itu di kepalanya. “Jika kau ingin memilikinya. Pacari saja dia, aku tak akan keberatan. Bahkan aku akan mendukung kalian berdua jika kalian benar-benar melakukannya. Tapi maaf, aku tidak bisa memberikan nomornya kepadamu. Kami benar-benar tidak sedekat itu sampai bertukar nomor” ucapku kepada Andin. Namun Andin malah tersenyum seperti melihat sesuatu yang lucu dariku, “Kau benar-benar terdengar seperti seorang kekasih yang sedang bete karena bertengkar dengan pacarnya kau tahu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keromantisan kalian saat tidak bertengkar. Tapi aku bisa mengatakan kalau tampang kalian benar-benar cocok kau tahu. Jika kalian akan menikah nantinya, aku yakin anak-anak kalian akan sangat lucu dan menggemaskan” “Bukankah sudah kubilang kalau aku tidak pacaran dengannya Andin” jawabku sambil tersenyum jahat. Aku mulai kesal bila dia selalu menyebutkan kami berpacaran padahal realitanya tidak. Membayangkan menikah apalagi, aku benar-benar tidak akan bisa membayangkan menikah dengan bocah kasar nan tengik itu. “Hahaha yasudahlah kalau kalian belum pacaran. Ku doakan agar bisa segera berpacaran amin” “Tidak akan!!” Kami sudah berjalan dengan mobil cukup lama. Namun aku tidak tahu kemana Andin akan membawaku. Ada sebuah burger bekas kemarin tersisa di dasbor mobilnya, aku membuka bungkus burger itu dan membukanya. Ternyata masih baru dan belum ada bekas gigitan. “Kalo kamu mau makan, makan saja sana. Gapapa kok. Jatah kalori harianku sudah terpenuhi.” Ujar Andin sepertinya sadar kalau aku membuka bungkus burger itu. “Ngomong-ngomong Kill. kekacauan apa yang kamu sebut tadi? Mengapa kamu sampai terlihat begitu tersiksa seperti itu? apakah sesuatu yang serius? Atau berhubungan dengan rumor itu?” tanya Andin kepadaku. Aku lupa, kalau kejadian tadi menyangkut tentang Ketua Hima yang sangat disukai oleh Andin. Aku tidak bisa memberitahukannya nama dari pelaku keributan itu karena aku takut bisa membuatnya langsung patah hati karena ada Kaila juga di sana. “Jadi di warung makan tadi. Ada seseorang berpenampilan necis duduk berdua yang bisa aku duga sebagai pacarnya. Si cowok datang dengan romantis sampai-sampai memegang tangan cewek itu, namun lama kelamaan keadaan berubah menjadi mencekam. Si cowo mulai berteriak sesuatu yang buruk sampai-sampai semua orang di warung makan itu mendengar apa yang dia katakan. Orang-orang masih diam tidak menanggapi perilaku si cowo itu yang memang bisa diakui sangat tidak sopan, tapi lama kelamaan dia malah menampar si cewe sampai menangis. Tahu situasi berubah menjadi genting, si Beno tadi langsung saja menghajar si cowo karena berperilaku kurang ajar” ungkapku kepada Andin. “Cowok macam apa ngelakuin kayak begitu ke cewek. Pasti dia anak yang kurang berpendidikan” respon Andin terhadap ceritaku. Andai saja dia tahu kalau cowok yang aku maksud adalah ketua Hima, dia pasti akan berpikiran hal yang sebaliknya. Tapi tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengungkapkan jati diri cowo tersebut. “Beno itu ternyata keren juga yah. Itu adalah definisi macho yang sebenarnya, berani bertindak untuk keadilan saat melihat sesuatu yang tidak benar terjadi di depan mukanya. Bukannya hanya diam dan tidak melakukan apa-apa seperti seorang pengecut” “Kalau kau bilang dia macho, sepertinya aku perlu menambahkan sesuatu. Buat apa macho dan terlihat keren di mata orang lain jika dia sendiri tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.” Andin menatap bingung kepadaku. Untuk pertama kalinya kami tidak berbagi pendapat yang sama. “Ohh... jadi itu alasan kenapa kau bertengkar dengannya. Aku masih heran kenapa kalian tidak berpacaran” “Sudah kubilang berkali-kali dia bukan pacarku!!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN