Orientasi

1664 Kata
“Itu emblemnya jangan sampai kebalik? Mau kami hukum hah?!” teriak seorang dengan memakai almamater berwarna merah dan berkacamata itu. Dia meneriaki segerombolan anak-anak yang duduk sambil memakai pita di kepala mereka. “Heh, kamu. Kenapa pita kamu warnanya Ijo? Gak denger apa kata para kakak-kakak kalian di depan kemaren?” laki-laki memakai kacamata itu meneriaki seorang gadis berkerudung di depannya. Gadis yang bertubuh lebih mungil daripada diriku itu terlihat sangat sedih. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Aku sangat menyayangkan perlakuan kakak tingkat yang memarahi gadis itu. Karena aku merasa pelanggaran yang ia lakukan tidak begitu parah dan tidak seharusnya menerima perlakuan semacam itu “Semuanya Berbaris membentuk 4 barisan! Cowok dan cewek dibagi terpisah!” suara lantang terdengar dari belakang. Aku yang duduk langsung berdiri mengikuti anak-anak yang lain. Rambutku yang panjang dan terurai membuatnya sedikit berantakan. Pita yang kupasang juga selalu lepas saat aku bergerak terlalu banyak. Aku benar-benar tidak leluasa memakai beragam atribut seperti ini. “Eh... itu, Emblem yang kau pasang terbalik. Cepat rapikan” Ucap seorang anak yang memeringatkanku. Emblem ini bertuliskan identitas kami. Para panitia ospek selalu membaca itu jika ingin mencoba untuk memanggil kami. Namun dari pembuatan emblem itu, banyak sekali anak yang salah dalam memakainya. Saat sebelum ospek dimulai, para panitia mengatakan pengumuman tentang spesifikasi dan tata cara bagaimana membuat emblem identitas yang benar. Lengkap dengan ukuran, bahan, dan warna yang harus dipakai. Banyak dari anak-anak yang tidak mengindahkan aturan itu, mereka pikir itu hanyalah formalitas. Padahal kenyataannya para panitia mengukur emblem kami dengan penggaris sehingga mereka bisa mengetahui berapa ukuran dari emblem kami. “Kami mendengar dan mendapat informasi kalau banyak dari kalian mengabaikan peraturan dan penjelasan dari kami. Maka dari itu, kami akan memanggil semua yang tidak patuh dengan aturan untuk diberikan sanksi dan hukuman yang jelas.” Pria berkacamata itu menjelaskan. Dia adalah Reza Pardede, ketua himpunan sekaligus ketua panitia dari acara ini. Aku tahu itu karena dia telah memperkenalkan dirinya kemarin. Dia memakai baju almamater berwarna merah dengan rambut belah tengah. Aku merasa dia tidak memiliki gaya yang bagus, hanya mengikuti tren dan apa yang sedang populer saja “Kami akan memanggil semua dari kalian yang tidak mematuhi untuk berbaris berjemur di depan” saat mendengar itu, banyak anak-anak yang panik karena mereka sadar kalau tidak mengikuti aturan. Sementara aku santau-santai saja. Aku sudah mempersiapkan semuanya hingga tengah malam. Dan juga para panitia tidak memeriksaku sebelumnya. Aku tidak akan mungkin dipanggil. “Eh bagaimana ini? Aku memakai sepatu futsal?” aku mendengar seorang murid laki-laki dengan ucapan cemas. Aku sedikit tidak bisa menahan tawa saat itu. Orang mana yang memakai sepatu olahraga saat ospek berlangsung? “Tenang saja, aku yakin hukumannya tidak akan berat. Aku mendengar dari kakak tingkat yang juga tetanggaku berkata kalau acara ini hanyalah formalitas saja. Bahkan kau bisa tidak mengikuti acara ini dan masih tetap bisa melakukan pembelajaran perkuliahan dengan normal. Kau tidak perlu khawatir” ucap laki-laki disampingnya. Biasanya orang yang berkata seperti merupakan orang yang sangat tidak memperhatikan atau mengabaikan aturan. Aku yakin suasana di kos-kosan ataupun kamar pribadinya akan menempel banyak sekali poster band-band metal ataupun buku kekiri-kirian “Lagipula, kenapa kau memakai sepatu futsal?” tanyanya kembali. “Aku berpikir kalau acara ini akan berlangsung hanya sebentar. Sementara teman-temanku sudah janjian akan melakukan pertandingan futsal hari ini. Jika aku tidak pergi futsal sekarang. Uangku bisa saja hangus dan terpakai oleh panitia lapangan itu” Sang Ketua Hima mengucapkan nama-nama dari anak-anak yang tidak taat dengan aturan “... Stanley Bong, Septiawan Rahmadi, Annisa Rahmawati...” entah kenapa aku cukup lega tidak ada namaku yang ada di situ. Padahal aku sendiri sudah tahu kalau aku tidak akan mungkin menjadi anak-anak dengan catatan hukuman saat ini. Tidak seperti aku yang dulu. Aku melihat anak yang memakai sepatu futsal tadi berjalan dengan muka murung dan sedikit takut menunduk ke bawah. Namanya dipanggil, kemudian anak yang mencoba menenangkan bocah dengan sepatu futsal tadi juga dipanggil. Namun bocah itu tidak sama sekali terlihat sedih ataupun takut. Malah, dia tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya kepada anak-anak di belakang yang nampaknya adalah temannya “Kenapa kau melambaikan tanganmu? Apakah kau menganggap ini semua bercanda?!” pria berbadan sedikit gemuk dan jambang yang panjang meneriaki bocah itu “Tidak kak, ada semut yang menempel di sela-sela jariku. Aku hanya berusaha mengeluarkannya.” Balas bocah itu “Hah, alesan aja. Cepet baris sama yang lain!” Teman-teman yang ada di belakangnya tertawa melihat bocah itu dengan tingkah anehnya. Aku menundukkan kepalaku, walaupun kami berteduh, namun sedari tadi pagi aku belum memakan apapun. Sementara perutku sudah mulai mengeluarkan alat-alat perkusi “Dewi Aquilla Sartika!” aku mendongak ke atas. Ketua Hima tadi menyebutkan namaku! Aku kebingungan, bagaimana bisa aku melakukan kesalahan sementara tidak ada yang memeriksaku dari tadi. Seorang wanita memakai almamater menjemputku, ia mencoba mengantarku ke barisan bersama yang lain. Aku masih sedikit syok dan bingung bagaimana ini bisa terjadi. “Maaf kak, saya salah apa ya? Perasaan, saya tidak melakukan apapun yang dianggap melanggar aturan.” Tanyaku kepada panitia yang mengantarku. Wajahnya terlihat cukup kalem dan tidak segalak panitia yang lain “Kamu mencoba mempertanyakan keputusan kami?! Baru masuk sudah berani Protes!? Apa jadinya jika sudah masuk ke dalam perkuliahan? Kamu mau jadi pembangkang hah? Aku tidak tahu, kenapa dia bereaksi seperti itu. Mungkin memang dia harus berucap seperti itu kepada semua anak yang mencoba bertanya. Namun tetap saja, aku masih merasa sedikit sakit hati Aku pun berbaris diantara murid-murid yang lain. Matahari berada di atasku terasa seperti dipanggang hidup. Sementara pita yang ada di kepalaku selalu jatuh dan tak bisa diam dengan tenang. Aku sudah merasa cukup risih dengan semua ini. Ketua Hima berjalan memandang kami dan emblem kami. Dia menunjuk sebagian anak-anak dan kemudian menyuruh mereka pergi ke suatu tempat. Aku tidak tahu apa indikasi yang membuat mereka disuruh untuk pergi. Hanya Ketua Hima dan Tuhan yang tahu soal itu Ketua Hima berhenti di hadapanku cukup lama. Dia memandangi emblemku, melihat identitasku seakan-akan ada yang salah. Dia pun memanggil panitia yang lain. “Dewi Aquilla Sartika, apa benar ini anaknya?” tanya Sang ketua Hima. Iya pun menjawab dengan mengangguk. “Baiklah bawa dia kesana” lanjut Sang Ketua Hima. Aku tidak tahu apa yang terjadi, dia tidak mengatakan apa alasan aku untuk dibawa ke suatu tempat. Namun mengingat perkataan bocah tadi. Aku seharusnya tidak merasa khawatir Aku dibawa ke sebuah tempat sepi. Aku melihat banyak sekali panitia laki-laki yang berdiri di sana. Aku tidak tahu kenapa mereka semua berada di sini, mereka menatap diriku dari sekujur tubuh bawah sampai atas. Aku tahu untuk ukuran seorang wanita, tubuh fisikku memang terlihat sedap untuk dipandang. Aku sedikit takut dengan tatapan menjijikkan para panitia itu “Kau benar-benar Dewi Aquilla Sartika kan?” Ketua Hima itu bertanya langsung kepadaku. Aku mengangguk-angguk mengonfirmasikannya. Saat aku mengangguk, aku melihat sekitar dan ternyata tidak ada anak mahasiswa baru yang lain di tempat ini. Aku benar-benar khawatir dan sedikit ketakutan. Sepertinya aku benar-benar berada di dalam kondisi berbahaya “Aku sudah mendengar sesuatu tentangmu. Dengan pamormu saat berada di sekolah sma, kau cukup terkenal di sini diantara kami. Dan kami ingin sedikit berbisnis denganmu” Ketua Hima itu tersenyum kepadaku. Saat ia mengucapkan itu, panitia yang lain berjalan mendekatiku, aku sadar kalau mereka sedang mengerubungiku sekarang. Waktu sma, aku memang terkenal sebagai anak yang nakal. Bahkan aku sempat membuat gengku sendiri waktu sma. Sering sekali berbuat onar bahkan panggilan kepala sekolah sudah menjadi makanan sehari-hari kami. Walaupun kenakalan yang kami lakukan tidak sampai menjurus ke arah kriminal, namun masih bisa cukup membuat para guru dan pengurus sekolah menggaruk-garukkan kepala mereka. Reputasi juga kami cukup terkenal di kalangan SMA yang lain. Saking populernya, aku pernah belajar di sekolah sma lain meskipun guru itu menyadari kalau aku bukan siswa sma itu, Namun, saat tahun terakhir sekolah. Aku berusaha mengubah citraku, menjadi lebih baik. Aku sadar masa depanku tidak akan berubah menjadi lebih baik apabila terus berbuat begitu. Aku membubarkan gengku dan fokus giat untuk belajar hingga akhirnya di terima di kampus ini. Meskipun bayarannya aku sekarang dimusuhi oleh banyak sekali geng di SMA dan bahkan mantan gengku sendiri, aku menganggap itu semua sepadan dengan apa yang aku perlu bayar “Bob, cepat kebelakang” Sang ketua Hima bersiul. Dia memanggil temannya untuk berjaga di pagar. Dia melihat ke kiri dan kanan, lalu menutup pagar itu dan menguncinya. Aku makin panik, menganggap situasi menjadi semakin tidak beres. “Kak, ada apa ini? Kenapa pagar itu dikunci?” “Ya... ini hanya untuk keamanan. Bukankah sudah kubilang kalau aku ingin berbisnis denganmu? Namun ada yang berbeda dengan bisnis ini, kau tidak bisa menolaknya?” tiba-tiba dari belakang, lenganku disekap dan dipiting dari belakang. Mereka mengikat tanganku dengan sebuah tali rafia. Aku yang tersentak langsung berteriak “Tolonggg” aku merasa tidak ada satupun orang yang berada di tempat itu. Hanya suara burung dan angin berhembus yang menemaniku. Sang kepala Hima yang berada tepat di hadapanku mencoba membuka kancing bajuku. Namun aku langsung memberontak dan membenturkan kepalanya dengan kepalaku, sampai-sampai ia terpukul mundur “Hah, kau memang-memang cocok dengan reputasimu. Apa kau pikir kau bisa kabur dari kami hah?” balas Sang Ketua Hima. Aku tersadar kalau tanganku diikat dengan sangat kencang. Tak ada celah atau ruang untuk bergerak. Ketua Hima mengeluarkan sebuah cutter dari tangannya. Dia pertama-tama mencoba untuk melepaskan pita di kepalaku, dia lanjut berkata “Mari kita anggap kalau pita ini adalah sebuah pita peresmian” Dia tertawa dengan keras dibarengi oleh panitia yang lain. Aku benar-benar merasa sangat ketakutan saat itu. Dia tiba-tiba menyentuh D**a ku dengan tangan kirinya. Aku tidak bisa menghindarinya, jika aku bergerak lebih jauh aku bisa terjatuh dan malah memperburuk keadaaan. “Aku penasaran, berapa tangan yang sudah menempel di benda bulat ini” perkataannya sangatlah menjijikkan membuatku ingin muntah. Tangan kanannya, menyentuh bajuku mencoba merobeknya dengan ganas. Namun tiba-tiba. Seorang lelaki muncul dihadapanku. Ia berlari dengan sangat kencang, dan memukul pipi sang kepala Hima hingga tersungkur terjatuh sangat jauh. “Lepaskan tangamu darinya. Atau wajahmu tidak akan terlihat tampan lagi”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN