Udara di sekitarnya terasa begitu mencekik. Sayup-sayup terdengar teriakan orang merintih dan kesakitan. Menggapai semua yang bisa digapainya. Dia tahu kalau ini hanyalah mimpi, atau traumanya yang sampai saat ini masih menjadi mimpi buruknya.
Dia berusaha meraih udara sebanyak mungkin. Ingin segera terbangun dari mimpi yang membuatnya terhempas lagi ke dalam kegelapan. Dia harus menyudahi ini semua. Tersentak dengan napas tercekat, matanya membuka dan menatap nanar langit-langit kamarnya. Keringat dingin membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Mimpi itu masih terus menghantui tidurnya tiap malam. Peristiwa itu, musibah itu.
“Kirana!” Dia berteriak memanggil nama kekasihnya. Dia masih begitu kesakitan saat mengetahui nama itu tak lagi menjawab.
Mengedarkan pandangan, dia mengernyitkan kening. Jendela di depannya tampak asing. Dan ketika dia menunduk, hampir terjatuh dari atas kasur. Dia telanjang, selain selimut berwarna putih yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Serta ini bukan kamarnya.
Tiba-tiba dia mendengar rintihan seseorang, atau lebih jelasnya wanita yang sedang mengerang. Dia langsung berbalik dan matanya membelalak terkejut saat menyadari ada seorang wanita yang meringkuk dan telanjang juga.
Napas Adrian memburu. Tak bisa menyembunyikan sesuatu yang mulai terbangun di dalam tubuhnya. Tapi kemudian dia merasakan kepalanya bagai dihantam oleh sebuah palu. Pening menderanya dan rasa mual mulai mendera perutnya.
Dengan tiba-tiba dia sudah tak bisa menahannya, dengan panik dia turun dari atas ranjang. Terhuyung karena tubuhnya seperti melayang. Semuanya menjadi dua. Bayang-bayang itu semakin menyiksanya karena dia tak bisa menuju kamar mandi dengan cepat. Dan akhirnya ketika dia bisa sampai dalam kamar mandi, isi perutnya langsung di muntahkan semuanya.
Entah berapa lama dia membungkuk di atas wastafel. Saat semuanya terasa lebih enak, dia membasuh wajahnya. Kemudian segera melangkah kembali menuju kamar yang asing untuknya. Dia tak tahu apa yang terjadi dengannya. Kepalanya masih terasa berdentam-dentam dan membuatnya tak bisa menatap dengan jelas. Dia segera menjatuhkan tubuhnya di atas kasur putih dengan seprai berantakan. Tak peduli dengan wanita yang masih tertidur pulas di sampingnya.
Semuanya kacau, setelah kecelakaan pesawat itu; Musibah itu; Serta rasa kehilangan itu. Dia kehilangan arah, bahkan hampir kehilangan nyawanya. Harusnya dia mati. Dalam peristiwa itu harusnya dia mati saja, karena semuanya sudah tak berarti lagi. Dia hidup tapi jiwanya sudah mati. Karena kekasih hatinya sudah tiada. Ikut pergi seiring dengan jatuhnya pesawat itu. Ironisnya, dia sendiri yang menjadi pilotnya. Dia yang bertanggung jawab dengan semua ini.
“Bang.”
Adrian menghela nafasnya. Memejamkan matanya makin rapat. Tak mau lagi kembali ke dunia nyata. Kalau bisa mati di atas kasur ini dia akan merasa bersyukur. Tapi usapan lembut pada lengannya terasa membuat sekujur tubuhnya meremang, sentuhan itu membuat matanya terbelalak. Dia menoleh ke arah wanita yang kini sudah berada di dekatnya.
“Morning, Honey.”
Adrian menyipitkan matanya. Lalu semua tercetak jelas di dalam pikirannya. Kepingan-kepingan peristiwa semalam kini membuat kepalanya makin terasa berat. Dia mabuk, iya dia memang semalam menenggelamkan diri untuk menghibur dirinya sendiri dengan mabuk. Hanya satu hal itu yang membuatnya teralih dari kesedihan yang menghantamnya selama satu bulan ini.
Dia kehilangan calon istrinya, di pesawatnya. Pesawat yang dia kendarai. Dia bodoh dan dia pantas mati untuk ini.
“Kamu?” Adrian kembali menggelengkan kepalanya saat menatap wajah di depannya itu. Dengan tubuh terbalut selimut hingga tulang selangkanya. Rambut wanita itu acak-acakan dan sepertinya mereka telah melewati malam yang begitu panas dan intens.
“Selamanya kamu akan bertanggung jawab karena telah membawaku ke sini. Dan sekarang aku sudah ternoda olehmu. Jadi kamu harus menikahiku.”