Satu bulan sebelumnya.
Giselle Maria Vennya tampak serius menyimak seminar bisnis yang diadakan kampusnya hari ini. Bagaimana tidak antusias, jikalau yang menjadi pembicara acara tersebut adalah orang yang selama ini diidolakannya.
Kalau kebanyakan para wanita mengidolakan artis-artis Korea, berbeda jauh dengan Giselle. Ia malah menganggap sosok Leonard Massen pantas untuk dijadikan Role Model dalam hidupnya.
Bagaimana tidak, pria paruh baya keturunan Tionghoa tersebut hampir setengah hidupnya mendedikasikan diri untuk mengembangkan bisnis multinasional. Semua orang bahkan tahu kalau Leonard sudah berkecimpung di dunia bisnis sejak umur 25 tahun. Tentu ini menjadi contoh baik. Bahkan Giselle menganggap hal ini merupakan motivasi untuk ia terapkan dalam kehidupannya sekarang.
“Daripada belajar dari kesuksesan orang lain, belajarlah dari kegagalan mereka. Berubahlah selagi kamu dalam kondisi terbaikmu, sebelum muncul hal-hal buruk. Akan terlalu lambat untuk membetulkan nasib jika kesalahan besar sudah terlanjur datang. Gunakan seluruh kemampuan selagi potensi dirimu tengah berada dipuncak."
Suara riuh tepuk tangan langsung menggema setelah Leonard selesai menyampaikan beberapa motivasi ke seluruh peserta seminar. Giselle bahkan mencatat kata-kata tersebut di buku saku yang ia bawa sebagai pengingat serta penyemangatnya untuk meraih cita-cita.
Rasa bahagia Giselle semakin bertambah ketika dirinya terpilih dari ratusan peserta, menjadi orang yang beruntung untuk mendapat buku biography berikut tanda tangan secara langsung dari sang idola. Penuh percaya diri wanita berponi itu naik ke atas panggung. Melakukan sesi foto kemudian menunggu hadiah buku untuknya di tanda tangani.
Namun, suasana berubah mencekam tatkala Leonard yang tengah membubuhkan tanda tangan tiba-tiba mengalami kejang lalu tidak sadarkan diri. Semua orang tentu saja panik. Tak terkecuali Giselle yang saat itu tengah berdiri tepat di depan Leonard.
"Pak Leonard sepertinya terkena serangan jantung," teriak Giselle kepada Robin, asisten Leonard yang berlari mendekat.
Karena tidak ada yang berani mengambil tindakan, tanpa ragu Giselle mengitari meja. Mendekati posisi Leonard yang sudah terbaring di lantai podium lalu gegas melakukan RJP (Resusitasi jantung paru) atau sering juga dikenal dengan CPR. Hal ini sengaja dilakukan untuk meningkatkan kesempatan seseorang yang mengalami henti jantung mendadak agar tetap bertahan hidup dan terhindar dari kerusakan otak dan bahkan kematian.
Sembari terus melakukan pertolongan, tim medis akhirnya datang membantu. Dengan sigap mereka langsung membawa ke rumah sakit yang kebetulan letaknya tepat disebelah gedung kampus, tempat diadakannya seminar.
"Kondisi Pak Leonard sudah stabil. Untungnya yang ditakutkan tidak terjadi. Kalau saja beliau telat mendapatkan pertolongan pertama, kemungkinan besar bisa sampai mengalami kerusakan otak," kata dokter kepada Robin yang saat itu dengan cemas menunggu di depan ruangan.
"Apa beliau sudah bisa dijenguk, Dok?"
Dokter itu lantas mengangguk. "Silakan. Beliau bahkan sudah sadar. Sebentar lagi akan kami pindahkan ke ruang perawatan agar bisa beristirahat dengan intensif."
Seperginya dokter, Robin terlebih dahulu menghampiri Giselle yang tengah duduk di kursi tunggu. Ia tentu saja perlu mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah wanita itu perbuat kepada atasannya.
"Permisi, kalau boleh saya tau, saya sedang berbicara dengan Nona—"
Giselle yang saat itu tengah duduk langsung berdiri kemudian menyahut. "Giselle," jawabnya dengan sopan.
"Saya Robin Mulya. Asisten Bapak Leonard. Sebaiknya kita temui Beliau di dalam. Saya yakin, Bapak pasti ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan yang sudah Nona Giselle berikan padanya hari ini."
"Sampaikan saja salam saya, Pak," kata Giselle. "Yang penting kondisi Pak Leonard udah membaik. Saya mohon maaf sebesar-besarnya karena nggak bisa bertemu dengan beliau sekarang. 10 menit lagi kelas perkuliahan saya akan dimulai."
Robin mengangguk dengan maklum lalu membiarkan Giselle melangkah pergi meninggalkan rumah sakit. Sepeninggalan wanita tersebut, ia lantas segera masuk ke ruangan menghampiri Leondard yang masih terbaring dengan lemah.
"Pak ... " Robin langsung mendekat. Membungkuk penuh hormat seraya berkata-kata. "Saya sangat senang kondisi Bapak baik-baik saja," ucapnya begitu lega. Tentu saja Robin tidak ingin sesuatu terjadi pada atasannya itu.
"Mungkin hari ini aku masih beruntung," ucapnya dengan lirih. "Kata dokter, ini semua berkat pertolongan pertama yang saya dapatkan. Omong-omong, siapa yang sudah menolong saya?" Dari raut wajahnya, Leonard tampak sekali begitu penasaran.
"Namanya Giselle," ungkap Robin. "Dia mahasiswi Magister yang dapat kesempatan berfoto serta menerima buku yang bapak tanda tangani ketika semintar tadi. Nona tersebut menyampaikan permintaan maaf tidak bisa menemui bapak karena harus buru-buru mengikuti kelas perkuliahan."
Dalam posisi berbaring, Leonard mengangguk pelan. Tapi bukan Leonard namanya kalau sampai berhutang terima kasih pada orang lain yang sudah berjasa pada hidupnya.
"Kalau begitu, cari tau siapa Nona itu dan latar belakangnya bagaimana. Nanti, setelah saya keluar dari rumah sakit, tolong undang untuk menemui saya di kantor utama."
Robin menyanggupi permintaan Leonard. Selama ini, sebelum melakukan perjanjian bisnis, Leonard sering kali meminta dirinya untuk mengecek terlebih dahulu track record orang yang akan mereka ajak kerja sama. Itu sebabnya, bukan perkara sulit bagi Robin untuk mencari informasi serta menyelidiki latar belakang seseorang.
"Saya akan carikan informasinya untuk Bapak. Dalam waktu dekat akan segera saya serahkan."
***
"Papa baik-baik aja?"
Leonard Massen langsung menoleh ke arah pintu ruang perawatan. Di sana, ia mendapati Xabiru, putranya yang tampak begitu cemas.
Sebelumnya, pria muda itu tengah memimpin rapat di kantor. Tapi, kegiatannya terhenti tatkala mendapat kabar kalau sang ayah yang tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit karena terkena serangan jantung. Hal ini tentu saja membuatnya begitu khawatir dan memilih untuk segera menyusul ke rumah sakit.
"Kali ini mungkin Papa baik-baik saja. Tapi nggak tau besok bakal gimana," sahutnya pelan.
"Papa ngomong apa?" tanya Xabiru dengan nada protes. "Biru yakin Papa bakalan selalu baik-baik aja."
Leonard tersenyum tipis. Melambaikan tangannya dengan hati-hati. Isyarat agar sang putra mendekati posisinya yang tengah berbaring lemah.
"Papa ini sudah tua, Biru. Kamu tau sendiri penyakit Papa gimana. Lagi pula, mau sampai kapan kamu menangguhkan permintaan Papa untuk segera menikah."
Ini bukan kali pertama Leonard mendesak Xabiru Anthony Massen, putra semata wayangnya itu untuk segera menikah. Semenjak kesehatannya memburuk beberapa bulan terakhir, ia terus saja meminta sang putra untuk segera mengakhiri masa lajangnya.
Leonard hanya takut di sisa umurnya, ia tidak sempat menyaksikan Xabiru menikah. Belum lagi selama ini putranya itu memang terlalu fokus mengurusi begitu banyak pekerjaan. Tidak pernah satu pun wanita ia tunjukkan apalagi kenalkan kepada mereka. Padahal, Xabiru termasuk golongan pria yang tampan dan tentu saja sangat mapan.
Hal ini jelas saja membuat Leonard khawatir. Ia takut Xabiru yang begitu dibanggakan mengidap disorientasi s*****l karena selama ini tidak pernah berhubungan dengan wanita mana pun.
"Papa hanya takut kalau—"
"Aku homo?" potong sang anak tanpa ragu seolah dapat membaca apa yang ada dipikiran ayahnya. "Biru normal, Pa. Biru masih suka perempuan. Jadi Papa nggak perlu mikir macam-macam."
"Tapi mau sampai kapan kamu melajang? Apa perlu Papa yang carikan kamu calon istri?"
"Pa ... " Xabiru langsung mendesah malas. Ia sebenarnya bosan selalu ditanya hal yang sama di setiap kesempatan. "Kenapa harus buru-buru nikah di saat karir Biru lagi bagus-bagusnya seperti sekarang?"
"Karena waktu Papa nggak banyak. Itu sebabnya Papa paksa kamu untuk segera menikah. Kalau kamu emang nggak punya waktu untuk cari calon istri, biar Papa yang bantu carikan untukmu."
Xabiru menatap lekat wajah sang Ayah. Ada raut penuh mohon terukir di wajah pria paruh baya itu. Selama ini, seumur hidupnya, tidak pernah sekali pun Xabiru membantah perintah atau permintaan sang ayah. Ia sadar benar, ketika dilahirkan di dunia ini, segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa termasuk urusan pasangan hidup.
"Kalau Biru menikah, apa Papa mau janji untuk lebih menjaga kesehatan?" Wajah Xabiru nampak serius.
Sungguh, ia rela melakukan apa saja asalkan sang ayah merasa senang. Walaupun sering bersikap dingin bahkan sedikit tempramental, untuk urusan keluarga, bisa dikatakan kebahagian Leonard dan Agnes merupakan segala-galanya bagi Xabiru.
"Tentu saja," jawab Leonard tanpa ragu.
"Baiklah." Xabiru mengangguk sekilas. "Silakan atur sesuka hati Papa. Biru yakin, wanita yang papa pilih adalah yang terbaik dari yang paling baik."
Xabiru tentu saja tidak sadar kalau jawaban ini pada akhirnya akan merubah seluruh hidupnya di kemudian hari. Berbeda jauh dengan Leonard, pria paruh baya itu tersenyum senang. Itu artinya, ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan soal pernikahan. Sekarang, giliran dirinya yang mencarikan calon istri yang pas untuk sang anak.
Catatan :
RJP(Resusitasi Jantung Paru) : Resusitasi jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali dengan melakukan beberapa teknik pemijatan atau penekanan pada dadaa.
Tindakan ini perlu dilakukan sesegera mungkin, sebab aliran darah dan sistem pernapasan yang terhenti bisa menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian hanya dalam waktu 4–6 menit.