“Bagaimana kondisi Pak Ramdan sekarang?”
“Kami sudah mendiskusikannya dengan para profesor yang ada, untuk kondisi Pak Ramdan kami sepakat untuk melakukan operasi. Hanya saja ....”
“Hanya saja kenapa?”
“Jadi ... begini, Dokter Hadi. Pak Ramdan memutuskan untuk dirawat di rumah sakit lain. Dia ingin operasi tulangnya ditangani oleh Dokter Ethan.”
“Kenapa bisa dia mau pindah? Memangnya di departemen kita tidak ada dokter hebat! Kalian selama ini kerja apa? Sampai mengurus satu pasien Naratama saja tidak becus!”
“Maafkan saya, Dokter!”
“Saya tidak mau tahu! Kau harus bisa mengurus Pak Ramdan agar dia kembali menjadwalkan operasinya dengan kita!”
“Baik, Dokter Hadi!”
Hadi Handoko adalah seorang dokter yang memimpin Rumah Sakit Sehat Sejahtera sekaligus menjadi pemimpin yayasan yang didirikan oleh orang tua Shina. Dia adalah adik dari mendiang papanya Shina.
Suasana hatinya sedang tidak baik, karena ini adalah yang ke sekian kali untuk pasien Naratama yang ia tangani selalu berpindah dokter. Dirinya juga merupakan dokter spesialis ortopedi, sama seperti Dokter Ethan dan juga mendiang ayahnya Shina.
“Bagaimana kabar tesismu dengan profesor Ethan?” tanya Hadi pada anak bungsunya saat dia sedang berada di rumah.
Adimas yang saat itu juga baru bergabung dengan keluarganya langsung mendadak kikuk. Topik pembicaraan tentang tesis dan profesornya ini sangat tidak ia senangi. Karena dirinya selalu merasa terpojok bila membicarakan kedua hal tersebut bersama keluarganya.
“Aku ... sedang berusaha.” Begitulah jawaban Adi yang selalu sama setiap harinya.
“Tapi kelihatannya kau tidak pernah berusaha!” sindir sang kakak.
Adi melirik tajam dan tampak kesal pada Doni. “Kau tidak tahu apa-apa!” ucapnya sambil memainkan ujung telunjuk menggunakan kuku ibu jari setiap dirinya merasa kesal.
“Sudah! Sudah! Ada yang ingin papa bicarakan! Kemarilah!” Hadi meminta kedua anaknya untuk duduk berkumpul.
Di ruang keluarga itu hanya ada Hadi dan istrinya, lalu Doni dan kini ditambah dengan Adi yang baru datang.
“Ada apa?” tukas Adi dengan raut wajah terpaksa. Dia masih tampak sebal dengan kakaknya. Pria itu mengambil tempat duduk yang berada di bagian ujung sofa untuk menghindari sang kakak.
“Kali ini ... papa mulai merasa, jika Dokter Ethan sudah menjadi ancaman untuk bisnis rumah sakit kita. Karena ini bukan yang pertama kali, pasien VIP kita memilih untuk pindah rumah sakit dan berganti dokter. Alasannya selalu sama, yakni mereka ingin ditangani oleh dokter Ethan!”
“Memangnya kali ini siapa pasien VIP yang pindah itu, Pa?” tanya Doni.
“Pak Ramdan! Dia memutuskan agar Dokter Ethan yang mengoperasi tumor tulang di persendiannya!”
“Pak Ramdan yang menjadi pemilik Perusahaan Panorama itu?” Doni semakin terkejut.
“Benar! Ini tidak bisa dibiarkan, karena hal ini juga menyangkut nama baik rumah sakit. Relasi perusahaan dengan perusahaan pariwisata Panorama itu sudah terbentuk sejak lama. Dari mulai cek kesehatan dan layanan darurat kecelakaan pasti ditangani oleh rumah sakit kita. Apa mungkin jika pimpinannya malah memilih rumah sakit lain untuk penanganan masalah kesehatannya?” Dari cara bicaranya, tampak Hadi begitu kesal.
“Pasti dokter yang menangani Pak Ramdan akan tersinggung,” sela Adi saat papanya sedang kesal. Otomatis, hal tersebut membuat semua orang yang ada di situ melirik ke arahnya.
“Kenapa?” Adi tak sadar ia telah salah bicara. “Aku benar, kan? Hal itu akan menyinggung dokter yang menangani kesehatannya!”
“Yang menanganinya itu papa! Dasar bodoh!” celetuk Doni yang berusaha untuk menggapai adiknya dan serasa ingin memukul kepala si bungsu.
“Ah ... aku ... aku tidak tahu!” Anak itu memasang wajah datar dan berjalan meninggalkan ruang tengah.
“Hei, kita belum selesai bicara!” panggil Hadi dengan muka masam pada anaknya.
“Crk!” Adi tampak keberatan. Dia menggaruk belakang kepalanya sambil berjalan kembali. “Aku ada janji dengan istriku sebentar lagi!”
“Orang tua belum selesai bicara, sudah main pergi saja!” omel Hadi yang seakan tak peduli dengan alasan anaknya itu.
Suasana ruang keluarga itu tampak tak enak karena kemarahan Hadi dan wajah kesal Adi. Topik pembicaraan tentang Dokter Ethan masih dilanjutkan, Hadi benar-benar ingin mengambil pasiennya yang secara tidak sengaja diambil oleh profesor yang membimbing anaknya tersebut.
“Ini menjadi tugasmu untuk membawa Dokter Ethan ke Rumah Sakit kita! Aku sudah susah payah menjadikanmu sebagai mahasiswa bawahan Dokter Ethan, dia itu sangat pemilih dan kau berhasil dipilih olehnya berkat papa! Sekarang tunjukkan timbal balikmu pada orang tua!” tuntut pria paruh baya tersebut.
Mendengar desakan dan tuntutan yang bertubi-tubi, rasanya Adi begitu kesal pada orang tuanya. Pria itu meletakkan ranselnya di atas lantai dengan begitu keras, matanya juga sedikit menyipit sebagai tanda jika dia sudah muak dengan yang terjadi padanya saat ini.
“Kau dengar apa yang kukatakan Adi?” tukas sang papa sekali lagi.
Adi masih diam saja. Berinteraksi dengan profesor Ethan hanya menambah masalah baginya.
“Papa tidak mau tahu! Kau harus membawa sang profesor ke rumah sakit kita akhir bulan ini!” Hadi meninggalkan ruang keluarga yang pertanda diskusi selesai. Dia tak ingin ada bantahan dari keputusannya barusan.
“Aku ... tidak pernah meminta agar papa memasangkan aku menjadi mahasiswanya profesor Ethan!” ucap Adi yang terang-terangan membantah papanya.
Hadi mendengar itu, dia tak ingin marah dan membiarkan Adi dengan segala ocehannya. Baginya, dia tak mau tahu, keinginannya adalah para pasien Naratama di rumah sakitnya tidak berpindah haluan.
“Kalau papa memaksa, kenapa tidak meminta Shina yang melakukannya lagi? Kudengar dia berhasil melobi Profesor Ethan saat papa suruh dia kemarin!” celetuk Adi yang kali ini berhasil menghentikan sang papa.
Pria paruh baya dengan rambut putih yang lebat itu sekarang menoleh lagi. Garis bibir di kedua sudutnya turun. Dia menatap kembali pada Adi.
“Apa itu benar?” tanyanya.
Tidak hanya Hadi, tapi Doni juga tampak serius kali ini.
“Yang benar?”
Adi mengangguk!
“Dari desas-desus yang beredar di kampus, profesor akan mendirikan sebuah rumah sakit yang di dalamnya terdapat klinik kecantikan. Katanya bagian kecantikan itu akan diurus oleh seorang dokter kecantikan lulusan Korea! Menurut kalian, siapa lagi orangnya jika bukan Shina. Apalagi beberapa hari lalu, kita sempat mengutusnya untuk menemui sang profesor!” jelas Adi.
Doni tampak mengerutkan dahinya dengan serius. “Oh, aku baru sadar! Pantas saja dia tidak berkata apa-apa tentang pertemuannya kepada kita! Ternyata dia mendapatkan penawaran khusus! Kurang ajar! Dasar pengkhianat!”
“Kalau kita ancam dia sekali lagi, misal ... dia tidak boleh bergabung dengan sang profesor kecuali dia bisa membawa Profesor Ethan untuk bekerja dengan kita, sepertinya ... itu akan berhasil!” Seringai Adi muncul.
“Kau pikir Shina begitu spesial di mata profesor Ethan? Memang apa hubungannya jika kita desak Shina dengan keputusan sang profesor!” Doni tampak sinis dan mencibir ide dari adiknya.
“Bukankah biasanya kalian tidak mau tahu? Yang penting ada orang yang ditugaskan untuk membawa sang profesor!”
Hadi pun langsung memukul kepala anak bungsunya itu dengan kertas majalah yang ia gulung. “Kau jangan melimpahkan tanggung jawabmu pada orang lain! Shina memang harus diberi pelajaran karena dia diam-diam mendapat tawaran tanpa memberitahu kita! Tapi tugas untuk membawa sang profesor ke rumah sakit, tetap ada padamu, Adi!”
“Sial!”