Petang menjelang, ini adalah akhir waktu bagi Zul untuk bekerja. Dia sengaja keluar melalui pintu samping rumah sakit.
Begitu ia berada di tepi jalan, terdengar suara ambulans mendekat dan masuk ke area IGD.
“Ada pasien masuk!” ujarnya dengan tangan dalam saku.
“Pasien merupakan korban kecelakaan, sediakan jalan!” Petugas membawa pasien tersebut berlari masuk ke IGD.
Zul rasanya seperti bernostalgia saat ia menjadi dokter jaga dahulu. “Apa aku pura-pura masuk untuk melihat-lihat?” gumamnya yang diberi anggukkan oleh diri sendiri.
Dia berjalan dengan santai dan masuk ke area IGD yang sedang menangani pasien kecelakaan tersebut.
Sepertinya instalasi ini tidak terlalu padat, seharusnya ada dokter yang bisa langsung menangani pasien tersebut.
“Tekanan darah pasien menurun, Dok!”
“Aku akan melakukan intubasi, siapkan CT Scan!”
Sebagai seorang dokter, Zul merasa terpanggil. Dia melihat luka di bagian perut korban. Darah berceceran di sekitar ranjang.
Dengan gerakan cepat, dia menyelinap sambil mengenakan jas hitam dan juga maskernya.
“Jangan lakukan pindai CT! Sebaiknya kau intubasi saja dan segera panggil dokter bedah kardiotoraks, lebam di dadanya harus ditangani!” Posisinya langsung sigap dan mengadang dokter magang yang sedang menangani pasien tersebut.
“Maaf, apakah Anda wali pasien?” tanya dokter muda tersebut.
“Itu tidak penting! Kau tahu tekanan darah pasien terus menurun! Panggil bagian kardiotoraks!”
Si dokter muda itu termangu sejenak, lalu dengan cepat ia membuka baju pasien dan benar saja, dia melihat lebam di sana. “Ini ... ada penekanan di area jantung karena gumpalan darah di sekitarnya!”
“Cepat panggil bagian bagian kardiotoraks!” titahnya.
“Mereka sedang ada rapat!” ujar perawat yang memanggil.
“Kenapa mereka lama sekali? Rapat itu tidak lebih penting daripada nyawa seorang pasien!”
Zul pun melihat kondisi sang pasien, lalu dia berkata lagi. “Untuk sekarang ambil pemindai ultrasound dan jarum pengambil cairan!”
“Baik!”
Secara spontan perawat pun langsung menyediakan dan Zul pun melakukan pengambilan cairan dari area d**a yang lebam.
“Hei, siapa yang menyuruhmu melakukannya? Bukankah kita sepakat menunggu bagian bedah kardiotoraks yang melakukan?”
Zul tak menjawab kalimat protes dari dokter muda tersebut. Dia mengambil darah yang menekan posisi jantung dengan menggunakan alat di tangannya, matanya pun begitu awas menatap pada layar ultrasound.
“Tekanan darah pasien kembali!” ujar seorang perawat yang mengamati hal tersebut.
Semua yang ada di sana mengembuskan napas lega.
Tapi si dokter muda merasa ada yang janggal dengan pria bermasker yang tiba-tiba bergabung dengan mereka. Kemudian, dalam otaknya terbersit sekelebat sebuah ingatan yang ia lupakan sejenak karena situasi genting tadi.
“Tunggu! Anda Dokter Ethan?” tanyanya dengan terkejut.
Zul tidak menjawab, dia hanya menyipitkan mata sambil mengarahkan kepala untuk menunjuk pada pasien. Seakan dia berkata agar si dokter muda itu mengurusi si pasien terlebih dahulu.
“Baik, saya akan mengambil alih.”
Tapi rupanya, hal menyenangkan tidak sampai di situ. Seperti si dokter muda tadi, ada orang lain juga yang ternyata mengenal siapa profesor Ethan dan bahayanya adalah orang tersebut sudah mengadu pada pimpinan rumah sakit.
“Aku mendengar ada keributan di IGD, ada apa memang?” tanya Dokter Hadi selaku pemimpin rumah sakit dan direktur yayasan.
“Sudah, tidak ada, Dok! Semua sudah kembali normal, kita tinggal menunggu penanganan dari bagian kardiotoraks saja!” ujar dokter muda yang bertugas. Dia pikir, keributan memang sudah berlalu karena pasien sudah ditangani, padahal keributan yang dimaksud oleh Dokter Hadi bukanlah itu.
“Maksudku, kenapa ada orang asing yang tiba-tiba menyerobot rumah sakitku dan merebut pasienku?” seloroh Hadi yang jelas menyindir Zul.
“Pasien itu bukan milik siapa-siapa dan dokter tidak boleh memilih-milih pasien yang harus diselamatkan!” timpal Zul dengan tegas.
Dokter Hadi tampak geram dan seakan hendak mengeluarkan kata-kata. Tapi kali ini, arah pandangan Zul melihat ke arah si pasien.
“Lakukan pindai CT sekarang juga!” titahnya tanpa memedulikan keberadaan Dokter Hadi yang semakin melotot melihat lawannya.
Pimpinan rumah sakit itu tak tahu, jika di balik masker tersebut sebenarnya adalah menantu yang sering ia sebut tak berguna.
“Kau ...!” geram Hadi sambil mengepalkan tangan.
Tapi karena apa yang dititahkan oleh orang di depannya ini benar, maka Hadi pun tak berhak untuk protes apa-apa.
“Kali ini kumaafkan kau! Tapi lain kali kau harus ingat, jika kau hanya dokter muda yang tak memiliki keistimewaan sama sekali! Kalau sifatmu selalu menyebalkan begini, aku jamin namamu akan masuk daftar hitam di dunia kedokteran!” ancam Hadi yang hanya dibalas dengan tatap mata sinis.
Seandainya Hadi bisa melihat wajah Zul, mungkin dia sekarang tahu jika pria itu sedang mencibir di balik maskernya.
“Saya akan membuat perhitungan! Jika Anda tertangkap basah mencuri pasien dari rumah sakit ini lagi, maka Anda pasti akan kehilangan karier Anda! Lihat saja nanti!” Hadi tersenyum miring sambil menaikkan sebelah bibirnya. Dia tampak telah menyiapkan dengan matang rencana untuk menjatuhkan Profesor Ethan.
“Pak Hadi, asal Anda tahu saja! Saya akan menolak mentah-mentah semua pasien yang sebelumnya ditangani oleh Anda. Karena, saya tidak mau menanggung akibat jika terjadi sesuatu pada pasien-pasien tersebut yang sebenarnya disebabkan oleh kelalaian dokter sebelumnya! Anda tahu maksudku, kan?” Zul menepuk pundak Dokter Hadi dan kemudian pergi dari tempat tersebut.
Hadi tampak kebakaran jenggot, karena hal tersebut terjadi di depan banyak bawahannya. Bahkan saat kembali ke kantornya pun, Hadi tampak menggerutu sebab ia sadar jika kemungkinan Profesor Ethan mau bergabung dengan rumah sakitnya semakin kecil karena kejadian tadi.
“Memang dia siapa? Dia hanya profesor yang sombong dan pemilih terhadap pasien!” Hadi mencoba menghibur diri sendiri dengan menjelekkan Profesor Ethan.
Di tengah kekalutannya, Hadi mondar-mandir di dalam ruang kerja. Tapi pada saat itu juga, seorang wanita tua menerobos masuk untuk menemui pimpinan rumah sakit.
“Hadi! Kau lupa permintaanku sejak tahun-tahun yang lalu!” hardik perempuan tua berkacamata tersebut.
Dokter Hadi yang sedang kalut itu pun langsung gemetar begitu mendengar suara melengking menghardik sambil menyebut namanya. “I ... ibu?”
“Kenapa kau tidak beritahu jika Shina juga datang di pesta perayaan kemarin? Mentang-mentang aku di kursi roda dan kau berusaha mengabaikanku?”
“Ti ... tidak, Ibu! Sungguh! Maaf aku lupa memberitahu Shina agar menemuimu waktu itu!”
Perempuan tua berkacamata itu tak menjawab, dia hanya melempar pandangan sambil memiringkan bibir dengan kesal.
“Aku maafkan kau! Tapi ada syaratnya!”
“A ... apa itu, Bu?” Dokter Hadi yang tampak garang itu, ternyata takut juga di depan ibunya.
“Kau! Harus memanggil dokter bermasker yang tadi menangani pasien di IGD agar menjadi dokter pribadiku! Bisa, kan? Kau adalah pimpinan rumah sakit ini!” ucap sang ibu dengan enteng.
Sementara Dokter Hadi malah menelan ludahnya. Lalu dalam hati ia pun bergumam, “Kenapa semua orang menginginkan profesor sombong itu menjadi dokternya? Dasar sialan!”