HATCHIMM!
“Errgh, sial!” umpatnya sembari menyeka hidungnya yang meler.
Bisa-bisanya dia malah terserang flu dalam keadaan patah hati seperti ini. Rasanya tubuhnya menggigil dan hidungnya mampet. Ini pasti akibat dari berenang malam-malam. Kejadian itu membuat Naura ingin mengeluarkan u*****n dari mulutnya meskipun dia jadi teringat dengan ciuman itu.
Naura diam memandangi langit-langit kamarnya dengan tubuh tidak berdaya. Sinar matahari yang menyengat dari balik tirai memberitahunya jika waktu sudah melewati tengah hari. Naura mengabaikan suara perutnya yang meronta minta diisi.
Mencoba merenungkan kejadian semalam yang masih terasa seperti mimpi baginya. Di mana letak salahnya saat dia memang belum siap lahir dan batin untuk memiliki anak setelah menikah?
Tidak bisakah mereka berdua duduk, membicarakan semuanya baik-baik dan mencari jalan keluarnya bersama bukannya malah adu mulut demi ego masing-masing hingga membuat hubungan mereka renggang seperti ini. Naura memegangi kepalanya dengan dua tangan. Mungkin, dia yang terlalu egois.
"Hiihihihihihihihih. Tan-Tan nda tau cita di cini."
Suara cekikikan itu tiba-tiba terdengar.
"Ssttt, nanti Tan-Tan dengar terus ngamuk. Ssssstt. Jangan berisik."
Naura mengerjap mendengar bisik-bisik itu, melirikkan manik matanya ke kanan dan ke kiri dengan cepat, merasakan firasatnya tidak enak lalu bangkit dari posisi berebahannya dan ternganga maksimal memandangi pantulan wajahnya di cermin yang rambutnya berantakan. Bukan penampilannya yang membuatnya tidak bisa berkata-kata tapi sesuatu yang ada di sana. Tidak butuh waktu lama sampai dia tersadar dan jeritannya terdengar.
"AAAKKKHHHHHHHHH,BOCCIIIILLLLLLLLL!!!!" pekiknya murka.
Siapa yang tidak akan mengamuk kalau kaca riasnya sudah dihiasi dengan gambar truk, mobil, tayo dan entah apa lagi di sana menggunakan lipstik mahalannya.
"Noooooo!!" Pekiknya seraya mengulurkan tangan dengan lebay.
"Laaaalllliiiii, ada musuh menyelaaaaanggg," jerit salah satunya seraya menyeret serta saudaranya yang lain untuk menyelamatkan diri.
"Kan, Tan-Tan bangun. Sudah kakak bilang kalau kalian jangan ribut."
"Atu enda libut. Atu cuma teltawa. Tayo yang atu buat kan badus milip sama bus," oceh yang satunya lagi, yang paling kecil. Cadelnya gak ketulungan.
Naura menyibak selimut tebalnya, loncat turun dari tempat tidur dan hampir saja terjerembab kalau saja dia tidak bisa menguasai diri dan cepat-cepat mendekati tempat kejadian perkara seraya meletakkan kedua tangan di kepala, frustasi. Lipstiknya tergeletak tanpa daya di bawah kursi yang sudah terkikis sampai hampir habis.
Sementara tersangka utamanya, berdiri bergerombol di sudut mengamati ekspresi Tantenya yang seperti penyihir dan siap-siap ambil langkah seribu untuk lari.
Naura menoleh cepat ke arah ketiganya dengan wajah penuh amarah lalu berteriak. "Apa yang kalian lakukan,Hah?!"
Ketiganya diam, saling merapatkan diri dan melindungi karena dipelototin.
"Itu kan hanya lipstik, Tan." Naura makin melotot mendengar jawaban Naufal, anak kakak pertamanya. "Tante kan bisa beli lagi yang banyak. Jangan kayak orang susah gitu dong."
"Pencil walnanya di pinjam sebental aja sudah malah-malah," sahut Alby sambil manyun, adiknya Naufal yang berumur empat tahun.
"Atu cuma mau dambal tayo kok." Kaisar, berumur tiga tahun lebih anak kakak keduanya juga ikut-ikutan.
Yeah mereka-lah kumpulan troublemakers dalam hidupnya, kurang satu anak lagi, anak perempuan kembarannya Kaisar yang manjanya gak ketulungan, Keisha. Bocah kecil menyebalkan!
"Kalian ini—" geramnya dengan hidung kembang kempis. "Tante akan menangkap kaliaaaan!!!""
"Papaaaa!!!" Jerit mereka bertiga sambil berlari memutari kamar tidurnya sementara Naura mengejar dengan kekuatan penuh. Mereka berpencar ke sana kemari untuk menghindar dari kejarannya.
“Mamaaaa, toyonggg!!!” pekik Alby, naik ke atas tempat tidur dan loncat turun.
“Aaarrgghh atu teltangkap!!” pekik Kaisar yang digendong Naura dan membawanya keluar diikuti Naufal dan Alby yang manyun.
"Dengar ya, anak-anak bandel." Di depan pintu, Naura melepaskan belitannya membuat ketiganya berdiri bersisian untuk mendengarkan omelannya. Mencoba menahan pusing yang terasa menyakitkan di kepalanya. "Ini peringatan terakhir kalau kalian gak boleh masuk ke dalam apapun alasannya." Naura melotot saat Naufal akan menyela ucapannya membuatnya langsung diam lagi. "Sudah ada rambu-rambunya kalau anak kecil di larang masuk. Apa kalian mau Tante kurung di kandang ayam, hah?”
Ketiganya serempak menggelengkan kepala membuat Naura tersenyum miring seraya berkecak pinggang mirip dengan ibu tiri yang kejam.
“Kalau begitu, jangan lagi diulangi. Mengerti!!!”
"Astaga!!"
Naura menoleh ke arah tangga saat mendengar suara kakak perempuannya, Arbella lalu menyusul abangnya, Andre. “Ada ribut-ribut apa ini?”
“MAMAAA—”
“PAPAAA—”
Naura melipat lengan di d**a saat anak-anak menyebalkan itu langsung berhambur ke pelukan Mama dan Papanya.
“Ayo,kalian berhenti menganggu Tantemu yang sedang sakit,” pinta Arbella pada anak-anak rusuh itu.
“Yaaaah.” Anak-anak itu pasrah pergi meski sambil mengeluh. “Nda jadi main deh.”
Naura berdecak, berbalik masuk kamar, duduk di tempat tidur sembari mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Wisnu.
Nomor yang anda hubungi sedang sibuk—BRAAKK!!!!
Setelah semua rasa putus asa yang melandanya semalaman suntuk, Naura melempar ponselnya begitu saja ke lantai. Wisnu tidak mau memberinya kesempatan untuk menyelamatkan hubungan mereka. Seharusnya ya, mereka bisa berbicara baik-baik untuk mencari jalan keluar bukannya langsung memutuskan hubungan sepihak dan menganggap semuanya selesai begitu saja. Apa dia lupa dengan kenangan mereka selama setahun ini yang membuatnya menangis ketika mengingatnya tadi malam?
“Wisnu masih tidak bisa dihubungi?” tanya Andre bersama Arbella yang masuk ke kamar.
"Belum! Ini semua karena para troublemaker kalian, tahu nggak?!" Naura kembali emosi.
"Naura, mereka itu keponakanmu dan mereka nggak ada hubungannya dengan lamaranmu.” Arbella ikutan kesal. "Sejak dulu, kamu sama sekali gak pernah bersikap seperti Tante yang baik buat mereka. Kamu tuh udah dewasa dan seharusnya mengerti dengan perangai anak-anak. Gimana nanti kalau kamu punya anak—"
"Itu sebabnya aku gak mau punya anak dulu!!" Teriaknya, membuat kedua kakaknya kaget. Naura berdiri dengan emosi. "Mereka itu sukanya bikin pusing, gak bisa diatur dan menjengkelkan. Konyol banget aku diputusin hanya gara-gara ini!”
Andre menggelengkan kepala. "Setiap lelaki pasti ingin punya anak setelah berkeluarga."
"Kamu kayaknya harus ke psikolog deh," sahut Arbella membuat Naura jelas melotot.
"Kakak pikir aku stress dan butuh curhat ke dokter?!"
"Rasa nggak sukamu sama anak-anak gak wajar," desahnya kemudian.
"Bagiku anak-anak itu memang menyebalkan!"
Andre mendekatinya. "Mungkin kamu ngelihat kami yang kerepotan mengurus mereka tapi sebenarnya nggak. Kami repot tapi kami bahagia dan nanti kalau kamu punya anak, baru deh kamu bisa ngerasain gimana perasaan kami sekarang."
"Anak itu bukan sesuatu yang harus dihindari apalagi ditolak kedatangannya," tambah Arbella.
"Lebih baik kalian keluar dari sini. Bukannya bantuin malah ceramah nggak jelas bikin tambah pusing!"
Andre dan Arbella saling memandang. Andre menatap adik bungsunya itu dengan sayang. "Kamu nggak bisa terus-terusan begini!!"
“Kakak kepikiran ide yang bagus nih,” sahut Arbella.
“Ide apaan sih?!”
“Sesuatu yang bisa membuat kamu pelan-pelan bisa memahami dunia anak-anak.”
Naura bergidik."Ihh, untuk apa?”
Arbella mendelik, menunjuk wajahnya dengan jemari. ”Heh, itu banyak manfaatnya. Pertama, supaya kamu bisa mengubah pola pikir kamu yang rumit itu. Kedua, supaya kamu lebih sayang sama keponakanmu—” Naura memutar bola mata.”Ketiga,anggap saja ini sebagai bentuk usaha kamu untuk mendapatkan Wisnu kembali agar kalian jadi nikah. “
“Nggak ada yang minta pendapat kalian berdua!” decak Naura, merengut kesal.
“Loh, kenapa nggak dicoba dulu.” Arbella menggelengkan kepala. “Kamu mau pasrah gitu aja Wisnu berpaling dan nikah sama orang lain karena keras kepalamu sendiri.”
“Ya jangan dong!”
“Makanya itu, ikutin aja deh saran kakak.”
“Nggak ada salahnya dicoba dulu. Kalau berhasil,kamu juga yang bahagia. Masa kamu mau diam aja nggak ngelakuin apapun kayak gini. Nanti Wisnu malah kabur loh.”
“Isssh kalian berdua ini!!” Naura mengacak rambutnya dengan kedua tangan,kesal dikeroyok berdua. Tapi memang sih saat ini dia masih belum menemukan apa yang harus dia lakukan untuk membuka pikirannya sedikit kalau anak-anak itu bukan monster menyebalkan. “Terus, apa yang harus Naura lakukan? Memangnya ide seperti apa yang kakak punya?” tanyanya pasrah ke Arbella yang tersenyum lebar.
“Kakak punya teman yang tantenya bekerja sebagai seorang kepala sekolah di salah satu Paud—”
“Tunggu—” sela Naura, nampak bisa menebak apa yang dipikirkan kakaknya.”Paud?”
“Iya. Kamu bisa trainning di sana jadi guru supaya bisa berinterakai langsung dengan anak-anak yang lucu.”
Naura menatap horor Arbella mengabaikan suara tawa Andre sembari membayangkan di dalam kepalanya dia bersama dengan banyak troublemaker – Naura bergidik ngeri.
“Itu sih bukan trainning tapi uji nyali!!”
Arbella dan Andre tertawa bareng membuat Naura keki. Apakah dia bisa keluar dari sana tanpa menjadi gila?
“Jangan terlalu dipikirkan. Coba dan lakukan saja demi pernikahanmu,” tambah Andre memberi semangat.
“Kakak sih enak ngomongnya. Gila aja harus uji nyali jadi guru Paud begitu!”
“Ah, masa Naura yang kakak kenal ciut sama hal yang kayak gini. Kamu aja berani menghadapi client yang tempramental dengan anggun dan cerdas tapi ngadepin anak-anak aja sepengecut ini,” decak Arbella.
“Jujur ya kak—“Naura nampak serius.”Naura lebih milih berhadapan sama preman dari pada sama troublemaker bermuka polos begitu!”
“Lebay!” decak Andre. “Kalau gitu itu tantangan buat kamu entah gimana caranya kamu harus bertahan di sana selama tiga bulan. Apa perlu kami berdua kasih iming-imingan hadiah yang lain?”
“Hadiah?” Naura nampak berpikir sesaat. “Hadiah apa?”
Arbella bergidik. "Apapun itu kalau kamu berhasil bertahan di sama tanpa menjadi gila.” Arbella tertawa keras setelahnya.
Naura kesal jadi bahan tawa kakaknya, dia berdiri dari duduknya dan menunjuk keduanya dengan mata penuh kobaran semangat.
“Oke deh. Aku harus bisa bertahan di sana bagaimanapun caranya. Mudah-mudahan aja Wisnu bisa melihat kesungguhanku dari sini dan kita bisa menikah.”
“Gitu dong.” Arbella nampak puas dengan hasil dari idenya itu.
“Itu baru namanya Naura,” Andre menimpali.
“Tapi—” Naura tersenyum miring. “Kalian harus menepati janji untuk mengabulkan apapun permintaanku jika aku berhasil!”
Arbella dan Andre saling berpandangan, menghela napas panjang dan menjawab bersamaan.
“Oke.”
Naura tersenyum, meskipun dia dilanda rasa takut karena harus berurusan dengan para troublemaker yang menyebalkann tapi mungkin ini satu-satunya jalan keluar.
***